Teman Tapi Bercinta
sementara Thalia ma
gue hirup dan jilat. Kontol gue yang berada di antara dua belah daging bokong sekalnya semakin kencang. Dari belakang, kepala
sangan gue di putingnya. Gue menciumi pundaknya sambil terus meraba-raba teteknya yang besar. Mulut gue menggeram-geram gemas. Nggak tahan. Gue memijat-mijat lembut susunya, pinggulnya, meremas-remas bokongnya. Semua gue lakukan dengan pelan, takut
ibikin pusing sam
nis gue udah mengintip dari balik karet boxer, lengkap dengan cairan precum beningnya. Nekat, gue ngelepasin kait bra Thalia di punggungnya. Gue bikin dia tengkurap dan gue jel
, dibeginiin m
g mancungnya. Thalia mengorok kencang gara-gara jalan napasnya gue sum
ah ngeliatnya. Gue merunduk mengecup tengkuknya setelah rambut panjangnya gue singkap. Lengan gue menelungkup tubuhnya dan menangkup dua gunungan daging padat Thalia dengan tangan gue. Gue pijat-pijat dal
i bokongnya, bikin penis gue
a semprotin ke nadi lehernya, tapi gue suka. Darah gue menggelegak. Bulu kuduk gue meremang. Gue semakin nggak tahan dan nggak tahu gi
ue ngga
n liur gue hampir menetes. Napas gue tertahan. Anjing. Cantik banget. Maksud gue... gue selalu tahu Thalia cantik, tapi gue nggak pernah nyadar dia semempesona ini. Paras tidurnya benar-benar tenang dan pasrah, sepe
gesek pentil gue, syaraf-syaraf gue bagaikan tersengat aliran listrik. Di bawah sana, batang gue terpijat nyaman oleh lipatan kecil kewanitaan Thalia yang terasa lembab da hangat meski masih terbungkus
an? Gue mandangin wajahnya tak percaya, ada keinginan buat ngebangunin dia supaya gue bisa melihat bola mata kecokelatannya yang
iap melompat, tapi... begitu gue lihat Thalia membusungkan dada dan memindah letak tangannya ke atas kepala, menarik bua
ck!" ma
mengawasi kalau-kalau Thalia terusik. Namun, dia hanya meggelinjang kecil ngerespon jilatan lidah gue yang mengusap sekitar putingnya yang makin mancung. Gue menjepit puting itu dengan bibir gue dan menariknya, lalu melepasnya, mengisap, lalu mengulumnya. Thalia mengerang. Aroma susunya merebak memenuhi hidung gue,
kannya dengan hati-hati, tapi karena Thalia masih diam saja seperti orang mati, gue pun nekat menyedot dan mengisap kencang. Kelembutan Thalia di mulut gue membuat gue gila. Darah gue mendidih dan mengalir deras ke satu ti
u dengan rakus k
bisa ngerasain betapa basah inti diri Thalia itu. Gue menekan-nekan dengan lembut, sesekali gue gesekin batang gue yang sudah nggak terbungkus boxer karena bend
ngin cepat-cepat meng
aluannya, aroma itu semakin kuat. Tengkuk gue meremang. Kulit gue panas, pembuluh darah gue melebar. Gue selipin jari
gue untuk mencicipi keintiman Thalia begitu besar. Gue berlutut, tangan gue terus menarik turun
menelanj
kit pubis tipis dibiarkannya tumbuh, tapi nggak liar. Di balik lipatan pipi vaginanya, lapisan-lapisan basah itu berkilauan ditimpa cahaya lampu, lengkap dengan bi
gue
lut dan gue teguk sebelum
rbakar
g gue, liang T