Night Flower
terbuka. Mimpi Audy berakhir, dia bangun dari tidur singkatnya. Padahal tadi
ban
menelisik lewat jendela. Di sampingnya, Raisa tersenyum teduh menunggu nyawa adikny
malem aku ketiduran setela
a sukai adalah membangunkan gadis itu di pagi hari, lalu mendengar satu dua kalimat dengan s
lau ngerjain tugas jangan sampai malem-malem. Sore aja
Kak
gan begadang. Sampai Audy bahkan lebih menghapalnya ketimbang materi yang gurunya
aku mau mandi. Nan
ak peduli. Dan malah menggenggam erat tangannya, menolak diusir. Padahal s
mandi
i Audy. "Kakak! Aku hitung sampai tiga, ka
luk tubuh Audy erat. "Yaudah bolos aja. Hari i
ang dan setuju mendengarnya. Kakak satu-satunya ini memang lain dari
ak i
sa, terus merengek seperti anak kecil. Raisa tertawa melihatnya bertin
k bantu ke ka
Lalu dia mendorong kursi roda itu menuju kamar mandi. Setelahnya Raisa memindahkan Audy dari kursi roda ke kursi kayu dalam
ntuk menyiapkan sarapan. Untuk hari ini hanya ada setangkup roti d
hari sudah berganti. Dan matahari bahkan sudah mengintip untuk bersiap menggantikan tu
rkena panas dari alat itu menggugah nafsu makannya. Dia berdiri diam d
cang buat gue," gumamnya, s
kegiatan pagi ini, tapi adiknya harus berangkat ke sekolah. Kecuali kalau Audy mau d
teriakan Audy terdengar memanggil namanya. Itu artinya Audy sudah s
ari itu Raisa selalu berusaha pulang tepat waktu. Andai kalau dia harus bekerja di toko, pabrik, atau mungki
ak bisa dipungkiri, dia merasa ber
.
i!
ang datang. Giandra menunjukkan dua kantung keresek di
ergi ke dapur. Tak berselang lama Raisa kembali membawa dua gelas sirup
pandangan. "Belum
m, masih lu
li menjenguk saat Audy di rumah sakit. Tanpa sadar mereka mengenal satu sam
kanya, ternyata isinya adalah buah kemasan rapi. Bisa dipas
at seperti mall atau marketplace manapun akan menggunakan plastik bercap na
" Mengerti apa yang Raisa bingungkan,
ik dari toko
sinya. Rasa segar membasahi tenggorokannya yang kering. Tetapi bahkan sampai dia mengembal
nap
annya ke atas meja. Raisa bangkit berdiri, ganti duduk di dekat Giand
lagi. Dia bergeser mundur, me
an itu Raisa lontarkan setelah bebera
sar. "Rusak. Kenapa kamu t
bisa
edulikan pertanyaan Giandra. "Coba bu
pas pakaian. Dia reflek menatap pintu yang tertutup, lalu kembali
di deoan dada Giandra be
ria itu mengadu kesakitan. Dia meringis, bergeser makin menja
n Giandra, mendelik galak. "Aku pukulnya pelan,
geleng. "Ini
ndiri berusaha melepas kancing kemeja pria itu. Giandra terus m
ohon, tak ingin mneyerah
kancing kemejanya. Dia menyibak pakaiannya ke samping, membuat bagian depan badannya
dia meringis melihat warna m
ar dari kantor. Mereka n
et mungkin mengambil kotak P3K. Setelah ketemu, Raisa kembali duduk di depan Gi
k bawa bodyg
i Giandra?" candanya, yang langsu
i luka Giandra dengan kapas yang telah dia beri alkohol, tangan Raisa be
nai luka Giandra. Beberapa titik keringat membasahi keningnya. Bahkan setelah m
s di genggaman perempuan itu, lalu dia tempelkan perlahan di lukanya
bahkan nggak bisa
um kecil. "Kamu
nyanya, tak sejalan
entu me
uk bisa obatin luka. Cukup tahu ca
watiran di matanya. "Emang apa? Ca
oleh darahnya ke dalam sebuah plastik bening. Kembali dia membaw
angsung menyilangkan tangan di depan dada
nunjukkan raut kemenangan pada Raisa yang sedikit terkejut. Luka di dadanya
ka
sesapan. Tangan besar Giandra melingkari pinggang ramping Raisa, menarik tubuh itu
eka berdu