Pembalasan Dendam Sang Duda Kaya
kata polisi!" Elina menyela pembicaraan Ben dengan Thalia. "Lagipula, ki
bu
ingin menjadi penyebab Thalia bertengkar dengan ibunya. "Hari itu ... aku
ndengar semua itu. Meski begitu, dengan tegar ia tetap m
ung hingga ke siku membuat jejak dari tatonya yang telah lama dihapus terlihat begitu jelas. Sekilas, sosok Ben saat ini mirip dengan para p
ni. Mata dengan ujung runcing seperti mata rubah yang seringkali mem
at tidur, tidak lebih
u ya
ahu bahwa aku tidak akan berbohong tentang hal seperti ini. Aku mema
amarah, wanita itu mencengkeram kerah Ben kuat-kuat. "Kamu tidak pernah berubah! Bagaimana bisa kamu mengabaikan tanggung jawabmu se
un yang mendengarnya. Namun, rasa sakit yang mereka rasakan tidak a
a hanya pasrah saat Thalia mulai memukulinya dengan keras. Sebisa mungkin Ben
a. Mungkin cinta Thalia memang sudah tidak ada lagi untuknya, tetapi Ben sempat berharap Thalia masih mengingat saat-saat
anya saja kali ini malaikat maut lebih cepat meng
dengar! Atau jangan-jangan, kamu sungguh punya bisnis terlarang yang membahayakan kita semua?" Thalia terus bertanya sambil menepis Gar
li. Bagaimana jika seandainya ia lebih berusaha lagi untuk meraih tubuh Alisya saat itu? Bagaimana jika ia memutuskan untuk
edua tangannya lalu merangkulnya. Tanpa perlawanan, ia dituntun menjauhi daerah pemakaman. Meningg
i merupakan kali terakhir
Ben menghela napas dan berbalik untuk kembali men
rogan, ia memandang Ben dari ujung kepala hingga ujung kaki. "Thalia sudah bahagia bersama Garry. Kamu juga harus menemukan bahagiamu sendiri tanpa melib
ya yang tidak ia lipat di depan dada. Seolah-olah ia teng
ta hati yang tumpul. Namun, baru kali ini ia merasakan sumbu kesabarannya mul
g, aku masih tidak punya niat untuk menikah lagi," jawab Ben jujur
aguslah kalau begitu. Rup
u di
ecara mental dan finansial. Fisikmu adalah satu-satunya hal yang bisa k
dengan memegang erat topinya. "Hah ... benar-benar hari yang sial! Sebenarnya kenapa aku repot-repot datang kemari?" gerutunya sambil berjala
dua mantan mertuanya. Ia baru kembali berdiri tegak set
ang sempat ia selipkan di saku celana. Kemudian ia berlu
emakamanmu," ucapnya lirih. Beberapa kali ia menggigit bibir bawahnya sendiri karena merasa aneh mengatakan hal-hal yang sangat jarang
sana. Cukup jalani kebahagiaanmu sendiri, tidak perlu memikirkan siapa pun. Sesekali saja kamu tengok k
kr
eragukan telinganya sendiri. Namun, setelah muncul beberapa kali, ia yakin bahwa suara itu mengarah kepadanya dan terd
en melihat keadaan di belakangnya tanpa berbalik. Bersikap s
pretan kamera ke telinga Ben. Tidak melihat apa pun di cermin,
berani bermain-main den
area pemakaman telah dijelajahinya. Langkahnya semakin cepat ketika ia menemukan seorang pria tengah berjongko
g tersebut dan mencengkeram pundaknya.
*