LINGERI PEMBAWA PETAKA
gak tahu nih, Bu. Tadi tidu
t Ibu Ijah berjalan mengambil segelas air putih. Setelah Bu Ija
Ijah. Aku mengangkat posisi anakku yang bersandar kepalanya dipelukanku. "Sayang, minum dulu ini." Aku juga membasuh air
merebahkan kembali anakku dan menemaninya, mengusapnya hingga ia tertidur lagi. Kemarin malam kurang nyenyak tidurnya, karena terbangun terus. Ya, aku dan Bu Ijah juga demikian. Setelah kejadian aneh-
ada di gudang belakang Bu, apa Ibu
nih, paling bisa, dah." "Ya udah, Non. Ibu tinggal dulu." "Iya, Bu. Aku tersenyum-senyum
tu kamar. Pandanganku mengarah ke dapur, memandangi Bu Ijah yang sudah memasukkan galon ke dalam dispenser, untung saja bukan model ya
r. Tapi, bagiamana nasibku kelak, ya. Ah! Sepertinya aku perlu memikirkan nasib kedepannya. Andai Suamiku tida
dak mau membedakan derajat, karena pada dasarnya sama, apa lagi Bu Ijah atau Art lainnya yang banyak membantu. Masakan Bu
uk gaib! Kok, mereka seperti mengenal I
tidak peduli dan tidak memandang siapa. Apa lagi orang yang berim
mah ini udah aman belum, ya?
akan kehadiran mahluk gaib. "Sudah Non, bicara yang lain saja, ya," perkataan pelan Bu Ijah terlontar dan memb
Meninggalkan anakku yang sedang duduk santai. Bu ijah menemaninya, melanjutkan langkahku ke kamar mandi dengan te
i. Bergegas setelah selesai aku hanya mengenakan handuk bawahan dan memakai t-shirt.
manggil," gumamku dan masih berjalan ke arah m
riak kayaknya," tanyaku pada Bu Ijah. Wajah B
k manggil kok," terlontar dari Bu
eriak gitu, makanya aku buru-buru, Bu. Takutnya ada ap
juga dari tadi di sini nemenin. Non tadi ma
"Ish, Non. Masa mandi Ibu temenin, masuk ke dalam, gitu?" "Haaaa, iya juga, ya. Ya, enggak Bu. Tungguin di depan pintu,," pintaku yang menjadi ketakutan. "Ya udah, ayuk Non." Bu Ijah langsung menggendong anakku, cekatan sekali Bu Ijah. Aku melanjutkan l
jah dan keluar dengan kaki kakan nanti. Dengan cepat melanjutkan mandi, walaupun ada Bu Ijah di depan pintu kamar mandi. Tapi rasanya bagaikan sehabis lari jauh, karena nafas tersengal-sengal di
menertawaiku. Lagian juga kasihan lihat Bu Ijah menggendong si Dede, eh! Tapi alasan utamanya karena aku sudah takut. "Udah, Bu. Dede tu
dan selelau mengirim pesan ke S
h. Suamiku juga berpesan untuk menganggapnya sebagai orang tua dan bukan asisten rumah tangga. Malah menyuruh untuk Ibu Ijah selalu bekerja di rumah sampai Suami pulang. Aku juga
kamar dan melihat ruang tamu dan dapur tidak aku lih
ada, mungkin mandi kali." Kembali duduk b
ah datang mengajakku. "Mau, Bu. Tadi aku mau nyamperin Ibu, tapi a
sin belakang itu, gudang kecil. Terus Bu k
, sepertinya ia sangat kuatir dengan anakku. Semakin saja aku sangat menyukai
*
bersenda gurau dan menikmati cemilan yang Bu Ijah buat. Terl
aku." "Apa ya, Non. Perlahan semoga semakin lama segera sembuh Non, tapi masih sering pusing enggak Non?" . "Kadang iya, Bu. Kalau bangun dari
, Bu!" sontak aku sangat trerkejut mendengar
gan besuara," bisik Bu Ija
erdengar lagi dan aku semakin mendekati Bu Ija
g, tunggu di sini, ya. Ibu Mau lihat dapur." "Yah, Bu. Udah
on," cetus Bu Ijah kepadaku. Bu ijah melipatkan lengan bajunya. Aku melihat bak jagoan dalam film. Pengen ketawa tapi takut. Ayunan kakinya perlahan Bu Ijah maju. Aku hanya bisa mengintip d
k pintu kamar, memantau dari kejauhan. Bu Ijah mengenda
ndi? lalu Bu ijah mau menyiramnya?" aku m
e atas ranjang, karena mendengar suara teriakan mengerang. Suara wanita itu dan suara lantang Bu Ijah. Aku menunggu Bu Ijah
a penunggu lain yang baik pergi dulu, supaya tidak kena sasaran air panas." "Oh, jadi Bu siram selokan itu dan yang tadi kesakitan berteriak itu, mahluknya, ya." "Iya, Non." "Kok bisa, Bu?" "Ya kan, memang senangnya
NNYA DITUNGGU. ADA HADIAH