WIBU VS KPOPER
seseorang di tempat umum macam ini. Mungkin berkomunikasi langsung memang hal yang bagus untuk hubungan kedu
h, pun dipadukan dengan jins hitam serta sepatu pantofel berwarna senada. Rambut sebahunya dibiarkan meman
u kets hitam, tampil seperti biasa, tidak terlampau berbeda dengan kali pertama pertemuan keduanya.
kan hal yang direkomendasikan. Barangkali pula bisa dilaknat Tuhan. Sebab bagaimanapun, apa yang dia lakukan memang terkesa
dengan suasana pertemuan pertama keduanya. Nara menyesap kopi pahit di cangkirnya sejenak
t yang dikeluarkan Ezra tatkala kembali bertanya, nadanya sukar dibedakan antara memang lesu ataukah memang tidak b
pi yang tinggal separuh di cangkirnya tersebut. Dia ikut-ikutan menarik napas saat berkata, "aku tahu ini terkesan egois, tapi kita h
ngsung diajak menikah bukan sesuatu yang bisa dirinya temui setiap hari. Jadi
enipu orang-orang sekitar demi mendapat kehidupan yang diidamkan' kehidupan yang damai tanpa pertanyaan kapan menikah dan sebagainya. "Kau dan aku sama-sama mencintai pekerjaan, jadi
gan kekehan di sudut bibir, geli sendiri, "Menikah kontrak
ngharapkan kau akan bekerjasama atau aku harus dikenalkan de
tenang tanpa ekspresi sekarang menampakkan kejengahan di ubun-ubun. Ezra ma
dengan prihatin. Agaknya, sedikit mengerjai anak di depannya bukan perkara yang bisa disebut salah. M
gharapkan penolakan, Nara bukanlah orang yang senang memaksa manusia lain untuk mengi
tik, dia menukas lagi, dengan keraguan yang kian kental di pelupuk mata, "Aku enggan men
ekalian meraih ketenangan yang sebelumnya nyaris raib, Nara akhirnya menyuarakan pendapatn
a haluan pembicaraan mendadak berubah drastis macam inu. Pub, reaksi tersebut tidak hilang juga saat pria berusia awal tiga puluhan tersebut melanjutkan
lasi antara dunia percintaannya serta keinginan untuk menikah? Jika memang itu yang diharapkan oleh Ezra, Nara rasa dia harus engga
ang sama sekali tidak bisa ditolak dengan mudah, "Karena
ng membuatnya malu lima tahun lal
*
run sejak seperempat jam lalu. Nara menyandarkan kepalanya yang mendadak pening ke sandaran kursi bus yang hening sore itu. Mendung
, karena jawabanku ter
baru saja meletakkan bom waktu dan harap-harap dia akan mati karena ledakan itu. Tapi, sesungguhnya, Nara hanya terdiam di sana-masih hidup, secara harfiah, dan masih menggenggam cangkir kop
hun lalu masih membekas dan enggan lepas. Sial. Sial. Sial. Pertemuan