Konselor Pernikahan
*
ang gelas kopi berdampingan, salah satunya terlihat masih utuh-sedangkan ya
le spreadsheet berisi laba rugi tentang bisnis food truck miliknya. Karenina selalu menghitungnya setiap bulan, maklum saja ia mengerjakan setiap urusannya sendiri tanpa memahami arti kata 'lelah'. Untung saja Karenina memiliki tukang pijit pribadi yang si
n keduanya. Tangan kanan Denial tampak terulur mencari gelas kopinya tanpa melihat ke arah benda itu, sebab fokusnya te
i dekat televisi, pantas saja mata serta tubuhnya mendesak agar ia lekas beristira
ntuk terakhir kali, tapi keningnya mengerut tatkala menyadari jika gelas kopinya sudah kosong. "Kayaknya tadi kopi saya belum habis, enggak bo
gusap tengkuknya usai melihat langsung jika gelas kopinya bena
"Ya udahlah, saya mau istirahat. Gelasnya harus dicuci semua." Ia b
g ia letakan di sisi gelas, keningnya refleks mengernyit setelah ia mengecek tanggal. "Jadi, besok itu-" Senyumnya terbit, ia menutup laptop d
*
tu sibuk memporak-porandakan dapur seraya mengenakan apron meski ia sudah memakai kemejanya lengkap dan rapi. Karenina sendiri terheran-heran tentang alarm po
dapur bukanlah ilusi, tapi benar-benar Denial yang
yang sempat berdiri di ambang pintu dapur akhirnya masuk menghampiri Denial, suaminya berdiri di sisi meja makan se
ja bangun pagi dan buatin sarapan kita, Sayang.
Karenina mencebik bibir sebelum meraih sepotong sa
Ia bahkan lebih menyebalkan dari sikapnya sebelum menikah, sekarang pintar sekali merayu
ina tak lantas meminum susu tersebut, ia justru mendekatkannya
masih dipegang Karenina, meneguknya setengah sebelum sisanya dihabiskan sang istri. "Oh, ya. Aku kalau pakai apron kelihatan s
arkan suaminya bahagia sejenak saja, ia memang lebih sering to t
justru semakin tak peduli, Karenina menarik dasi Denial hingga laki-laki itu me
mah istri orang." Ia memasang apron tersebut di tubuhnya seraya menatap lekat Denial yang masih mempertah
nya di meja, saat perempuan itu hendak turun-Denial lebih cepat menahannya agar tertahan di sana. "
, te
g tangan Karenina terkepal di dada dan mendorongnya agar sentuhan di bibirnya terl
semacam itu terlalu buas jika dilakukan tanpa sama-sama menginginkan. Ia mengerucut sebal seraya turun dari meja, tangannya bersidekap beriringan dengan merah padam di wajah. "Saya h
k lagi tanggal merah aja kamu, Karen." Denial ter
*
as angkasa, kapas-kapas putih nan tebal juga bergumul berarak sesuka hati. Sayangnya, hari yang dijalani seseorang menegaskan sebuah perbedaan. Ta
hari ini tiada senyum tulus yang biasa ia perlihatkan kepada para pelanggan food truck, hari ini ia memaksa senyum seraya menyembunyikan kek
kan potongan seledri pada makananya, ia benar-benar tidak tahu jika si pelanggan baru sangat membenci seledri. Karenina t
terisi penuh setiap pagi, tak mungkin mati secepat itu. Jika Denial tak datang ke tempatnya pun Karenina tak mempermasalahkan, ta
seraya mengemudikan mobilnya, ia belum melakoni tanggal merah, tapi segala sesuatunya bisa membuat Karenina sekesal itu. "Kalau hapenya nggak bisa dipakai lagi, buang ajalah." Ia mematikan p
urun dan melangkah menghampiri beranda, tapi ia tertegun saat menemukan
un yang berbeda. "Tapi, ini memang cantik." Mendung yang sempat menghiasi wajahnya berubah cerah seketika, tanaman tersebut membuat suasana hati Karenina langsung berubah. Ia tersenyum saat menyentuh rimbunnya daun maple
a di rumah dan bersembunyi di dalam atau menyembunyikan motornya di tempat lain. Ia pik
asuki rumah, mengecek satu per satu ruangan seraya menyebutkan nama suaminya. "Denial, kamu di mana? Kamu la
asi, ia duduk di tepi ranjang dan mengembalikan lagi murung di wajahnya. Ponsel di saku
hanya mendung yang menghiasi wajah Karenina, tapi air hujan juga
*