Adrian sedang memangkas tanaman pucuk merah di halaman belakang kediaman Keluarga Baron, ketika ibu mertuanya memanggilnya dengan suara nyaring.
"Adrian!!! Dimana kamu?!"
Adrian pun menoleh ke arah sumber suara itu lalu menghentikan aktivitasnya. Dia meletakkan alat penyemprot dengan kapasitas delapan liter itu ke tanah.
"Iya, Ma. Adrian di sini!" jawab pemuda berusia 27 tahun itu setengah berteriak agar wanita bernama Cindy itu mendengar suaranya.
"Dari tadi apa kerjaan kamu, hah! Itu kenapa bunga-bungaku belum disiram?!" ucapnya ketus setelah mendekat.
"Maaf, Ma. Tadi Adrian sedang memberi pupuk, sebentar lagi selesai dan Adrian akan menyiram bunga yang di depan," jawabnya tetap sopan dan tersenyum.
Cindy memanyunkan bibirnya mendengar itu.
"Alah! Alasan saja kamu! Memang kerjamu itu selalu tidak becus!" cibirnya dengan bibir maju.
"Maaf, Ma."
Hanya kalimat itu yang mampu dia katakan. Adrian harus banyak bersabar menghadapi Cindy yang selalu cerewet dan kurang puas dengan semua yang dikerjakannya.
"Dasar pemalas kamu! Oh, ya satu lagi. Jangan panggil aku Mama! Aku tidak sudi punya menantu seperti kamu! Kalau bukan karena putriku sudah aku tendang kamu dari rumah ini! Huh!" ucapnya ketus.
"Baik, Nyonya!" jawabnya tertunduk lesu.
"Kamu itu harus sadar diri dong! Sudah menumpang hidup dan makan gratis di rumah ini! Dasar tidak berguna!"
Setelah puas memaki, wanita itu berlalu pergi begitu saja meninggalkan Adrian.
Cindy selalu saja mengatakan hal itu kalau sudah memarahi Adrian. Dia selalu mengingatkan status Adrian yang berbeda dan bertolak belakang di rumah ini.
Menantu, suami dan juga tukang kebun keluarga ini.
Karena sudah selesai, Adrian segera membereskan peralatannya dan bergegas menuju halaman depan untuk menyiram tanaman yang lain.
Dia melihat istrinya yang tak lain sekaligus putri dari majikannya sedang membaca buku di teras.
Diam-diam Adrian mencuri pandang ke arah gadis cantik itu. Dia hanya bisa mengagumi istrinya itu dari jauh.
Adrian kembali teringat saat baru beberapa bulan bekerja di rumah ini.
Saat itu Tuannya sedang kalut dan berusaha menenangkan putrinya yang menangis karena tidak jadi menikah lantaran calon suaminya telah menghamili selingkuhannya.
Adrian yang kebetulan ada di sana tiba-tiba ditunjuk oleh Tuannya, pria bernama Baron Belova untuk menggantikan calon menantunya dan menikahi anak satu-satunya.
Baron merasa Adrian cocok, karena memiliki wajah yang tampan dengan tubuh tinggi meskipun tidak terlalu berisi dan dia pikir orang-orang juga tidak akan terlalu curiga kalau putrinya menikah dengan orang lain. Mereka akan membuat alasan sedemikian rupa nantinya.
Clara Freya Belova, gadis 25 tahun itu hanya diam saja, tidak menolak dan juga mengiyakan. Baron melakukan itu untuk menutupi malu dari tamu undangan karena pernikahan itu tinggal seminggu lagi.
Adrian dan Clara sudah menikah selama setahun tapi gadis itu masih saja dingin dan cuek padanya. Meskipun tidak sekejam Cindy saat berkata-kata, tapi Clara selalu menjaga jarak dengannya.
Tapi Adrian tetap sabar dan berharap suatu hari nanti hatinya bisa terbuka untuk menerimanya dengan tulus. Seperti Adrian yang sudah menyukai gadis itu sejak pertama kali bertemu.
Merasa diperhatikan, Clara pun menoleh.
"Kenapa? Apa ada yang aneh denganku?" Clara bertanya dengan kening berkerut pada Adrian.
Membuat pria itu salah tingkah karena tertangkap basah.
"Tidak, Clara. Aku hanya ingin melihatmu saja," jelas Adrian dengan wajah memerah.
"Lakukan saja tugasmu, Adrian. Nanti Mama mengomel. Aku pusing mendengarnya," ucapnya mengingatkan.
Terkesan dingin memang, tapi Adrian cukup senang karena Clara mengizinkan mereka memanggil nama satu sama lain. Setidaknya gadis itu masih menghargainya sebagai suami sahnya.
"Oke, Clara. Terima kasih!" jawab Adrian tersenyum.
"Jangan senang dulu, pekerjaanmu masih banyak!" ucapnya tetap dingin.
Setelah itu Clara menutup buku itu dan bangkit dari duduknya lalu masuk ke dalam rumah.
Melihat sikap Clara yang selalu seperti itu, Adrian hanya bisa menghembuskan napasnya dengan kasar.
Pak Mario, security rumah keluarga itu menjadi iba melihat keluarga ini selalu memperlakukan Adrian dengan buruk, padahal dia tahu kalau Adrian adalah pemuda yang baik.
"Sabar ya, Nak. Mudah-mudahan Nona Clara cepat sadar dan bisa menerima kamu sebagai suami seutuhnya," ucapnya menghibur.
"Iya, Pak. Tidak apa-apa. Aku akan menunggu sampai waktu itu tiba," jawabnya dengan mendesah pelan.
"Oh, ya. Apa kamu masih diberi gaji?" tanya pria 38 tahun itu tiba-tiba.
Adrian hanya tersenyum lalu menjawab, "Tidak, Pak. Aku sudah cukup bersyukur sudah bisa makan dan tinggal di sini," jelasnya.
Pria itu hanya menggelengkan kepalanya. Dia juga tidak bisa membantu Adrian dalam hal ini.
Cindy sudah melarang Baron memberikan uang gaji dari pekerjaan Adrian sebagai tukang kebun mereka, walaupun hanya separuhnya saja.
/0/18225/coverorgin.jpg?v=e8d893a9acde5eba377b62355a66e599&imageMogr2/format/webp)
/0/18136/coverorgin.jpg?v=bbddd094c3a24fb96ea320ae91ec957d&imageMogr2/format/webp)