/0/24879/coverorgin.jpg?v=0d67d7338b7cc49c969c5ad1a9444060&imageMogr2/format/webp)
Bila menutup mataku, bisakah aku berpura-pura bahwa ini semua adalah dongeng yang pada akhirnya akan selalu berakhir bahagia? Ketika Heroin bertemu dengan Pangeran atau pahlawan, atau apa pun itu, dan berakhir di pelaminan yang membahagiakan? Bahwa seluruh kesulitan itu akan dibayar dengan akhir bahagia yang pasti?
Sayangnya, hidup tidak semudah itu.
Hidup bukan tentang seseorang yang lahir dan menandatangani kontrak bahagia di akhir hayat. Tidak. Terkadang mereka akan mati bahkan sebelum dilahirkan, atau beberapa saat setelah mereka melihat dunia, tetapi belum sempat mengucap sepatah kata, atau ... bersatu dengan ombak dan lautan. Seperti yang saat ini sedang ditayangkan di televisi.
Rokok yang kunyalakan hanya tersisa setengah. Cerutunya jatuh ke lantai, tetapi aku hanya menghisapnya sekali. Perhatianku terlalu fokus pada orang-orang malang yang melompat dari tebing, atau kapal-kapal yang karam di lautan.
Terlalu banyak kematian di lautan dalam satu bulan terakhir.
Reporter berita di televisi tengah menjelaskan kronologi kejadian dan hasil wawancara dengan kepolisian setempat, ketika Aiden meraih daguku dan membawaku dalam ciuman yang menuntut. Tangannya meraih remot dan mematikan televisi, membuat ruangan yang hening itu semakin hening.
Dia berhenti menciumku, tetapi aku masih bisa merasakan desah napasnya di ujung bibir.
"Jangan buang waktu kita dengan berita duka itu, Vynnia!"
Aku tertawa kecil. "Terlalu banyak kematian, Aiden. Terlalu dekat."
"Benarkah?" Dia bergumam skeptis.
Aiden bukanlah orang yang akan berduka. Dia bukan orang yang akan berdiri di pemakaman dan berbicara baik tentang kenalannya yang meninggal dunia. Apalagi berita yang melibatkan orang-orang yang tidak pernah ditemuinya. Satu-satunya hal yang akan menarik perhatiannya hanyalah ketika peristiwa itu membawa dampak pada bisnisnya.
Aku tidak menyalahkannya. Sebagian besar manusia memang demikian.
Tamak. Egois. Rakus.
Mereka akan memakan apa pun yang menguntungkan mereka. Mereka akan menghancurkan apa pun yang menghalangi jalan mereka.
Aiden Russ adalah bukti nyata dari semua dosa besar yang dapat dimiliki manusia.
Tidak masalah. Itu hanya akan membuat segala hal lebih baik, karena aku tidak perlu merasa bersalah pada akhirnya.
Aku dengan lembut meraih dagunya, merasakan lembutnya kulit dagu yang setiap pagi dicukur rapi, merabanya dengan ujung jari hingga berhenti di bawah bibirnya.
Aiden tersenyum.
Aku menggumamkan nyanyian.
Dengan perlahan, aku bangkit dari tempat dudukkku. Rokok yang masih tersisa setengah itu terjatuh ke lantai. Terlupakan. Masih dengan gumam nyanyian yang memabukkan. Aiden meraih tanganku, lantas menciumi buku-buku jariku dengan lembut. Ekspresinya secara perlahan berubah seolah-olah aku baru saja mencekokinya dengan sloki-sloki vodka. Matanya kehilangan apa yang disebut manusia dengan kesadaran. Hanya terfokus padaku. Mendamba. Mabuk. Terpana. Kehilangan dirinya.
Aku tersenyum.
Aku bisa memerintahkannya untuk menggorok lehernya sendiri, lantas dia akan berlutut dan melakukannya dengan senang hati.
Dengan perlahan, aku mendorongnya ke sofa dan duduk di pangkuannya. Secara perlahan menciumi dagu, pipi, dan ujung hidungnya. Lelaki itu hanya mendesahkan napas tanpa mampu mengatakan apa pun.
"Aiden," gumamku. Nyanyianku menggema. "Kau mencintaiku?"
Jantungku berdebar terlalu kencang. Aku memerlukan ini. Aku ingin dia meleleh dan menggumamkan kata-kata cinta yang memabukkan.
"Ya."
Tanganku mengepal di bahunya. "Kalau begitu, berikan aku kekayaanmu, Aiden."
Ketika pada akhirnya, aku pergi dengan segepok uang dan mobil baru, aku tahu kemampuanku sama sekali tidak memudar. Kemampuan untuk membuat manusia, terutama laki-laki bertekuk lutut padaku. Pada nyanyianku.
Siren.
Kata itulah yang pertama kali muncul di google pencarianku sepuluh tahun lalu, ketika aku pertama kali menyadari nyanyianku dapat membuat orang-orang mabuk dan pada akhirnya dengan senang hati melakukan apa pun untukku. Saat ini, usiaku 24 tahun dan aku menggunakan nyanyianku untuk hidup.
Dalam mitologi Yunani, di cerita Odissey, Siren digambarkan dengan sesosok wanita setengah burung yang hinggap dan tinggal dikarang-karang yang terjal. Mereka akan bernyanyi dan menggoda para pelaut untuk membawa kapal mereka menuju karang-karang dan tenggelam.
Dongeng lain mengatakan Siren adalah manusia setengah ikan. Hampir sama dengan para putri duyung, tetapi ketika putri-putri duyung itu digambarkan dengan kecantikan yang tiada tara dan mutiara-mutiara, Siren tetaplah makhluk kejam yang akan menenggelam para pelaut dengan nyanyian memabukkan mereka.
Darimana pun legenda itu berasal Siren adalah makluk kejam dan jahat yang akan menggoda manusia menuju kematiannya.
Aku adalah makluk terkutuk yang akan membawa manusia pada kehancurannya.
Tanganku mencengkram stir mobil hingga buku-buku jariku memutih.
/0/21795/coverorgin.jpg?v=f206ca166aed5dedf7f223890c72cad9&imageMogr2/format/webp)
/0/3009/coverorgin.jpg?v=9237686087c4e81b4ab3f1506077a0c2&imageMogr2/format/webp)