/0/15547/coverorgin.jpg?v=c919da9d1068f2a65413c2b878183c94&imageMogr2/format/webp)
Legenda pesugihan dari laut selatan pulau Jawa yang selama ini dianggap dongeng sebelum tidur oleh sebagian orang. Nyi ratu “Blorong“, sosok siluman ratu ular sebagai simbol kekayaan, sejauh ini sang ratu hanya dianggap mitos yang sangat kental dengan dunia mistis.
Faktanya ia ada dengan jati dirinya yang tak kasat mata dan tetap setia sampai detik ini dengan para sekutunya. Inilah kenyataan yang ada dan tak disadari sepenuhnya oleh manusia di kehidupan masyarakat milenial.
Sebenarnya para pengikut sang ratu sebagian kecil masih tetap ada di sekeliling lingkungan kita tanpa ada yang tahu. Inilah salah satu kisahnya dari banyak cerita Nyi Ratu Blorong, kisah ini berasal dari teman saya sendiri yang pernah mengalaminya.
Peristiwa ini terjadi di era akhir tahun1997 – 1999, saat krisis moneter melanda di negeri ini. Nilai rupiah terpuruk, diperberat dengan kejatuhan ekonomi di negeri kita tercinta.
Keadaan ini memaksa sebagian pengusaha terpaksa menutup usahanya sebelum menanggung kerugian yang lebih dahsyat lagi. Akibat tutupnya sebagian besar industri dan pabrik menyebabkan PHK masal mulai meraja lela.
Otomatis pengangguran meningkat dengan cepat begitu juga index kemiskinan serta kemelaratan ikut melesat tak terkendali. Hanya sebagian kecil pemegang dolar yang aman dan untung serta nyaman di kursi bisnisnya, tapi tidak untuk masyarakat pemegang rupiah.
Lokasi kejadian kali ini berada di Provinsi Jawa Timur, tepatnya dari kabupaten ****. Disaat kebanyakan pabrik tutup, para buruh banyak dirumahkan alias PHK.
Nasib pemutusan hubungan kerja sepihak itu juga dialami Udin dan Sarji, karena mereka berdua juga buruh pabrik yang terkena imbas dari krisis ekonomi moneter.
Gelar pengangguran baru yang tersemat dalam diri mereka ini juga memaksa mereka jatuh kedalam jurang kemiskinan akut dalam waktu singkat. Mereka harus memeras otak untuk bisa bertahan hidup dan menafkahi keluarganya.
Ditempat asalnya, Udin hanya mempunyai sepetak tanah dengan rumah sederhana di atasnya, sedangkan semua anggota keluarga menggantungkan hidup kepadanya. Udin mempunyai satu istri dan tiga orang anak yang masih kecil-kecil, sedang mertua dan kedua orang tuanya sudah tiada lagi.
Tiap hari Udin sibuk mencari pekerjaan, pekerjaan apa saja siap dia lakukan, tapi keadaan waktu itu sungguh tidak memungkinkan. Kesana-kemari tanpa hasil yang jelas, hingga akhirnya ia disibukkan untuk mencari pinjaman sebagai penutup kebutuhan sehari – hari.
Mulai bank harian, mingguan dan bulanan pun lengkap ia koleksi. Dari lintah darat sampai lintah laut ia pun selami untuk berutang, nasib baik memang tak lagi berpihak kepada udin. Tapi ia masih mempunyai keyakinan untuk berusaha untuk bekerja secara wajar.
Udin ini kebetulan bertetangga dengan Sarji, tepatnya rumah udin saling membelakangi satu sama lain. Kebun berukuran lebar enam meter yang memanjang sebagai batas rumah mereka, dibelakang rumah ini mereka juga sering bertemu dan berkumpul.
Mereka berdua dulunya memang berteman sejak kecil hingga sampai sekarang berkeluarga. Di belakang rumah, ada sebuah pohon keres yang lumayan besar dengan daun yang sangat rindang, dibawahnya terdapat tempat duduk dari kayu seadanya.
Kursi kayu di bawah pohon ini mereka gunakan sebagai ajang kumpul-kumpul sesama mantan buruh pabrik. Mereka berkumpul untuk membahas pekerjaan dan peluang usaha yang mungkin masih bisa diraih, tapi tidak dengan Sarji.
Kehidupan Sarji sebenarnya tak berbeda jauh dengan kondisi ekonomi dengan udin. Mentalitas sarji setelah terkena PHK besar-besaran malah turun drastis, mulai bermalas-malasan, suka foya-foya dan mengandalkan harta dari orang tua.
Sarji seakan lupa dengan tanggung jawabnya sebagai seorang kepala keluarga. Dia terus melakukan kebiasan buruk itu tanpa memikirkan masa depannya. Tapi keadaan itu tidak berlangsung lama, seketika harta kedua orang tuanya mulai menipis semua berubah.
Uang pensiunan kedua orang tuanya lama kelamaan juga tak mampu menyokong gaya hidup Sarji, sampai akhirnya hartanya habis juga. Kedua orang tua Sarji masih menyisakan sebidang tanah dan rumah yang ia tempati, sedangkan untuk uang sudah tak lagi.
Sarji setiap harinya hanya berhutang dan utang, semakin lama utang sarji semakin menumpuk melebihi utang Udin.
Setiap hari, kegiatan Sarji hanya main ke warung, makan, rokok, kopi dan mencatatkan utang-utang baru di buku Bon.
Sedang istrinya di rumah belum dikaruniai buah hati juga berpangku tangan. Selain ke warung Sarji juga hobby berjudi togel, dari kebiasaan inilah pundi-pundi kemelaratan mulai bertambah parah kepada keluarga Sarji.
Kehidupan Sarji semakin hari semakin melarat, hidup tidak tenang karena terus dikejar utang dan utang. Dia sudah tidak bisa berfikir lagi, apa yang harus dilakukan untuk keluar dari kubangan utang. Semakin hari, utang semakin menumpuk karena bunga-bunganya.
Desember 1997, di siang hari yang sangat terik, Udin dan Sarji sedang duduk-duduk di warung langganannya sekedar mencari hiburan. Saat mereka sedang asyik ngobrol tak karuan, sebuah mobil kinclong datang dan parkir di depan warung.
Udin terus memperhatikan mobil tersebut, tak lama kemudian keluar seorang pria yang wajahnya tidak asing di mata Udin dan Sarji. Pria itu berjalan menuju warung dan langsung menghampiri mereka,
Sekian detik ia mengamati wajah sosok yang baru datang ternyata adalah temannya satu pabrik dulu. Sebut saja namanya Ronald, kawan akrab di pabrik yang berasal dari kota sebelah. Saat itu, warung lagi sepi pengunjung dan hanya ada mereka bertiga.
Maklum jam segitu waktunya orang kerja bukan malah bermalas-malasan. Udin mempersilahkan Ronald untuk duduk bergabung, berkumpulah tiga teman akrab yang sekian lama tidak ketemu.
“Whoi...dari mana kamu Nald, tak kira siapa?” tanya Udin penasaran.
“Dari hotel mau cari kopi disini din?” jawab Ronald dengan senyuman tipis.
“Gaya kamu kayak orang paling tajir sekarang Nald?” celetuk sarji
q“Loooh belum tahu? Biasa Ji, horang kaya,” jawab Ronald sambil menggoda Sarji
Obrolan santai dan akrab terus berlanjut, semakin lama semakin seru. Satu persatu saling cerita tentang kehidupan masing-masing lengkap dengan masalah yang dihadapi.
Bumbu hidup satu dengan yang lain memang beda, tapi permasalahan Udin dan Sarji hampir sama. Mereka berdua berkeluh kesah akan keadaannya sekarang kepada Ronald, tapi Ronald belum merespons keluh kesahnya karena masih asyik ngobrol tentang nostalgia mereka selama ini.
Selain itu, Ronald yang sekarang sudah berubah drastis, banyak pikiran yang harus dicurahkan untuk urusan bisnisnya. Sekian lama mereka bicara ngelantur kesana kemari dan berkhayal tidak jelas, akhirnya Ronald mulai iba kepada mereka berdua dan memulai pembicaraan serius…
“Eh... kalian mau utang kalian lunas dan bisa kaya kayak aku gak?” Tawar Ronald dengan tatapan matanya yang tajam kepada Sarji dan Udin.
“Jangan ngelindur Nald, kau ini kaya kan karena harta dari orang tua kamu kan?” Bantah Sarji dengan sedikit mengejek.
“Enggak gobl*k, aku bisa seperti ini karena kerja keras dan banting tulang. Tapi.... ada juga yang bantu. Dukun andalanku!!!” Tegas Ronald
“Kok bisa Nald, lha dukunnya juga kaya ta…?” Ejek Udin yang tak mempercayai perkataan Ronald dengan senyumnya yang sinis.
“Matamu Din, beneran aku ini,” bentak Ronald, tapi kemudian ia langsung tersenyum.
“Ayok Nald, aku juga pengen kayak kamu. Gak usah dihiraukan orang satu itu,” sahut Sarji serius yang mulai tertarik dengan ajakan Ronald.
“Ya udah, besok jam 10 pagi kita kumpul disini. Aku yang jemput, gimana?” ajak Ronald dengan nada serius.
“Kamu ikut gak, Din?” Tawar Sarji serta kepalanya menoleh dengan wajah serius kepada Udin.
Seketika itu juga tatapan mata semua tertuju pada Udin, karena dari awal ia ogah-ogahan dan meremehkan Ronald. Udin hanya terdiam dan terpaku mendengar Ronald dan Sarji.
Sedang Ronald dengan rasa iba dan rasa solidaritas pertemanan ingin membuktikan serta membantu kepada kedua kawannya ini.
“Ikut sana Din, biar kamu bisa bayar utang!” Sahut ibu pemilik warung dari belakang meja
“Ogah buk, aku nguli saja,” jawab Udin tenang sambil menikmati rokok.
“Meski aku melarat banyak utang, mending kerja seadanya buk,” tegas Udin yang menyeruput kopinya.
“Eh... Orang sudah kere banyak gaya,” ejek Ronald serta tangannya meraih kaca mata hitam di belahan bajunya.
“Iya tuh mas, di mana otakmu, Din. Diajak bisnis sama temennya yang sudah sukses malah ngejek,” timpal ibu pemilik warung dengan sedikit sewot.
“Sudahlah Din, ayok kita ubah nasib kita. Kalau tidak kita yang rubah siapa lagi?” Paksa Sarji serius
“Ya mau saja Ji, tapi kalau ke dukun lebih baik aku gak ikut. Paling Ronald juga bohong Ji,” jawab udin tetap kekeuh pada pendiriannya.
“Ya wes, kalau begitu kamu temani aku saja, Din. Nanti kalau aku berhasil, kamu tak kasih bagian,” bujuk Sarji kepada Udin.
“Besok mampir ke rumahku dulu Din kalau gak percaya! Susah memang ngomong sama kamu,” ujar Ronald.
“Oke... Oke... Oke, tapi aku ikut hanya menemani Sarji saja. Maksa amat kalian,” jawab Udin yang sudah tak tahan karena paksaan dan tekanan di warung.
“Lha gitu dong Din, kamu kan teman sejatiku… Hehehehe,” sahut Sarji mulai bahagia serta tangannya menepuk pundak Udin beberapa kali.
/0/8424/coverorgin.jpg?v=cd5cd8adce3a1af1e7f6c82974100e25&imageMogr2/format/webp)
/0/7540/coverorgin.jpg?v=64ba578be9dfd13513fb31866dbcd0fd&imageMogr2/format/webp)