/0/29114/coverorgin.jpg?v=8ef50e2564eedbd7adab40a8459a0b58&imageMogr2/format/webp)
Pada malam hari, ruang tamu yang luas bersinar di bawah lampu terang saat dua orang duduk berhadapan, surat perjanjian perceraian berada di antara mereka.
Kevin Suhada, yang berpakaian rapi dalam setelan jas, memancarkan aura dingin dan cuek. Wajahnya yang tajam tetap tidak terbaca, kehadirannya berwibawa dan mengintimidasi. Tatapan tajamnya tertuju pada wanita pendiam di seberangnya, matanya tak dapat dipahami.
"Kita akan bercerai pada hari Senin," ucapnya, suaranya tegas dan tanpa emosi. "Selain kompensasi dalam perjanjian, kamu dapat meminta apa pun yang kamu butuhkan."
"Kenapa begitu tiba-tiba?" tanya Flora Blasius, suaranya lebih pelan dari biasanya.
Jawaban Kevin lugas. "Aisha sudah kembali."
Flora tahu persis siapa Aisha. Setelah jeda sebentar, dia menjawab, "Baiklah."
Kevin ragu-ragu, terkejut dengan penerimaan langsungnya.
Flora membuka surat perjanjian perceraian, pikirannya melayang ke masa lalu.
Dua tahun lalu, mereka bertemu di sebuah klub malam. Saat dia telah terbebani oleh berbagai kekhawatiran, Kevin telah merawat hatinya yang terluka. Setelah minum beberapa gelas, mereka menemukan hiburan dalam kebersamaan satu sama lain, mengobrol hingga larut malam.
Tidak ada hubungan sesaat yang impulsif—hanya perpisahan yang tenang setelahnya.
Tiga hari kemudian, pria itu kembali bersama asistennya untuk melamarnya. Dan dia setuju.
Setelah menikah, Kevin memperlakukannya dengan baik—memperhatikan kebutuhannya, mengeringkan rambutnya dengan tangan yang lembut, dan menyelesaikan masalahnya bahkan sebelum dia mengungkapkannya.
Hubungan mereka sempurna—sampai enam bulan lalu, ketika sebuah panggilan telepon mengubah segalanya.
Dalam semalam, pria itu menjadi dingin dan menjaga jarak, tidak lagi bersikap lembut.
Saat itulah dia mengetahui kebenaran: Kevin menikahinya karena dia sedikit mirip dengan cinta pertamanya yang hilang, Aisha Bustami.
Kenangan itu membuat Flora mengatupkan bibir sebelum bertanya dengan ringan, "Kamu bilang aku boleh meminta kompensasi, 'kan?"
"Ya," jawab Kevin dengan nada datar.
"Apa pun yang aku inginkan?" Flora mengangkat mata dan menatapnya, wajah cantiknya tidak lagi berseri seperti biasanya.
Untuk sesaat, rasa bersalah berkelebat di dada Kevin. "Ya."
Dia telah memutuskan untuk mengabulkan tuntutannya yang wajar.
Lagi pula, wanita ini selalu bersikap baik padanya.
Suara Flora tenang. "Kalau begitu, aku ingin mobil termahal di garasimu."
"Baiklah," ucap Kevin setuju.
"Sebuah vila di pinggiran kota," tambahnya.
"Boleh," ucapnya.
Flora tersenyum. "Dan setengah dari uang yang kamu hasilkan dalam dua tahun terakhir."
Untuk pertama kalinya, ketenangan Kevin retak. Matanya menyipit sedikit, seolah-olah bertanya apakah pendengarannya benar. "Apa katamu?"
Flora, tanpa gentar, mengulangi permintaannya. "Penghasilan kita selama perkawinan dihitung sebagai harta perkawinan, 'kan? Berdasarkan perhitunganku—tidak termasuk investasi—gaji dan dividenmu selama dua tahun terakhir berjumlah dua triliun. Aku tidak menginginkan banyak—hanya 40%."
Keheningan berat menyelimuti mereka.
Kemudian, dia menambahkan, seolah-olah menyebutkan cuaca dengan santai, "Tentu saja, kamu juga dipersilakan mengambil 40% dari penghasilanku."
Kesabaran Kevin akhirnya habis. "Flora!" Suaranya mengandung nada tidak percaya.
Apakah dia benar-benar merasa bersalah barusan? Bagaimana mungkin dia tidak pernah menyadari keserakahannya sebelumnya?
Flora membalas tatapannya dengan tatapan datar. "Apakah itu tidak dapat diterima?"
/0/24534/coverorgin.jpg?v=2fb2bfca353b2bed747270156cd01570&imageMogr2/format/webp)