/0/24879/coverorgin.jpg?v=0d67d7338b7cc49c969c5ad1a9444060&imageMogr2/format/webp)
Bugh
Dara berhenti melangkah, ia memejamkan mata saat satu buah kotak tisu melayang ke kepalanya. Ia menghela nafas, meletakkan belanjaannya sejenak di atas lantai dan meraih kotak tisu yang tadi dilempar oleh Juna.
“Bukannya sudah kukatakan untuk tak menyentuh barang-barangku, kau tuli? Apa kau tak mengerti maksud dari perkataanku?“ Juna berucap kesal. Ia mengusap wajahnya dengan kasar.
“Maaf, Mas, tadi barang-barang kamu di meja kerja berantakan jadi—”
“Maaf lagi, maaf lagi. Sudah kukatakan kita punya batas, Dara. Berkali-kali juga aku minta kau untuk tak melewatinya barang seinci pun. Tapi, sudah berapa kali aku melihat kau melanggar. Kau melewatinya dan seharusnya kau sadar diri. Aku tak butuh kau membereskan barang-barangku atau bertingkah selayaknya istriku. Kita menikah di atas kontrak asal kau tahu itu!"
Juna menunjuk wajah Dara dengan beringas. Giginya bergemerutukan sembari menahan kesal, urat-urat di lehernya menegang saat ia mengatakan hal itu. Wajahnya memerah dengan pupil mata melebar. Kekesalannya sudah mencapai puncak, tapi dalam kontrak pernikahannya ia sudah berjanji untuk tidak melakukan kekerasan.
Dan itu membuat Juna semakin marah.
Dara hanya menunduk diam tanpa membalas perkataan Juna. Laki-laki itu sangat marah, Dara tahu. Padahal ini hanya masalah sepele. Kebencian Juna padanya membuat setiap hal yang dilakukan Dara adalah sebuah kesalahan.
Tadi pagi Dara menemukan ruang kerja Juna sangat berantakan dan laki-laki itu tidur di sana. Ia hanya ingin membantu, namun Juna tak menerima hal itu padahal Dara tak punya maksud lain.
Ia hanya bisa mengeratkan genggaman pada kaus yang ia pakai. Mendengar semua ucapan Juna dan caci makinya mentah-mentah tanpa berniat membalas.
Dara … sudah terbiasa.
“Sekali lagi aku peringati dirimu Dara! Ini yang terakhir kali, apa kau mengerti?“
“Iya, Mas,” ucap Dara lirih. Setelah itu Juna berjalan melewatinya dan menutup pintu dengan hentakan keras.
Ini hari minggu, seharusnya laki-laki itu libur. Tapi, tanpa bertanya Dara juga tahu ke mana Juna akan pergi. Pasti ke tempat Diandra, kekasih Juna.
Dari awal hubungan ini sudah berlangsung rumit. Ia dan Juna terlibat perjodohan. Laki-laki itu sama sekali tak mencintai Dara. Bahkan mengajukan kontrak pernikahan untuk mengakhirinya dalam dua tahun.
Pernikahan mereka sudah berlangsung selama satu tahun sebelas bulan tiga minggu. Hanya satu minggu lagi waktunya. Awalnya Dara berpikir ia bisa mengambil hati Juna, karena ia menyukai laki-laki itu. Sejak pertama kali bertemu. Tapi, tak semudah itu untuk menaklukan hati batu Juna yang sudah terpaut pada Diandra.
Kini, Dara pikir ia hanya bisa menyerah. Ia tak bisa lagi bertahan untuk cinta yang tak bersambut ini. Lagipula untuk apa? Dari awal ia juga sudah menduga ini akan terjadi.
Segala upaya ia lakukan untuk membuat Juna melihatnya sebagai istri hancur sudah. Juna sama sekali tak mau meliriknya. Bahkan hanya berdekatan dalam jarak satu meter, laki-laki itu langsung memasang wajah tak suka.
Selama dua tahun juga, keduanya tak pernah makan di meja yang sama, atau berada dalam ruangan yang sama dalam waktu yang lama kecuali acara keluarga yang mengharuskan keduanya datang bersamaan.
Salah Dara sedari awal, seharusnya ia tak menerima perjodohan ini.
Dara mengangkat kantung belanjaannya kembali dan berjalan menuju dapur sembari mendongak. Mengahalau air matanya agar tak menetes.
Ini sudah biasa, tak seharusnya ia sesensitif ini.
Dara sudah kehilangan selera untuk memasak. Padahal tadi ia berencana memasak sarapan untuk lelaki itu karena ini hari minggu. Biarlah Bi Dasim saja yang masak nanti. Wanita yang menjadi asisten rumah tangganya itu akan datang jam delapan.
Dara kembali menuju kamar. Duduk di ranjang seraya membuka laci nakas di samping ranjang. Masih tersimpan rapi surat perjanjian pernikahan yang dua tahun lalu ia tanda tangani dengan Juna.
Ada banyak syarat dan peraturan yang laki-laki itu berlakukan untuknya. Salah satunya adalah alasan kenapa Juna marah besar padanya tadi.
***
2 tahun lalu.
Kamar pengantin yang dihiasi banyak kelopak mawar merah itu membuat senyum Dara melebar saat memasukinya. Ia menyentuh ranjang yang terasa lembut di kulit lantas duduk di sana.
Ceklek.
Pintu kamar itu terbuka, Juna muncul dari sana dengan pakaian pengantin dengan warna sama seperti pakaian yang Dara pakai. Melihat Juna mendekat sontak membuat Dara menunduk malu. Ia merasakan ranjang sedikit berderit saat laki-laki itu duduk di sampingnya.
/0/7540/coverorgin.jpg?v=64ba578be9dfd13513fb31866dbcd0fd&imageMogr2/format/webp)