Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
Langkah kaki begitu berat, rasa takut nan gelisah, menyelimuti hati seorang gadis muda. Dibalut gaun putih bersih, sedikit sentuhan gliter di tiap-tiap ujung gaun. Tidak bisa menolak, maupun kabur. Setelah melangkah maju, dirinya sudah memulai kehidupan baru.
Sepantasnya bila wanita memakai baju pengantin, harus tersenyum gembira. Bahkan, tanpa disuruh--- bibir mengukir senyum seindah kepakan merak. Sungguh berbeda, dari apa yang dibayangkan. Harus menikah, demi membayar hutang sang ayah.
Melirik ke kanan, seorang pria memakai jas hitam legam. Diselipi kemeja putih yang dihiasi dasi hitam, serupa warna jas. Tataan rambut disisir ke belakang, mengkilap tanpa celah. Dada yang menggembung tidak mencolok, menambah kegagahanya. Namun, wajah tidak memunculkan ekspresi apapun. Di hari sakral ini, hati mana yang tidak kecewa? Mulut mana yang bisa tersenyum? Meski tidak mau, tapi tolong hargailah di hari sakral ini. Kedinginannya, sungguh menyesakkan hati Jing xi.
Gadis ini juga 'tak berharap lebih, tahu betul jika berharap lebih. Tidak akan terjadi hal yang diinginkan. Huh! Mengharapkan lelaki di sampingnya, penuh senyum hangat dan rasa saling menghormati. Langsung sirnah, dirinya benar-benar bodoh memikirkan itu! Jangankan mengharapkan dari mempelai pria, yang baru kenal hari ini--- dari kehidupan yang dijalani hampir 19 tahun. Malahan sang ayah sendiri, tidak ada di sisinya. Harapan apa yang berani dipikirkan oleh otak?
---
Saling menghadap, saling mendekat dan menyelesaikan rentetan upacara, dipimpin pembuka agama. Mereka bak robot, mengikuti perintah dari tuannya. Tidak ada seorangpun, selain dari pembuka agama berada di tempat ini, tamu satupun tidak ada.
Jing xi masih bisa tersenyum, setelah menyelesaikan upacara pernikahan. Guna, menghormati pemuka agama. Bibir merah delima, kembali menipis, mengikuti langkah seorang pria yang menjulang tinggi. Merasa, dia sebahu dengan pria ini. Oh tidak! Dia sekarang menjadi suaminya. "Bagaimana aku menjadi istrinya? Bahkan--- ciuman itu dilewatkan begitu saja. Heh! Itu tidak penting tapi … cincin yang dibawa, masih di dalam kotak merah marun!"
Zhang xi guan, selaku sang suami tidak bisa mendengar perkataannya. Karena Jing xi, hanya bisa bergumam dan menatap punggung lebar nan kokohnya. Menurut penglihatan mata hazel gadis ini, tidak menyentuh dia. Bisa merasakan hawa dingin, yang terpancar tidak bisa didekati. Seperti ada benteng penyekat, bagai air dan minyak. Sungguh punggungnya begitu lebar, memang dia memiliki proporsi badan yang bagus.
"Masih bisa bercanda?"
Kata yang dingin nan cepat serta mengejek, Jing xi sesegera mungkin menarik tangan. Tadi, seolah-olah mau menyentuh punggung Zhang xi guan. Mulut kecil mengerucutkan, sisi kekanakannya timbul. Tidak salah dia begitu, dengan usia muda yang harus menikah. Berbeda terhadap Zhang xi guan, memasang wajah papan. Datar dan kaku. Walau cuma beda 3 tahun dari istrinya.
Jing xi mengepal tangan dan memperhatikan Zhang xi guan. Mencoba perkataan manis, "Emmn tidak, aku tadi tidak menyentuhmu! Eee, apa kita mau pulang?"
Wajah polos memenuhi tangkapan mata Xi guan, mulut semakin merapat dan tidak menyahuti perkataan Jing xi. Sepatu kulit hitam, langsung menuju ke dalam mobil. Begitu enggan bertukar kata pada sang istri. Jing xi, hanya bisa membebek kepadanya.
Di dalam mobil cukup hening, tidak ada kata, lagu pun tidak diputar. Hingga, si supir juga membisu. Jing xi yang jiwa penasarannya terus menghantui dirinya. Manik terus-terusan menoleh ke arah Xi guan, mau bertanya, tapi takut. Lirikan itu dibalas dengan putaran mata cepat. Segera tersentak akan tatapan sekejap itu. 'Jika tidak mau melirik, jangan melirik!' batinnya berseru. Netra masih terfokus ke arah Xi guan.
Mengabaikan tatapan Jing xi, gadis muda ini tidak bisa menyembunyikan ketertarikannya. Kelekukan rahang yang sangat jelas tercetak meruncing. Diam-diam ,curi-curi pandang. Menempuh jarak 'tak terlalu jauh, mereka tiba di rumah pribadi Xi guan. Keluasan dan kemegahan bangunan ini, tidak bisa diragukan. Warna putih melapisi bagian dalam, di luarnya diberi nuansa gold. Balkon yang besar dan tinggi, pagar yang cantik di ukiri bunga. Pilar sebesar pohon kelapa menjulang tinggi. Berwarna putih, ada garis berwarna emas lurus ke atas. Bagian tengah, sentuhan ukiran yang rumit, tapi cantik. Sampai-sampai, Jing xi melongo melihat--- ini rumah atau istana?