Mantan Istriku yang Penurut Adalah Seorang Bos Rahasia?!
Cinta yang Tersulut Kembali
Kembalilah, Cintaku: Merayu Mantan Istriku yang Terabaikan
Permainan Cinta: Topeng-Topeng Kekasih
Sang Pemuas
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Gairah Membara: Cinta Tak Pernah Mati
Kembalinya Marsha yang Tercinta
Cinta, Pengkhianatan dan Dendam: Godaan Mantan Istri yang Tak Tertahankan
Cinta Setelah Perceraian: Mantan Suami Ingin Aku Kembali
Dirka Heka, dia adalah anak laki-laki satu-satunya dari pasangan Darwis Heka dan Marika Heka.
Heka adalah nama yang diwariskan dari nama keluarga ayahnya. Kalangan pengusaha dan pebisnis besar lebih mengenal mereka sebagai Heka Group.
Dirka pernah bertanya pada ayahnya. Apa sebenarnya arti dari nama Heka. Ayahnya hanya memberitahunya, bahwa nama Heka diambil bahasa yunani 'Hekate'.
Waktu itu ia masih kecil dan belum tahu apa-apa mengenai apa itu Yunani. Ayahnya juga memberi tahu apa maksud dan arti dari nama itu. Hekate adalah sebuah mitologi yang mengait dalam beberapa hal yang bisa disimpulkan sebagai awal dan pengetahuan. Dirka masih tidak paham dengan maksudnya, dan apa kaitannya dengan keluarganya.
Namun, Dirka yang masih anak-anak sama sekali tidak terlalu memperdulikannya, dan lebih tertarik dengan bermain.
Dirka bisa dibilang anak yang sangat dimanja oleh kedua orang tuanya. Tidak ada kata tidak saat dirinya meminta sesuatu, orang tuanya pasti menurutinya. Tapi, selama itu masih normal untuk anak seumurannya.
Dirka bisa dibilang anak yang sangat beruntung karena lahir di keluarga ini. Hidupnya sangatlah bahagia, tidak hanya sangat disayang dan dimanja, dia juga hidup dalam kemewahan yang tidak semua orang bisa seperti dirinya.
Tetapi kebahagiaan yang dirasakannya, sirna, saat kedua orang tuanya mengalami sebuah insiden yang mengakibatkan mereka meninggal dunia.
Waktu masih berumur sembilan tahun ini lah pertama kalinya dia mengalami kesedihan dan merasakan kehilangan.
Tidak ada yang bisa diperbuat. Dia hanya bisa menangis, berteriak-teriak memanggil-manggil kedua orang tuanya di depan makam mereka.
Sejak saat itu, Dirka mulai diasuh oleh kakek dan neneknya. Saat tinggal bersama mereka, Dirka selalu diajari bagaimana menjalankan sebuah bisnis sejak kecil, dia juga diajarkan beladiri dan bagaimana menggunakan senjata.
Dirka tidak tahu mengapa dia harus mempelajari semua itu.
Dirka juga diperkenalkan mengenai semua aset-aset peninggalan kedua orang tuanya. Dirka selalu berusaha keras untuk belajar. Itu dilakukannya demi menjaga apa yang diwariskan kedua orang tuanya.
Walaupun dia mendapatkan pendidikan yang bisa dibilang jauh lebih banyak untuk anak seusianya. Dia juga masih merasa bahagia, karena kakek dan neneknya selalu memberinya kasih sayang dan perhatian padanya.
Tetapi, beberapa tahun berlalu. Dan hal itu tidak pernah terjadi lagi. Kakek dan Neneknya meninggal akibat sebuah kecelakaan. Itu terjadi 10 tahun setelah kedua orang tuanya meninggal. Dirka merasa waktu 10 tahun yang dia lalui bersama kakek dan neneknya hanya terasa sangat sebentar baginya.
Sekali lagi … dia harus merasakan kehilangan untuk kedua kalinya, karena ditinggalkan oleh kakek dan neneknya.
Dirka tidak memiliki siapapun lagi yang bisa disebutnya keluarga. Dirka sekarang hidup tanpa keluarga kandung, atau kerabat satupun.
Dia sangat depresi, sejak saat itu.
"Haaaa!" Dirka berteriak merusak semua benda-benda yang ada di hadapannya.
Dirka merasa semua kemilau dunia yang dimilikinya ini hanya ilusi untuknya. Keterpurukan karena tidak memiliki siapapun lagi, membuatnya sadar. Dia tidak perlu semua harta ini.
Harta yang bahkan tidak bisa digunakan untuk menghidupkan kembali keluarganya.
Dirka yang sangat depresi saat itu, merasa hidupnya sangatlah kosong dan tidak berpihak padanya. Di dalam tekanan itu ia berpikir untuk mengambil jalan pintas. Dirka mencoba untuk mengakhiri hidupnya, dengan menyuntikkan bisa beracun langsung ke tubuhnya.
Beruntung ada dua pelayan yang menyadari hal itu, dan nyawanya pun berhasil terselamatkan.
★★★
3 tahun berlalu sejak kejadian itu.
Di sebuah lapangan yang menyerupai lapangan baseball terlihat Dirka dan pria paruh baya, berdiri menghadap ke arah yang sama.
Dirka sekarang terlihat sedang memegang pistol sambil memfokuskan pandangannya pada piring besi berjajar rapi jauh di depan yang menjadi incarannya.
Tidak seperti pada umumnya, Dirka sama sekali tidak menyelaraskan antara titik timbul yang ada di moncong dan di pangkal senjata dengan target. Dia harus bisa mengenai target walau tanpa harus melakukan itu. Ini adalah latihan untuk mempertajam instingnya.
Selama tiga tahun Dirka sudah banyak berubah. Tidak hanya sifat, tapi juga penampilannya. Tingginya sekarang 175 cm, dengan rambut hitam panjangnya tampak dikuncir ke belakang.
Pria paruh baya di sebelahnya bernama Deni, yang dari tadi terus mengawasi Dirka, dengan wajah serius.
'Melihat tuan muda sekarang, seperti melihat orang yang memiliki karakter dingin dan angkuh,' batin Deni.
Dengan tatapan tajam, seolah mengunci melalui matanya. Tanpa ragu, Dirka menekan pelatuk pistolnya.
Terdengar, gema tembakan pistol diikuti suara peluru mengenai piring besi yang menjadi sasarannya.
Melihat itu, Deni tersenyum puas sambil bertepuk tangan. "Bagus … sangat bagus, tuan. Ini jelas kemajuan yang sangat baik," Deni memuji Dirka dengan jujur.
"Terima Kasih," balas Dirka sembari tersenyum canggung. "Tapi aku merasa ini belum seberapa dibandingkan Pak Deni, yang mampu mengenai lebih dari sepuluh target dalam waktu singkat," ungkapnya.
Dirka menyampaikan apa yang sebenarnya. Jika dibandingkan dengan Deni dia jelas tidak ada apa-apanya.
"Hahaha," Deni tertawa saat mendengar dirinya dibandingkan dengan tuannya. "Tolong jangan bandingkan denganku yang sudah lebih dari dua puluh tahun bertugas sebagai tentara. Tuan muda yang hanya dalam sebulan sudah bisa mengenai semua target yang berjarak dua puluh meter. Jelas kemajuan yang luar biasa," jelasnya.
Deni menambahkan, "Belajar menembak bukanlah belajar mengendarai kendaraan. Dibutuhkan konsentrasi yang dan ketenangan dalam melakukannya. Melihat tuan muda mampu mengenai target dengan sempurna, ini jelas kemajuan yang sangat baik."
Deni yang sudah menginjak 55 tahun, ditambah pengalamannya sebagai tentara pasukan khusus, membuatnya paham betul apa itu senjata.
"Tapi tetap saja, aku,-"
"Tuan, janganlah terlalu sering merendah. Kamu harus bisa mengakui dirimu sendiri. Tapi juga jangan sampai terbuai dengan pencapaian itu," Deni menegur dan menasehati tuannya. Selayaknya orang tua, mendidik anaknya sendiri.
"Ya, Itu benar … juga, terima kasih," balas Dirka. Dia senang mendapatkan teguran itu dari Deni. Baginya, ini adalah bentuk kepedulian Deni padanya.
Dirka tidak pernah menganggap siapapun yang bekerja di rumah ini sebagai pelayannya. Sejak dia sudah tidak memiliki keluarga kandung. Para pelayan lah yang selalu menemani dan merawatnya. Itulah yang membuat Dirka selalu menganggap mereka semua sama seperti keluarganya sendiri.
"Pak Deni, apa kamu sudah sarapan? Kalau belum, mau sarapan bersamaku?" ajak Dirka. Mengingat ini masih pagi, ia berinisiatif mengajak mentor menembaknya ini untuk sarapan.
"Tuan Muda, aku senang kamu menawariku. Tapi … bagaimana aku mengatakannya—," kata Deni, dengan wajah tampak bermasalah.
"Ayolah pak, sesekali temani aku sarapan," Dirka sedikit memaksa.
"Tapi tuan, aku cuma pelayan di rumah ini. Jika pelayan lain melihatnya, aku takut jika muncul opini-opini yang tidak mengenakkan," balas Deni dengan senyum kecut di wajahnya.
"Aku heran, sama semua orang di rumah ini … setiap kali aku ajak makan bersama. Selalu saja mereka menjawab sama jawaban yang sama seperti ini," keluh Dirka dengan wajah kecewa.
Deni yang melibat wajah kecewa tuannya, sebenarnya merasa tidak enak hati karena sudah menolaknya.
Tapi mau bagaimana lagi. Deni tidak mungkin menerima tawaran Dirka. Deni yang tahu seperti apa dan siapa semua karyawan yang bekerja di rumah ini, membuatnya harus menolak tawaran ajakan dari tuannya.
Semua karyawan yang bekerja di rumah ini, bukanlah orang sembarangan. Mulai dari pelayan biasa hingga sekretaris. Bahkan Deni yang adalah seorang tukang kebun di rumah ini, sebenarnya adalah mantan anggota pasukan elit angkatan darat. Dan semua karyawan yang bekerja di rumah ini, mereka adalah para ahli bertarung dan bahkan ahli senjata.
Jika dia terlihat sarapan dengan Dirka, itu pasti akan memicu kecurigaan pelayan lain kepadanya. Orang-orang seperti mereka, tidak bisa disamakan dengan rasa curiga orang biasa.
Karena ada saat di mana rasa curiga mereka yang seharusnya disampaikan menggunakan lisan, berubah menjadi pedang atau bahkan pistol. Itu sama sekali tidak lucu, memikirkannya saja sudah membuat Deni sakit kepala.
Melihat ekspresi rumit Deni, Dirka hanya bisa mendesah lelah. 'Sebenarnya apa masalahnya sarapan dengan ku?' pikir Dirka dengan wajah kecut.
"Ya sudah, kalau Pak Deni nggak mau gak papa … Tapi pak, sekali lagi terima kasih bimbingannya hari ini," ucap Dirka.
"Sama-sama Tuan muda, senang rasanya jika memang ilmu saya bisa berguna," balas Deni.
"Ya sudah kalau begitu. Pak Deni, aku kembali dulu," ucap Dirka.
"Ya tuan, silahkan," sahut Deni sambil menunduk.
Dirka pun berbalik dan berjalan menuju kediamannya. Terlihat Deni yang melihatnya sedikit membungkuk hormat.
★★★
Di ruangan yang luasnya sama seperti dua kali luas lapangan badminton. Di tengah-tengahnya itu terdapat meja makan berbentuk oval, yang bahannya berasal dari kayu fosil dengan panjang dan lebarnya adalah sepuluh kali tiga meter.
Dirka berjalan memasukinya.
"Selamat pagi, tuan," sambutan beberapa pelayan wanita dan laki-laki yang yang berbaris rapi di pinggir ruangan.
"Pagi," balas Dirka singkat.
Semua pelayan itu terlihat mengenakan setelan jas dengan celana panjang berwarna hitam. Walaupun mereka semua pelayan, tapi tidak sedikitpun dari mereka yang tampak seperti pelayan. Penampilan mereka semua lebih seperti pegawai kantoran, yang mengenakan setelan jas seragam.
Di balik jas yang mereka semua kenakan, terdapat sebuah pistol khusus yang di gagangnya terdapat lambang huruf 'H', yang merupakan lambang keluarga Heka.