Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Rahasia Istri yang Terlantar
Gairah Liar Pembantu Lugu
Istri Sang CEO yang Melarikan Diri
Kembalinya Mantan Istriku yang Luar Biasa
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Kecemerlangan Tak Terbelenggu: Menangkap Mata Sang CEO
Sang Pemuas
Aku berjalan cepat menyusuri jalanan pasar yang sepi pengunjung pada hari itu. Kedua tanganku sibuk karena mencengkeram dua kantong besar berwarna putih dengan bintik hitam yang kurasa akibat lumpur yang kulewati.
Cuaca begitu terik. Mentari menunjukkan dirinya secara terang-terangan dan seakan menantang seisi dunia kalau ada yang berani padanya. Aku terus saja berjalan cepat seraya memicingkan mata agar tidak terkena dampak percaya diri sang mentari saat ini.
“Mama.” Tangis seorang gadis kecil.
Gadis itu berdiri tepat di depanku. Ia menengadah. Menunjukkan wajahnya yang basah karena air mata. Rambutnya sedikit berantakan dengan mata memerah karena menangis. Kedua tangannya tidak berhenti untuk mengucek kedua bola mata tersebut.
Aku menurunkan kantong belanjaanku. Kemudian berjongkok untuk menyamai tinggiku dengan gadis kecil itu. Dia memiliki mata cokelat yang indah dengan alis berwarna hitam gelap yang tebal. Aku menyentuh pipinya. “Ada apa, dek?”
Ia terisak. “Mama,” ujarnya. “Aku kehilangan mamaku, kami terpisah.” Ia kembali terisak. Ia mengelap ingusnya dengan kasar, dan kembali menatapku.
Aku menelan ludahku. Ada begitu banyak bentuk kejahatan akhir-akhir ini. Mungkin ini salah satunya, tapi kurasa aku tidak cukup pandai untuk menghindari ini mengingat diriku selalu terlibat dalam masalah dan terlebih lagi ini menyangkut anak kecil. Kurasa aku akan menolong gadis ini, lagi pula di sini ada cukup banyak orang yang menyaksikan kalau ada yang ingin berbuat jahat padaku.
“Terpisahnya di mana? Di dalam?”
Gadis itu mengangguk.
“Oke, kita cari ya. Tapi kakak mau ngembaliin belanjaan ini dulu ke sana.” Aku mengarahkan pandangan ke mobil jazz berwarna putih.
Gadis itu mengikutiku dari belakang. Ia masih terisak dan sesekali terdengar ia menyedot ingusnya sembari berucap pelan. “Mama.”
Setelah itu aku menyusuri pasar sekali lagi dengan memegang tangan Shilla—gadis kecil tadi. Kami melangkah bersama-sama berusaha untuk mencari mamanya, namun tetap tidak menemukannya selama sepuluh menit yang telah kami lewati. Kemudian terdengar suara perempuan memekik.
“Shilla.”
Sontak aku dan gadis itu menoleh. Shilla segera berlari ke arah mamanya dan memeluknya dengan erat. Cukup untuk kalian ketahui, mereka melakukan adegan yang sangat mengharukan.
Aku menghampiri kedua orang tersebut yang masih menangis bahagia. “Kalau begitu, kakak pamit dulu ya dek.” Aku mengelus kepala Shilla dengan pelan.
Mamanya memberiku ucapan terima kasih yang tak terhitung banyaknya. Ia meraih tanganku dan hampir menyentuhkannya ke keningnya sampai aku menarik tanganku dengan cepat. “Tidak perlu, Bu,” balasku seraya tersenyum. Berusaha menghilangkan rasa tidak enak yang bersarang.
“Saya pamit dulu, ya Bu,” ujarku seraya menundukkan kepalaku sedikit. Kemudian melangkah pergi dari kerumunan orang dan menghampiri mobilku tersayang. Aku sudah lama berada di pasar ini.
“Tunggu,” teriak seseorang.
Aku menoleh. Kulihat seorang gadis berlari ke arahku. Sepertinya ia seusiaku atau mungkin lebih muda dariku.
“Ini.” Ia memberikan bungkusan padaku.
“Ah?”
“Aku kakak dari anak kecil yang kamu tolong tadi.” Ia tersenyum. “Ini rasa terima kasihku, terimalah. Kumohon.” Ia tersenyum sekali lagi.
Aku mengangguk dan meraih bungkusan tersebut. Sepertinya ini berisi buah, pikirku. “Oke, terima kasih kembali.”
“Siapa namamu? Sepertinya kita seumuran.”
“Aura Latisha, kamu bisa panggil aku Rara. Ya, sepertinya kita seumuran, aku baru masuk semester empat,” balasku.
“Aku Hania Putri, bisa dipanggil Hani. Wah, beneran kita seumuran nih. Kuliah di mana?”
Setelah itu kami mengobrol untuk beberapa saat. Ternyata kami satu kampus dan juga satu fakultas, tapi tidak pernah melihat satu sama lain. Aku tidak begitu heran, karena aku jarang berlama-lama di fakultas kami. Aku disibukkan dengan kegiatan organisasi umum di universitas.
Kami bertukar ID line. Dan janjian ketemu besok. Dia juga memberitahuku bahwa besok akan ada temannya dari luar kota yang pindah kampus ke kampus kami, dan dia satu jurusan denganku, Manajemen.
---
Ini hari pertamaku masuk kuliah. Rasanya benar-benar berat meninggalkan liburan. Meninggalkan kasurku di musim hujan seperti ini. Rasanya terlalu berbahaya keluar dari selimut, banyak hal yang menanti di luar sana.