/0/24879/coverorgin.jpg?v=0d67d7338b7cc49c969c5ad1a9444060&imageMogr2/format/webp)
Asha, Kael, dan Lirien muncul dari kabut seperti bayangan yang lahir dari akhir dunia. Pendakian ke Broken Mountains memakan waktu tiga hari, melintasi jalan setapak yang terlupakan dan tebing yang ditandai dengan simbol-simbol yang hancur saat disentuh. Udara di sini lebih tipis, beraroma damar dan besi, dan dipenuhi dengan ketegangan mineral yang mengingatkan Asha pada saat-saat sebelum wahyu di dalam abu. Setiap langkah, setiap tarikan napas, terasa seperti doa yang tak terucapkan.
Langit adalah mangkuk buram, tanpa bintang. Dunia terasa menggantung, terkurung. Pegunungan bukanlah dataran tinggi yang sederhana: mereka adalah sisa-sisa tubuh yang lebih tua dari waktu. Asha merasakannya di tulang-tulangnya. Seolah-olah Aeolina membawanya ke sini bukan hanya untuk menyembunyikannya, tetapi untuk menunjukkan sesuatu padanya. Atau seseorang. Jaring api yang dia rasakan di bawah kulitnya, sejak pecahan Jantung Kuil berdenyut di dadanya, berdenyut lebih kuat sekarang. Seolah-olah pegunungan ini juga merupakan simpul. Detak jantung jaring yang tertidur.
Kael nyaris tidak berbicara selama perjalanan. Lengan kanannya, yang membeku hingga ke bahu, mulai kehilangan suhu. Asha mengamatinya dari sudut matanya, seolah-olah kulitnya akan retak jika menatap terlalu langsung. Setiap langkah tampaknya membuatnya semakin menderita, tetapi dia tidak mengeluh. Dia tidak pernah mengeluh. Namun, gemetar di tangan kirinya, dan napasnya yang lebih berat daripada yang lain, menunjukkan kemajuan batu itu. Kadang-kadang, ketika dia mengira Asha tidak melihat, dia menempelkan jari-jarinya ke jantungnya, seolah-olah mencoba merasakan apakah dia masih manusia.
Lirien memimpin jalan, membimbing mereka dengan keyakinan seseorang yang telah membaca jalan ini bukan di peta, tetapi dalam mimpi. Dia mengenakan tunik lusuh, tanpa lencana. Dia telah berubah sejak jatuhnya kuil. Lebih keras, lebih pendiam. Tetapi juga lebih berbahaya. Seperti obor yang tahu kapan tidak boleh menyala. Dia telah mengangkat pemberontakan dengan intensitas yang tidak menyisakan ruang untuk keraguan atau duka. Setiap malam, dia mempelajari gulungan-gulungan dengan keganasan yang sama seperti orang lain mengasah pedang. Mereka mencapai tepian langkan yang ditutupi lumut merah. Di seberangnya, sebuah lembah menganga di antara formasi bengkok yang tampak seperti gigi batu. Di tengahnya, di tengah gumpalan asap tipis, menjulang reruntuhan benteng yang terkubur di batu. Itu bukan tempat berlindung. Itu adalah saksi. Angin membawa gumaman aneh, seolah-olah batu-batu itu ingat pernah menjadi sesuatu yang lain: tiang-tiang kuil yang terlupakan, atau tulang-tulang makhluk yang punah. Sosok berkerudung menunggu mereka di antara pilar-pilar yang patah. Tinggi, tegak, seolah-olah waktu berutang rasa hormat padanya. Asha memperhatikan simbol pada tongkatnya: spiral patah yang dikelilingi oleh api. Dia mengenali tanda itu. Itu dari para Penjaga... tetapi terbalik. Tongkat itu juga memiliki retakan gelap, seolah-olah energi tak terlihat telah membelahnya dari dalam. "Selamat datang, api yang mengingat," kata sosok itu, suaranya seperti guntur yang teredam. "Kami menunggumu." Asha melangkah maju. Dia merasakan pecahan Jantung Kuil berdenyut di balik pakaiannya, di kulitnya. Jantungnya berdenyut dengan kata-kata itu, seolah merespons. Panas adalah bahasa. Dan itu berbicara tentang pengenalan.
"Siapa mereka?" tanya Kael, suaranya serak.
"Anak-anak Api yang Patah," jawab Lirien, tanpa menoleh ke belakang. "Mereka yang selamat dari pengkhianatan terhadap jenis mereka sendiri."
Sosok itu mengangguk. Dia menurunkan tudungnya. Dia adalah seorang wanita dengan rambut seputih abu, kulit gelap yang ditandai dengan garis-garis berapi yang bukan tato, tetapi bekas luka mentah. Atau luka bakar yang tidak sakit. Matanya berwarna kuning tua, hampir padat. Dia tidak berkedip. Dia tampak seolah-olah melihat kata-kata di dalamnya.
"Kau telah membawa pecahan pertama," katanya. "Kalau begitu masih ada harapan."
Asha mengencangkan jari-jarinya di sekitar pecahan yang tersembunyi itu. Dia merasakan semua yang ada di dalam dirinya terbakar sedikit demi sedikit setiap hari, dan pada saat yang sama, ada sesuatu yang hancur berantakan. Bukan di tubuhnya, tetapi di ingatannya. Ada saat-saat ketika dia mengacaukan ingatan orang lain dengan ingatannya sendiri. Suara-suara wanita yang sudah meninggal berbicara melalui mulutnya dalam mimpinya. "Kekaisaran telah mulai memburu simpul-simpul," kata Lirien. "Mereka tahu ada lebih banyak hati. Lebih banyak kenangan."
"Dan kaulah satu-satunya yang dapat menyimpannya," wanita itu menambahkan. "Jika abunya dipercayakan kepada mereka yang tidak ingat... mereka akan menjadi reruntuhan."
Kael bersandar pada sebuah batu. Ia tidak berkata apa-apa. Napasnya lambat. Pembuluh darah di dekat bahunya yang membatu membengkak. Asha tidak dapat berhenti menatap lehernya, seolah-olah batu itu bisa merayap keluar kapan saja. Jantung obsidian, tak terlihat di bawah kulitnya, berdetak dengan frekuensi asing. Tidak seperti otot. Seperti sebuah peringatan.
/0/25388/coverorgin.jpg?v=45cae39ad8118b1a92a87ebff44127bf&imageMogr2/format/webp)
/0/14553/coverorgin.jpg?v=70c0a6def8075f778c511b668778bee4&imageMogr2/format/webp)
/0/18188/coverorgin.jpg?v=d35d0224833f1b63c10830938f74f92d&imageMogr2/format/webp)
/0/27430/coverorgin.jpg?v=3860a8d27d361bdcbc04f106f9c7e578&imageMogr2/format/webp)
/0/2039/coverorgin.jpg?v=3d8cd84ad4908aa3769b5756d0bf67a8&imageMogr2/format/webp)