Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Gairah Liar Pembantu Lugu
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Istri Sang CEO yang Melarikan Diri
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Sang Pemuas
Malam itu, angin berhembus lembut menerpa tirai jendela yang sedikit terbuka. Di ruang tamu rumah yang biasanya penuh kehangatan, Clara duduk sendirian di sofa, memandangi jam dinding yang berdetak dengan lambat. Pukul sebelas malam, dan Adrian, suaminya, belum juga pulang. Untuk yang kesekian kalinya dalam sebulan terakhir, Clara harus menunggu kepulangannya hingga larut malam.
"Meeting lagi," begitu selalu alasannya. Setiap kali Adrian menyebutkan hal itu, Clara mencoba memahami. Ia tahu pekerjaan Adrian sebagai manajer di perusahaan besar memang menyita waktu dan tenaga. Tapi semakin hari, semakin ada yang tidak beres. Sejak kapan meeting diadakan hampir setiap malam? Sejak kapan Adrian menjadi begitu tertutup, sering kali hanya menjawab pendek saat ditanya?
Pikirannya terpecah saat suara pintu depan berderit pelan. Adrian masuk, masih mengenakan setelan jas rapi, namun dengan wajah lelah yang tampak dipaksakan. Senyum tipis terulas di bibirnya ketika menyadari Clara masih terjaga.
"Kenapa belum tidur?" tanyanya sambil membuka dasi.
"Menunggu kamu pulang," jawab Clara datar, berusaha menahan rasa gelisah yang mulai merayap di dadanya.
Adrian hanya mengangguk dan berjalan menuju dapur, mengabaikan pertanyaan tersirat di mata istrinya. Clara mengikuti langkahnya dengan tatapan kosong, menyadari betapa jauhnya mereka sekarang. Dulu, Adrian selalu pulang dengan cerita panjang tentang hari-harinya, namun belakangan, ia lebih sering membisu atau hanya memberikan alasan singkat.
Setelah beberapa menit berlalu dalam keheningan, Adrian berjalan menuju kamar tidur. Sementara itu, Clara tetap duduk di ruang tamu, merasakan kekosongan yang semakin besar di antara mereka. Pikirannya mulai dipenuhi bayangan-bayangan buruk yang sulit diusir.
Saat itulah ponsel Adrian, yang tertinggal di meja ruang tamu, bergetar. Clara menoleh, melihat layar ponsel menyala dengan pesan yang masuk. Sebuah nama muncul "Maya".
Clara menelan ludah, tubuhnya tiba-tiba kaku. Jantungnya berdebar kencang saat ia mengambil ponsel Adrian, tangannya sedikit gemetar. Ia membuka pesan itu, dan di sana tertulis satu kalimat yang langsung membuat darahnya berdesir.
"Terima kasih untuk malam ini. Sampai ketemu lagi besok, ya. Jangan lupa, rahasia kita aman."
Clara menatap layar ponsel itu tanpa berkedip. Rahasia? Malam ini? Pesan itu singkat, tapi mengandung banyak hal yang tak pernah ia bayangkan akan datang dari suaminya. Siapa Maya? Apa yang mereka rahasiakan?
Ia mengembalikan ponsel itu ke meja dengan tangan gemetar, berusaha menenangkan pikirannya. Mungkin ini hanya salah paham, mungkin Adrian bisa menjelaskan. Tapi entah kenapa, hatinya tahu, ada sesuatu yang lebih besar yang disembunyikan di balik senyuman Adrian yang selama ini selalu ia percayai.
Malam itu, Clara mencoba tidur di samping suaminya, tetapi matanya tak pernah tertutup. Kecurigaan itu kini tumbuh, berkembang di dalam pikirannya, seperti bayangan yang semakin besar setiap kali ia memikirkan pesan itu.
Clara memutar tubuhnya di ranjang, berusaha mencari posisi nyaman, tapi pikiran tentang pesan itu terus menghantui. Di sampingnya, Adrian tampak lelap dalam tidurnya, seolah tidak ada yang perlu dirisaukan. Napasnya teratur, wajahnya tenang. Namun, ketenangan itu justru semakin membuat Clara resah. Bagaimana mungkin ia bisa tidur dengan mudah setelah malam yang panjang ini? Atau... apakah ada hal lain yang membuatnya begitu kelelahan?
Clara menarik napas dalam-dalam, matanya tertuju pada langit-langit kamar yang gelap. Pikirannya berputar-putar mencari alasan logis untuk pesan itu. Mungkin saja *Maya* hanya rekan kerja biasa. Mungkin mereka memang harus bekerja lembur untuk proyek penting. Tapi mengapa ada kata *rahasia* di dalam pesan itu? Apakah Adrian terlibat dalam sesuatu yang tidak pantas?
"Adrian...," bisiknya lirih, meskipun ia tahu suaminya tidak akan menjawab.
Esok harinya, Clara terbangun lebih awal. Sinar matahari baru saja menerobos masuk melalui celah tirai, menyinari ruangan dengan lembut. Adrian sudah bangun dan tidak ada di tempat tidur. Sejenak, Clara mengira mungkin ini kesempatan baginya untuk berbicara jujur dengan Adrian, namun keraguan segera menghampiri. Apa yang harus ia tanyakan? Apakah ia harus langsung konfrontasi, atau menunggu sampai ada bukti lebih jelas?