Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
Part 1
Merindu sekilas bayang semu
Kadang aku rindu kembali ke masa lalu. Rindu meneguk secawan harap meski tak jua menghirap. Tentang sebuah hati yang tulus mencintai, tetapi hanya luka justru membersamai. Hingga harus kubeli duka yang kau pajang di laman hatimu. Kuat dan tak mengenal rapuh. Meski berjuta rasa kian melepuh, untuk memperpendek jarak agar tak menjauh. Akankah ada kata 'kita' atau itu hanya fatamorgana? Besar inginku untuk menggapainya, sungguh.
Sekarang, tinggal aku yang harus menghabiskannya sendiri. Dalam perjamuanku bersama sunyi. Kini, senja tak lagi sama. Sebab hidup seolah tiada lagi bermakna dan aku hanya bisa memasrahkan bukan memaksakan. Segenap rasa cinta yang telah usai. Mungkin dalam hati, tetapi tidak dalam laci memori.
'Seandainya saja aku bisa menghentikan langkah waktu, maka akan kuhentikan detik ini juga dan akan kuputar kembali ke masa lalu yang penuh dengan kebahagiaan bersama Rizwan,' begitulah kiranya kata hati Maya yang saat itu sedang risau menantikan bergulirnya waktu.
Perasaan dan hatinya diliputi kegundahan bagai disayat sembilu. Wajah cantik dan cerianya telah berubah muram, karena sejuta rasa kecewa tengah membelenggu akibat dari sebuah ketidakberdayaan dan membuatnya harus berpasrah pada keputusan tangan takdir.
Setiap bahtera pasti akan menemukan dermaganya. Laut tak mungkin terpisah dari pantainya dan sepanjang apa pun aliran sungai pasti akan menuju muara. Meski ia telah menyerahkan hati pada seorang lelaki yang tak jarang membuatnya menangis di pelukan malam, tetapi rasa cintanya tak pernah pudar seperti rembulan yang enggan meninggalkan nabastala kala fajar perlahan menyingsing di ufuk timur.
Malam merangkak menuju pada kepekatan. Diikuti bunyi dersik yang mengalun sendu, membuat hawa dingin kian terasa pilu, karena besok pagi ia harus menikah dengan lelaki pilihan keluarga.
Reza.
Lelaki berwajah tampan dan penuh perhatian itu sangat mencintainya. Hingga menyerahkan segenap hati dan jiwa hanya padanya. Menaruh harapan besar agar ia bisa mewujudkan mimpi dalam kenyataan dengan menjalani biduk rumah tangga bersama sang gadis pujaan penuh dengan limpahan cinta dan kasih sayang. Sedikitpun ia tidak menyadari, bahwa sebuah badai telah siap meluluh-lantakkan hingga membuatnya hancur berkeping-keping pada bahtera yang akan dikemudikannya nanti.
Satu-satunya perasaan yang dimilki gadis itu untuknya hanya sebatas sebagai teman. Tidak lebih.
Cinta sucinya telah diserahkan pada Rizwan. Lelaki yang sanggup menenggelamkan Maya pada kedalaman samudra cintanya. Namun, saat ini sepertinya garis nasib lebih berpihak pada Reza, sebab bahwa ia harus mengarungi bahtera kehidupan ini dengan lelaki kharismatik itu dengan rela ataupun terpaksa. Gadis berhidung mancung itu harus menerimanya sebagai seorang suami.
Maya.
Gadis cantik berpenampilan sederhana tetapi tetap anggun menawan seperti bunga daisy itu harus menerima nasib yang telah ditentukan sebab perjodohan. Semua karena janji yang telah disepakati oleh dua orang sahabat sejak duduk di bangku SMA. Baskoro--ayah Maya telah berhutang budi pada Syarif--almarhum ayah Reza yang telah memberikan bantuan uang untuk membayar biaya persalinan istrinya. Saat itu kondisi ekonomi Baskoro tengah terpuruk. Lalu, mereka bersepakat untuk menjodohkan anak-anaknya, jika keduanya mempunyai buah hati yang berbeda jenis kelamin.
Rupanya Allah Swt mengijabah keinginan dua sahabat itu. Lahirlah Reza dan Maya. Mereka pun tumbuh dan berkembang secara bersama. Keakraban dua keluarga itu terjalin begitu mesra. Bahkan, lebih pantas disebut seperti saudara.
Maya masih berdiri di samping jendela kamar dan sengaja membiarkan sepasang bulir bening dari kolam netranya deras mengalir, sederas langit menumpahkan air matanya ke bumi malam itu.
Gadis berparas ayu itu bangkit dan melangkahkan kaki menuju jendela kamar yang tertutup rapat. Ia berdiri di samping jendela itu, lalu dengan perlahan dibuka dan disibakkan tirai yang menutupi. Sesaat kemudian ditengadahkan wajahnya ke atas, mata indah dengan bulu mata lentik itu menatap langit. Meski rinai menghalangi pandangan, tetapi ia masih dapat melihat dengan jelas wajah cantik sang rembulan dengan purnama sempurna.
Tiba-tiba ia teringat, bahwa ini purnama ke tujuh saat seharusnya Rizwan datang menepati janji untuk menikahinya. Namun, sampai detik ini lelaki itu tak terdengar kabar beritanya. Ia bagai lenyap ditelan bumi.
🍃🍃🍃
Jam dinding yang sedang berdentang dua belas kali mengagetkan hati Maya. Setiap bunyi dentangannya seperti sebilah belati yang seakan mengiris-iris hati dan mengoyak pikiran gadis berparas lembut itu.
Maya tertunduk lesu mengingat janji itu. Ia berjalan ke tempat tidur dan merebahkan tubuhnya di sana. Menelungkupkan wajah ke dalam tumpukan bantal. Sedetik kemudian tampak merembas basah. Lelehan bulir hangat telah menyebar memenuhi permukaan bantal bersama suara isakan yang terdengar berat. Sebuah batu besar seolah sengaja dihimpitkan ke dada, hingga membuat jalan napasnya terasa sesak. Bahkan, malam ini telah memaksa netranya untuk tak sedetikpun dapat terpejam meski hanya sekejap.
Berulang kali gadis berparas ayu itu bertanya dalam hati, 'Dimanakah Rizwan, bagaimana kedaan lelaki berwajah manis itu dan mungkinkah ia akan datang untuk memenuhi janji? Sebab tujuh purnama telah terlewati dengan perasaan nyeri di dada sebelah kiri. Masih mungkinkah harapannya itu akan terpenuhi? Entahlah ... ia benar-benar tak mampu berpikir lagi.'
Perlahan ia bangun dari pembaringan dan hendak menyeka sisa airmata yang masih saja menggenangi pipi dengan membasuh air dari wastafel yang berada di ruang sebelah kamar mandi. Setelah selesai gadis itu memandang wajahnya yang kian menirus di pantulan cermin. Pandangannya mengarah ke lemari buku yang berada di sudut kamar. Seketika ia teringat dengan buku diary berwarna pink--hadiah dari Rizwan saat ulang tahunnya yang ke dua puluh tiga tersimpan di salah satu laci lemari buku itu. Segera ia mengayunkan langkah masuk kembali ke kamar dan mengambilnya.
Maya membuka diary itu dengan hati berdebar. Lembar demi lembar untaian kata yang terangkai dan tersusun indah menjadi kalimat seakan sanggup membuat kembali jiwanya menggelepar, karena benih cinta tumbuh begitu kuat mengakar. Di buku catatan harian itu tertulis semua kenangan indah, saat merajut hari-hari bersama Rizwan.
Mereka bilang Carbonado adalah berlian hitam alami dari Brazil, dan itu berlian terbaik yang mereka punyai untuk saat ini. Rizwan menghabiskan hampir semua uang tabungannya selama ia bekerja untuk membelikan Maya cincin emas murni bertahtakan berlian itu.
Di saat mereka menikmati kemewahan senja yang menawan dengan rona warna emasnya, diiringi debur ombak yang bergulung dan berkejaran di pinggir pantai, Rizwan memberikan sekotak beludru berwarna merah hati pada Maya. Lalu, gadis berkulit putih itu perlahan membukanya dan menemukan sebentuk cincin emas murni bertahtakan berlian hitam, modelnya sederhana dan elegan. Meski Maya tidak pernah tertarik pada perhiasan, karena hampir tidak pernah memakainya, tetapi Rizwan seringkali memberi Maya kejutan, membuatkan perhiasan dari bunga daisy yang dirangkai menjadi cincin, gelang, atau bahkan dijalin sedemikian rupa membentuk tiara.
"Bunga daisy ini mirip sepertimu, Maya, sederhana dan menawan." Lelaki berwajah manis itu menyelipkan bunga daisy ke telinga Maya, lalu tersenyum. Seperti ensiklopedia berjalan, Rizwan akan menjelaskan panjang lebar pada Maya.
"Kau lihat kelopaknya yang berwarna putih? Dan yang di tengah itu berwarna kuning berbentuk seperti mata? Sebenarnya daisy adalah dua bunga yang tumbuh menjadi satu. Seperti kau dan aku, indah, ya?"
Rizwan selalu pandai membuat gadis itu tersipu.
"Kau tahu, nama daisy berasal dari Bahasa Inggris kuno Daes Eag yang artinya mata sebuah hari, karena bunga ini mekar saat siang dan kembali kuncup di malam hari." Rizwan kembali menatap Maya sambil tersenyum-senyum, "Sepertimu yang membuatku bersemangat melewati siang dan menenangkan saat diingat ketika malam menjelang."