Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Gairah Liar Pembantu Lugu
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Sang Pemuas
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
"Mas nanti jam berapa pulang reuninya?" Jihan meraih sepatu pantofel dari rak, dan memberikannya pada Tommy. Saat membungkuk di depan rak sepatu, Jihan meringis. Kandungannya telah memasuki bulan ke delapan. Sekarang gerakannya semakin melamban. Tidak segesit dulu lagi.
"Ya, belum tau dong, Han. Pergi juga belum, kamu kok sudah nanya-nanya soal pulang sih?" Tommy menerima sepatu dari Jihan. Memakainya tergesa karena reuninya akan berlangsung sekitar setengah jam lagi. Ia takut terjebak macet.
"Bukan begitu, Mas. Kita 'kan sudah lama tidak mengunjungi Ibu. Jihan janji akan menjenguknya hari ini bersama Mas dan Niko. Karena Jihan pikir kalau hari Jummat, Mas pulang kantor lebih cepat. Jadi kita bisa bersama-sama menjenguk Ibu," terang Jihan sabar.
Tommy tidak menjawab. Pikiran Tommy seperti tersita oleh masalah lain. Alih-alih merespon ucapannya, Tommy malah sibuk membalas chat-chat yang berbunyi tiada henti. Walaupun demikian, Jihan tidak putus asa. Ia kembali mencoba melanjutkan argumennya. Siapa tau, Tommy masih bersedia memenuhi permintaannya.
"Jadi kalau Mas pulangnya cepat, kita masih sempat mengunjungi Ibu. Itu maksud Jihan, Mas," lanjut Jihan panjang lebar. Ia berusaha memanjangkan sabarnya. Entah mengapa, akhir-akhir ini suaminya sering kali emosi hanya karena hal-hal sepele. Sebagai istri yang baik, ia hanya mencoba sabar dan mengalah. Rumah tangga akan hancur saat dua orang di dalamnya saling mengumbar emosi bukan?
"Menjenguk Ibumu 'kan bisa kapan saja, Han. Toh Ibu nggak akan ke mana-mana. Tapi kalau reuni ini, entah kapan sekali baru akan berlangsung," Tommy mendecakkan lidah. Jihan ini kalau sudah punya mau, susah sekali dipengaruhi. Walau terkesan lembut dan sabar, sesungguhnya istrinya ini keras hati.
"Ya sudah kalau begitu. Jihan akan pergi berdua saja dengan Niko." Jihan akhirnya mengalah. Untuk apa juga pergi bersama Tommy, kalau orangnya saja tidak niat. Daripada ibunya tidak enak hati melihat muka masam Tommy, lebih baik ia berangkat sendiri.
"Terserah kamu saja. Tapi ingat, kamu sedang hamil besar. Hati-hati menjaga kandunganmu. Minta Pak Untung agar berhati-hati saat berkendara."
Tommy memeriksa penampilannya sekali lagi. Setelah merasa cukup rapi, ia mengembangkan kedua tangannya ke arah Niko. Putra tampannya seketika menghambur ke dalam pelukannya.
"Ayah pergi dulu ya, Niko? Niko ikut bunda saja ke rumah nenek ya?" Kepala mungil dalam dekapan Tommy mengangguk menggemaskan. Tommy mengacak-acak sayang surai hitam putra tampannya.
"Anak pintar. Mas berangkat dulu ya, Han? Kalau nanti kamu sudah tiba di rumah ibu, kabari Mas. Biar Mas tenang." Jihan mengangguk singkat.
"Anak ganteng, Ayah pergi dulu ya?" Tommy mencium gemas putranya sekali lagi.
"Oke, Ayah. Dadah." Niko menggoyang-goyangkan tangan gemuknya. Tommy membalas lambaian tangan putranya sembari melangkah menuju garasi. Sejurus kemudian mobilnya meluncur keluar dari pekarangan rumahnya yang luas.
Sepeninggal Tommy, Jihan memanggil Bik Nanik. ART yang sesekali ikut mengasuh Niko apabila ia sedang repot. Ia memang tidak menggunakan jasa pengasuh, karena ia ingin merawat Niko dengan kedua tangannya sendiri. Menurut hematnya, selagi ia mampu mengasuh anaknya sendiri, maka akan ia lakukan. Toh Yang Maha Kuasa telah menganugerahinya sepasang kaki dan tangan yang sehat dan kuat. Kecuali mungkin saat bayi dalam kandungannya ini lahir bulan depan. Saat itu, mau tidak mau, ia harus mencari satu orang pengasuh untuk mengurus kebutuhan Niko. Ia tidak bisa mengasuh Niko secara penuh karena ada bayi yang baru dilahirkan. Sebagai seorang ibu, ia harus adil dalam membagi kasih sayang untuk kedua anak-anaknya.
"Iya, Bu." Bik Nanik datang menghampiri.
"Tolong jaga Niko sebentar ya, Bik? Saya mau mengganti pakaian dulu."
"Baik, Bu." Bik Nanik segera mengambil posisi duduk di samping Niko, sembari menghidupkan televisi. Saat melihat tayangan Ipin dan Upin, Niko pasti akan duduk anteng. Ia suka melihat kisah dua anak kembar yang lucu itu.
Karena Niko sudah ada yang menjaga, Jihan segera masuk ke dalam kamar. Sebelum pergi, ia bermaksud mengganti pakaian terlebih dahulu dulu. Tidak praktis rasanya memakai gaun lebar ke mana-mana. Apalagi akhir-akhir ini sedang musim penghujan. Tiupan angin kencang terkadang menaikkan rok lebarnya. Jihan membuka lemari pakaian. Memandangi susunan pakaian sejenak sebelum meraih sebuah kulot dan sweater berwarna moka. Dengan cepat Jihan mengganti pakaiannya. Setelah rapi, ia meraih pasmina berwarna coklat tua yang simple namun anggun. Lima menit kemudian tampilan cermin di kamarnya memperlihatkan seorang ibu muda hamil yang simple dan praktis. Ia kemudian menyiapkan segala keperluan Niko dalam satu tas praktis. Pakaian, susu, dan pernah-pernak lainnya ia masukkan semuanya ke dalam satu tas. Setelah semuanya beres, barulah ia berjalan ke depan.
Saat melewati ruang kerja Tommy, pintu masih dalam keadaan terbuka separuh. Pasti suaminya itu terburu-buru karena takut terlambat menghadiri acara reuni. Jihan menggeleng-gelengkan kepala. Ada-ada saja. Tommy bertingkah seperti anak SD yang takut terlambat masuk ke dalam kelas. Saat ia akan menutup pintu, pandangannya tertuju pada ponsel suaminya yang sepertinya tertinggal di meja kerja. Lihatlah, saking buru-burunya ponsel tertinggal pun Tommy tidak sadar. Jihan mengernyitkan dahi. Perasaan tadi sebelum berangkat Tommy masih sibuk membalas chat-chat yang masuk. Berarti ponselnya tidak tertinggal bukan? Lantas, ini ponsel siapa?
Karena penasaran, alih-alih menutup pintu ruang kerja, Jihan malah masuk ke dalam ruangan. I mengambil ponsel. Ia bermaksud memetikda ponsel yang ada di atas meja kerja suaminya itu. Pada saat itulah ia baru menyadari bahwa ponsel itu berbeda dengan ponsel suaminya yang biasa. Jantung Jihan mendadak berdebar. Apakah selama ini suaminya memiliki dua ponsel yang tidak ia ketahui? Dengan perasaan bercampur baur, Jihan berusaha membuka ponsel itu. Terkunci! Jihan mencoba membukanya dengan password suaminya yang biasa. Tidak terbuka. Jihan berpikir keras. Menduga-duga apa password yang mungkin Tommy gunakan. Ia mencoba dengan memasukkan tanggal, bulan, dan tahun perkawinan mereka. Tidak bisa juga. Begitu juga dengan tanggal lahir suaminya. Semuanya tidak bisa juga. Ide terakhir Jihan memasukkan tanggal lahir Niko. Dan password pun terbuka!
Dengan tangan gemetar Jihan membuka ponsel lain suaminya. Air matanya jatuh berderai saat melihat apa isi ponsel rahasia suaminya ini. Photo-photo mesra suaminya dengan Diana. Tetangganya sekaligus mantan pacar suaminya. Diana ini baru enam bulan lalu bercerai dari Wahyu, suaminya. Wahyu berselingkuh dengan sekretarisnya sendiri, Tania, dan menceraikan Diana begitu saja. Padahal sudah ada seorang anak perempuan manis buah hati pernikahan mereka. Diana enam bulan lalu sampai nekad bunuh diri di tengah malam buta. Dirinya yang kala itu tengah hamil muda, membawa Diana ke rumah sakit dan menjaganya semalaman di sana.
Jihan limbung. Ia nyaris jatuh ke lantai. Untungnya ia masih sempat meraih meja kerja suaminya. Ia menangis meraung-raung di sana. Ia sama sekali tidak menyangka kalau Diana sejahat ini. Lebih dari itu, ia sama sekali tidak menyangka kalau Tommy, sanggup menghianatinya.
"Bu, ada apa?" Nanik yang mendengar tangis histeris nyonya mudanya, berlari mendatangi asal suara dengan Niko dalam gendongannya. Tidak biasanya nyonya mudanya kehilangan kontrol diri seperti ini.
"Tidak apa-apa, Bik. Tolong Bibik dan Niko tunggu di luar saja. Sebentar lagi saya menyusul," tukas Jihan dengan suara parau. Sebisa mungkin ia menahan keinginan untuk menjerit-jerit histeris. Ia manusia biasa. Seorang perempuan yang kebetulan tengah hamil besar pula. Hormonnya menggelegak meminta pelampiasan penyaluran emosi. Namun ia sadar, ia berteriak hingga langit runtuh pun tidak akan ada gunanya. Yang harus ia lakukan adalah mencari fakta dan kebenarannya. Setelah itu barulah ia akan mengambil tindakan.
"Benar Ibu tidak apa-apa? Ibu mau minum teh manis hangat dulu barangkali? Saya buatkan ya, Bu?" Nanik tidak yakin kalau nyonya mudanya ini baik-baik saja. Tangisan penuh luka dan matanya yang memerah, menjelaskan segalanya. Nyonya mudanya sangat jauh dari kata baik-baik saja.
"Benar, Bik. Tolong, Bibik dan Niko tunggu di luar saja ya?" Walau merasa enggan, tak urung Nanik meninggalkan nyonya mudanya juga. Tapi ia bermaksud berdiri di depan pintu ruang kerja tuan mudanya ini saja. Jadi apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, ia bisa langsung cepat menolong. Ia sungguh khawatir melihat piasnya wajah nyonya mudanya.