Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
Bismillah
"SUAMI DARI ALAM LAIN"
#part_1
#by:R.D.Lestari.
#true story
Drap! Drap! Drap!
Bunyi langkah kaki memecah keheningan. Ku tatap wajah Sri dan Rena yang tadi amat ketakutan kini berubah ceria. Mendung itu seketika hilang terbias cahaya harapan.
"Sepertinya ada suara derap langkah kaki, mudah-mudahan ada yang akan menolong kita," ucap Sri lirih.
Aku beranjak dari dudukku dan menatap Rena sekilas.
"Jaga Sri, Ren. Aku akan melihat siapa yang datang. Semoga itu orang-orang yang mencari kita," seruku.
"Aku temani, Indri. Bahaya jika sendiri, diluar banyak binatang buas," Rena berusaha mencegahku.
"Tak apa aku sendiri. Sri lebih butuh dirimu, tubuh nya teramat lemah karena demam dan luka di kakinya," sahutku. Lambaian tangan kuarahkan pada mereka. Senyum tipis mengulas di bibir kedua sahabatku itu.
"Hati-hati, In," ucap Rena dan Sri. Aku hanya mengangguk, berbalik dan melangkah pergi meninggalkan mereka.
Bulir bening menetes di pelupuk mata. Apakah salah kami hingga mengalami nasib setragis ini?
Kami mahasiswa dari suatu perguruan tinggi di kota Sulawesi. Kedatangan kami ke hutan lebat ini karena suatu kegiatan penelitian dari Universitas tempatku menimba ilmu.
Jumlah kami saat itu ada delapan orang, tapi hanya kami bertiga yang terpisah dari rombongan. Itu pun karena ulahku yang tak mau buang hajat sembarangan.
Akibat dari kecerewetanku, akhirnya Sri dan Rena dapat imbasnya. Kami tersesat di dalam hutan dan tak tau arah. Hingga terpisah dari rombongan.
Lelah berjalan dan takut yang tak terhingga, Sri tiba-tiba mendengar geraman yang amat dekat. Saat menoleh, dengan jarak sekitar dua puluh meter tegak seekor beruang madu yang siap menerkam. Kukunya yang panjang dan hitam mengarah ke arah kami. Taringnya mencuat di antara moncongnya.
Kami serentak berlari, tapi sayang Sri terjatuh dan sempat tercakar di bagian kaki. Aku dan Rena berbalik dan memukul beruang dengan panci dan peralatan masak serta tas yang kami bawa. Beruntung binatang buas itu menyerah dan berlari meninggalkan kami, hanya saja kaki Sri terluka cukup parah.
Dengan sisa tenaga kami membawa Sri berjalan di antara lebatnya hutan. Pepohonan besar dan tumbuhan hutan lainnya membuat kami di rundung ketakutan.
Dalam kelelahan yang tiada terhingga, samar-samar terlihat sebuah rumah yang cukup kokoh berdiri.
Kami pun memutuskan singgah dan meminta bantuan. Walau sebenarnya ragu, di tengah hutan ada rumah? siapa yang tinggal di sini?
Saat itu Sri dan Rena juga diriku berusaha memanggil si pemilik rumah, tapi tak ada jawaban. Ternyata rumah pun tak terkunci dan tak ada apa pun di dalam rumah. Seperti sudah sangat lama tak di huni.
Dan sejak saat itu kami tinggal di rumah tua ini untuk melindungi diri dari makhluk buas dan juga binatang melata lainnya. Ini sudah hari ketiga, luka di kaki Sri menyebabkan infeksi dan Sri demam. Stok mie dan makanan instan lainnya pun sudah hampir habis. Untuk air minum, aku sengaja menampung air hujan. Kebetulan malam selalu hujan.
Kami hanya bertahan pada lampu senter dan lampu handphone. Itupun sudah mat* semua. Tadi malam pun gelap-gelapan .
***
Drap! Drap! Drap!
Suara langkah kaki itu terdengar lebih jelas. Ku percepat langkahku . Sepertinya bukan cuma seorang , tapi banyak orang.
Mataku berbinar melihat sekumpulan tentara sedang berjalan mendekati gubuk kami. Tanpa sadar aku berlari mendekati mereka.
"Pak--Pak, tolong!" teriakku.
Mereka serentak menghentikan langkah. Nyaris copot jantungku melihat tatapan para lelaki di hadapanku. Tampan , semua amat tampan. Wajah mereka bukan seperti warga pribumi pada umumnya. Mata mereka biru, hidung mereka mancung dan kulit mereka putih bersih. Mereka memakai baju tentara tapi berbeda warna dengan yang sering tentara pakai pada umumnya.
Mereka hanya terdiam melihatku. Seolah menatap heran dengan kehadiranku .
"To--tolong, sa--saya,Pak," lirihku.Tubuhku gemetar menahan malu karena mereka menatapku tanpa berkedip sedikitpun.
"Kenapa bisa berada di dalam hutan. Sendiriankah kamu?"
Salah satu dari mereka berjalan mendekatiku, wajahnya lebih tampan dari yang lain. Jika diperhatikan sepertinya dia pemimpinnya, nampak dari pakaiannya yang berbeda.
"I--iya, Pak. Saya tersesat bersama dengan dua teman saya," paparku.
"Sekarang di mana kedua temanmu?" tanyanya . Ia semakin dekat dan wajahnya terlihat semakin jelas. Tampan... sangat tampan.