Cinta yang Tersulut Kembali
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Mantanku yang Berhati Dingin Menuntut Pernikahan
Cinta di Jalur Cepat
Cinta Setelah Perceraian: Mantan Suami Ingin Aku Kembali
Jangan Main-Main Dengan Dia
Aku Jauh di Luar Jangkauanmu
Gairah Liar Pembantu Lugu
Balas Dendam Manis Sang Ratu Miliarder
Suamiku Ternyata Adalah Bosku
Dalam perjalanan ke kantor sosok Dean sedang mengarahkan pandangannya ke arah jendela mobil. Bias kaca yang gelap membuat pria berambut cokelat dan pemilik mata abu-abu yang indah itu merangsang pikirannya tentang masalalunya yang suram.
"Jangan pikir kamu bisa lolos, Eduardus Oxley. Sampai kapanpun aku akan membalas semua perbuatanmu. Karena kau telah membuat dua wanita yang paling aku cintai meninggal, aku berjanji ... aku akan___"
Drttt... Drttt...
Getaran ponsel membuat Dean menghentikan pikirannya. Ia mengambil benda pipih itu dari saku jas hitamnya yang mahal lalu menatap layar. Mata abu-abunya yang tadi begitu tajam kini berubah cerah ketika melihat nama si penelepon.
"Halo, Mami?"
"Dean," sapa wanita dari balik telepon, "Apakah kamu sudah bertemu gadis itu? Bagaimana keadaannya, Dean? Apakah dia baik-baik saja? Apakah dia kurus, gemuk atau ___"
"Mami," sergah Dean, membuat wanita itu menghentikan ucapannya. Ia tersenyum dan berkata lagi, "Aku belum bertemu gadis itu, Mam. Mungkin hari ini aku akan bertemu dengannya."
"Oh, Dean, aku ingin sekali bertemu dengannya. Aku benar-benar merindukannya, Dean."
Dean terkekeh. "Sabar ya, Mam, pasti ada saatnya Mami akan bertemu dengannya. Mami masih ingat kan apa yang dikatakan ibunya?"
"Iya, aku masih ingat, bahkan sangat ingat. Dan itu sebabnya aku rela menahan rindu sampai saatnya tiba. Tapi kali ini aku ...." Wanita di balik telepon itu menghentikan suaranya.
"Tapi apa, Mam?"
"Tapi kamu harus berjanji dulu."
"Janji apa, Mam?" tanya Dean.
"Kamu harus berjanji padaku, ketika dia sudah bertemu denganmu nanti janganlah kau menyiksanya. Jangan kejam-kejam kepadanya, Dean."
Dean lagi-lagi tertawa. "Aku janji, Mami. Lagi pula aku tidak mungkin bisa bersikap kejam padanya. Jika aku berani melakukan hal itu roh ibunya pasti akan datang dan menggangguku setiap malam."
Wanita di balik telepon itu tertawa. "Baiklah kalau begitu. Jaga dirimu, Dean. Kau juga harus menjaga gadis itu jika kau sudah bertemu dengannya."
"Tanpa Mami memberitahu aku pasti akan menjaganya. Mami tenang saja."
"Kamu benar-benar anak andalan kami. Ya, sudah, sampai jumpa lagi."
Tut! Tut!
Di sisi lain.
Kensky berjalan santai di atas trotoar. Keindahan kota New York di pagi hari membuat wanita pemilik rambut panjang yang warnanya cokelat kehijauan ini tampak bahagia. Karena tidak memiliki kendaraan, Kensky lebih senang berjalan kaki di pagi hari untuk menghirup udara bersih yang belum terkontaminasi polusi.
Drtt... Drtt...
Suara telepon bergetar membuat Kensky segera meraih benda itu dari dalam tasnya. Sambil terus berjalan tanpa melihat genangan air yang berada tak jauh di hadapannya, Kensky kini menyambungkan panggilan itu. "Halo, Tan?"
"Kamu di mana, Kensky? Kamu akan datang ke apartemenku pagi ini, kan?"
Kensky menepuk dahinya. "Astaga, aku lupa. Maafkan aku Tanisa, saking sibuknya aku lupa memberitahukannya kepadamu."
"Soal apa, Kensky?"
"Soal lamaran kerja yang aku ajukan tempo hari di perusahan yang kau referensikan."
"Aku ingat, terus?"
"Aku sudah diterima dan pagi ini aku akan menghadiri wawancara di kantor itu."
"Benarkah? Aku ikut senang, Sky. Lalu, di mana kamu sekarang? Kenapa ada suara kendaraan yang lewat?"
"Aku sedang berjalan kaki menuju kantor itu. Jam sembilan nanti wawancaranya akan dimulai."
"Jam sembilan? Ini masih jam tujuh, Kensky." Terdengar tawa Tanisa dari balik telepon.
"Memang. Tapi aku sengaja pergi lebih awal, karena aku ingin mampir ke Bebbi Caffe dulu untuk sarapan. Mungkin setelah wawancara aku akan ke apartemenmu dan____"
Byur!