Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
"kau minggu depan jadi ikut persami di Swimbath,Ci?" tanya Rere teman satu ekstrakurikuler ku di sekolah tapi beda kelas.
"Kayaknya sih jadi Re, udah dapat izin juga kok dari si emak!" jawabku sambil meminum teh gelas kemasan seribu.
"Alhamdulillah, jadi ada kawan deh!"
"Lagi pula rugi tau gak ikut, persami kali ini kan gabung dengan kecamatan sebelah. Pasti ada cogan nya. Haha!" aku tertawa seraya memukul pundak Rere.
Terlihat Rere sedikit meringis, padahal tak terlalu kuat aku memukulnya. Dasar, Rerenya saja yang lebay!
"Sakit tau,Ci. Bisa gak sih kalau ketawa gak mukul mukul orang" Rere memanyunkan bibirnya.
"Hehe maaf maaf,bawakan dari bayi,Re!" jawabku seraya mengelus pundak Rere yang ku pukul tadi.
"Dasar!. Eh btw, kau kok tau nanti bakalan banyak cogan nya?" tanya Rere dengan senyum lebarnya.
"Nebak aja sih!"
"Yaelah. Kalau iya cogan, kalau colek (cowok jelek) gimana?"
"Embat aja yang penting di traktirin. Haha!"
"Kenyang di perut sakit di mata dong,Haha!"
"Iya juga, ya!"
Kami memang nakal kalau soal cogan, tapi kami tetap tau ada batas yang tidak bisa kami lewati.
Kenakalan kami tentang cowok hanya sekedar kesenangan biasa saja. Kami sama sekali tidak pernah di sentuh dengan cowok manapun.
"Uci?" panggil seseorang dari belakangku. Aku dan Rere menoleh ke arah suara.
"Di cariin dari tadi rupanya nongkrong di kantin!"sambungnya lagi.
"Emang ada apa,prim?" tanyaku pada Prima. Biasanya sih, kalau dicariin sama Prima pasti ada surat yang ingin dikasihnya, secara Prima terkenal sebagai tukang pos di sekolah.
Banyak anak anak yang menyuruhnya mengirim surat ke anak yang lain.
Biasanya lebih keseringan surat cinta. Tetapi tentunya tidak geratis.
Prima meminta bayaran seribu untuk satu surat. Dia akan menggratiskan satu surat jika kita telah menyuruhnya sampai tiga kali.
Banyak juga yang tidak membayarnya dengan alasan "bayarnya nanti sekalian".
Larangan keras membawa hp ke sekolah membuat kami sering bertukar surat.
"Nih ada surat dari Bobi!" jawab Prima memberiku kertas yang sudah terlipat lipat.
Bobi adalah teman satu angkatan tapi beda kelas. Saat ini aku duduk di kelas 3SMP.
Kalau dari surat yang selalu Bobi kirim, sepertinya ia menyukaiku.
Bobi sering mengtraktirku dan Rere saat jam istirahat.
Mana yang bisa di manfaatkan itu yang kami dekatkan.
"Oke makasih!" ucapku.
"Ongkosnya mana?"
"Loh kok minta sama aku? Yang ngirim suratkan Bobi?"
"Oh iya lupa" jawabnya santai dan berlalu pergi. Tapi baru beberapa kali melangkah, prima berhenti dan menoleh ke arahku.
"Gak mau di balas?" tanya Prima.
"Oh iya, tunggu sebentar. Dibaca dulu" jawabku. Aku langsung membacanya.
Di surat itu Bobi mengajakku untuk ketemuan di belakang perpustakaan.
Karena hanya sebuah ajakan aku tak membalasnya.
Tapi sebelum aku menemui Bobi, sepertinya mengerjai si Prima seru juga.
"Prim, tunggu disini ya, aku sama Rere ambil kertas dulu" ucapku berbohong.
"Gak payah,Ci. Aku udah siapkan kertas sama pulpen nih" jawab Prima sambil menunjukan buku dan pulpen. Niat bener emang si Prima jadi tukang posnya.
"Kertas kamu jelek, gak ada lope lopenya. Aku kan mau membalas surat dari Bobi dengan romantis!"