/0/19269/coverorgin.jpg?v=f324e0a554ff64f17e8a3749d4a97c1e&imageMogr2/format/webp)
Katrina berdiri di depan cermin besar di kamar pengantin yang sederhana itu. Tangannya gemetar memegang gaun pengantin putih yang sederhana, namun terasa berat di tubuhnya. Setiap potongan kain yang menyentuh kulitnya seolah mengingatkan betapa jauh dirinya terperangkap dalam kehidupan yang tidak pernah ia inginkan. Pernikahan ini, yang datang begitu mendalam dan mendesak, tak pernah terbayangkan dalam impiannya.
Ia menatap bayangannya sendiri di cermin. Wanita muda berusia dua puluh tiga tahun ini tidak pernah membayangkan pernikahan akan datang begitu cepat, apalagi dengan pria yang baru ia kenal sejenak, Gavin Ardian. Pikirannya melayang kembali ke pagi itu, ketika ayahnya, yang kini terbaring sakit parah di rumah sakit, mengajaknya berbicara dalam suara yang lemah dan hampir tak terdengar. "Kau harus menikah, Nak. Ini yang terbaik untukmu. Pria itu... Gavin... dia akan menjaga kamu," kata ayahnya dengan nada yang penuh harapan.
Namun, di balik kata-kata itu, Katrina merasakan kebingungan yang menggelora. Dia tidak pernah merasa siap, tidak pernah ingin. Mengapa harus pria itu? Sejak pertama kali ia mendengar nama Gavin, ada sesuatu yang janggal dalam hatinya. Pria itu tampaknya terlalu jauh dari sosok yang dapat membuatnya merasa aman, jauh dari gambaran suami yang akan mendampinginya dalam hidup. Namun, ayahnya yang selalu menjadi pelindungnya, kini meminta sesuatu yang berat-pernikahan dengan pria yang asing di matanya.
"Ayah..." Katrina mengucapkan kata itu dalam hati, berusaha menahan air mata yang ingin tumpah. Tapi apa yang bisa ia lakukan? Ayahnya sedang sakit keras. Perasaan takut akan kehilangan sosok yang begitu berarti dalam hidupnya lebih kuat daripada segala rasa tidak nyaman yang ia rasakan tentang pernikahan ini. Dia merasa terjebak dalam sebuah takdir yang ditentukan orang lain untuknya, tanpa ada pilihan untuk menolak.
Katrina mengalihkan pandangannya ke pintu. Di luar sana, di ruang tamu, Gavin sedang menunggu. Tidak ada banyak kata yang terucap saat mereka bertemu sebelumnya. Ia hanya mengangguk dan menyebutkan kalimat-kalimat formal yang terasa kosong dan jauh dari kehangatan. Namun, pada kenyataannya, pernikahan ini bukanlah sekadar soal cinta atau kebahagiaan, melainkan lebih pada kewajiban dan tekanan dari keluarga. Ayahnya sudah menyerahkan semuanya, menginginkan pernikahan ini untuk memastikan masa depan putrinya aman.
Katrina menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Perasaan cemas dan marah berbaur dalam dadanya. Apa yang terjadi jika Gavin tidak peduli padanya? Apa yang terjadi jika pernikahan ini hanya berlangsung sebagai sebuah formalitas belaka? Setiap pertanyaan itu mengganggu pikirannya, namun dia tidak punya pilihan. Sebagai seorang anak yang taat, Katrina harus melangkah dengan kepala tegak, menerima takdir yang telah ditentukan untuknya.
Hatinya sedikit terhenyak ketika pintu kamar pengantin terbuka dan seorang wanita muda masuk, mengenakan gaun berwarna biru muda dengan rambut yang terurai rapi. Wanita itu tersenyum dengan lembut, meskipun senyuman itu terasa seperti sebuah topeng yang dipaksakan.
"Apakah kamu siap?" tanya wanita itu dengan nada penuh perhatian. Namanya Clara, ibu dari Gavin.
Katrina mengangguk pelan, meskipun dalam hatinya, ada gelombang perasaan yang sulit untuk dijelaskan. Ia bisa merasakan perbedaan antara keduanya. Clara tampaknya begitu terbiasa dengan dunia ini, dunia yang sudah dipersiapkan untuknya. Dunia di mana pernikahan bukanlah hal yang harus dipilih dengan cinta, tetapi lebih sebagai kewajiban sosial dan keluarga.
"Kamu tak perlu khawatir. Gavin adalah pria yang baik, meski mungkin sedikit keras kepala," kata Clara, seolah membaca kecemasan Katrina. "Ia akan menjaga kamu dengan baik."
Katrina hanya mengangguk tanpa berkata apa-apa. Apa yang harus ia katakan? Semua ini terasa seperti sebuah permainan besar yang tak pernah ia pilih. Sementara Gavin, pria yang kini menjadi suaminya, hanya hadir sebagai bagian dari tuntutan hidup, tanpa ada ruang untuk saling mengenal lebih dalam. Tidak ada dasar untuk merasa nyaman dengan pernikahan ini.
Clara menyentuh bahu Katrina dengan lembut, mengalihkan perhatian wanita itu dari pikirannya yang mulai mengembara. "Kamu adalah istri Gavin sekarang. Itu berarti kamu harus siap menjadi bagian dari keluarga kami," lanjut Clara dengan nada serius. "Kami mengandalkanmu, Katrina. Kami berharap pernikahan ini bisa membawa perubahan yang positif bagi keluarga kami."
/0/23568/coverorgin.jpg?v=44b2fe43acc91ec0b82a1c987c096130&imageMogr2/format/webp)
/0/22027/coverorgin.jpg?v=810f027801007e6bcf6025a1f3d067a7&imageMogr2/format/webp)
/0/4139/coverorgin.jpg?v=541f6d8080596c816ddfc5dc072bf482&imageMogr2/format/webp)
/0/8028/coverorgin.jpg?v=39a7afaf43f7759fb64cc79f044421d6&imageMogr2/format/webp)
/0/12393/coverorgin.jpg?v=373847164c0c6ea0665053b7c61f5201&imageMogr2/format/webp)
/0/14556/coverorgin.jpg?v=35652c42a4e2ae84e49f2ef12d7d9ce2&imageMogr2/format/webp)
/0/23409/coverorgin.jpg?v=bff9ac62bc8dbdd3a3e5c75c1ad9e5d8&imageMogr2/format/webp)
/0/17720/coverorgin.jpg?v=1aba12b701e878ef320810666b985c0b&imageMogr2/format/webp)
/0/4208/coverorgin.jpg?v=ef5fa7481849bbf2a8fb9e85f73eb156&imageMogr2/format/webp)
/0/19453/coverorgin.jpg?v=27cf6cfd19e4e6b5bb18463954ec3562&imageMogr2/format/webp)
/0/5549/coverorgin.jpg?v=ed16dc7d04195933c7aec37e6dffdbf2&imageMogr2/format/webp)
/0/8017/coverorgin.jpg?v=45a6efcf70996b0335c4f90c3c4d37b9&imageMogr2/format/webp)
/0/12410/coverorgin.jpg?v=06e5ff3fa2e2901763ed22045c316af9&imageMogr2/format/webp)
/0/2446/coverorgin.jpg?v=f6d9bcad1b57dd615f2d32909f9e4759&imageMogr2/format/webp)
/0/22779/coverorgin.jpg?v=c7df2ae606df727a42b8bbece4cef249&imageMogr2/format/webp)
/0/27624/coverorgin.jpg?v=d835003021b2dcaffd0db8369e1c1393&imageMogr2/format/webp)
/0/16643/coverorgin.jpg?v=f590d790133422e8790b48b1c5974542&imageMogr2/format/webp)
/0/16650/coverorgin.jpg?v=e7a4859497c8f55f27fc9ab2465f8140&imageMogr2/format/webp)
/0/3861/coverorgin.jpg?v=7853e354b1b8adaa688c7c566758571a&imageMogr2/format/webp)