Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
“Menikah!”
Aesya Canela-perempuan berusia 23 tahun itu melotot tajam pada lelaki yang sudah membesarkan dirinya penuh kasih sayang dan juga kemewahan.
Halim Hazmi! Dia adalah papa dari Aesya dan seorang duda ditinggal pergi sang istri untuk selamanya.
Ya, lelaki itu mengangguk sembari mengadu sakit saat kaki kirinya bergerak sedikit.
“No, Pa.” Aesya menolak.
Tidak ada pernikahan di usia yang menurut Aesya masih muda. Baginya juga menikah itu adalah hal paling konyol yang bisa mempercepat kerutan karena memikirkan rumah tangga yang rumit. Apalagi dia juga belum memiliki tambatan hati. Untuk saat ini dirinya lebih menyukai foya-foya.
“Papa khawatir sama Esya kalau papa kenapa-napa. Siapa yang akan menjaga dan melindungi Esya kalau papa meninggal nantinya?” Halim menghela napas membayangkan dirinya meninggalkan dunia ini sedangkan putrinya yang manja serta belum mandiri itu tidak ada yang merawat.
Halim butuh orang yang bisa dipercaya untuk melanjutkan perjuangan menjaga Aesya yang begitu disayanginya itu.
Aesya memutar bola matanya. “Papa jangan hiperbola, deh. Dokter Amel bilang, penyakit Papa itu Asam Urat bukan penyakit kronis yang bakalan bikin Papa meninggal.”
Halim memijat keningnya. “Walaupun hanya Asam Urat tetap saja itu penyakit, Esya.”
“Bukan berarti Aesya harus menikah juga. Aesya masih mau bersenang-senang, Pa.” Helaan napas Aesya terdengar kasar. Dia tidak ingin terjebak dalam pernikahan dengan siapapun saat ini. Itu sulit sekali!
“Turuti permintaan papa sekali saja.”
Aesya menggeleng. “Males. Aesya masih menikmati hidup. Besok itu Aesya mau ke Bali bareng Nera. Kalau kaki Papa masih sakit, gak usah kerja dulu.”
Halim meneteskan air mata. “Aesya tega sama papa.”
Aesya kembali memutar bola mata. Papanya mulai berdrama. “Papa jangan lebay, deh. Aesya itu masih mau menghabiskan uang Papa yang tujuh turunan gak bakalan habis. Menikahnya nanti saja kalau udah ada yang cocok. Lagian, siapa yang mau menikah dengan Aesya si manja ini?” Aesya memasang senyum termanisnya kepada sang papa. “Atau gini, Papa saja yang menikah. Aesya punya kenalan yang bisa Papa jadikan istri. Em ... atau mamanya Ainera saja. Gimana?” Aesya menawarkan kerjasama yang membuatnya terbebas dari pernikahan.
Halim menggeleng. “Tidak!”
“Aesya belum mau menikah, Pa. Lagian penyakit Papa itu gak parah.”
“Jadi Aesya baru nurut sama papa kalau penyakit papa itu parah?”
Aesya menghela napas. “Gak gitu juga.”
“Besok temui lelaki bernama Mateo Relova di restoran biasa. Kalau Aesya menolak, papa sita semua fasilitas yang Aesya punya.”
“Besok itu Aesya mau ke Bali.” Aesya menolak. Astaga, dia sudah merencanakan liburan ke Bali bareng Nera sejak awal bulan dan baru pertengahan terealisasikan.
Bagaimana mungkin ia bisa membatalkannya begitu saja?
“Batalkan!” Halim menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuhnya.
Aesya menghela napas kasar. Liburan yang sudah ia rencanakan kali ini benar-benar gagal. Terpaksa! Papanya kalau sudah merajuk melebihi gadis remaja.
**
Aesya menarik tangan Nera ke dalam restoran yang papanya katakan kemarin.
“Lo yang dijodohkan, kenapa gue ikutan batal terbang ke Bali juga?” Nera menggerutu lantaran impiannya ke Bali bertemu seorang bule kenalan di media sosial gagal karena ulah Aesya.
“Kita itu sahabat. Gue menderita, lo juga harus ikut menderita.”
“Buset, deh. Lo bahagia, gue apa? Nepok nyamuk yang lewat.” Nera mengedarkan pandangannya ke seluruh kafe. “Apa ciri-cirinya?”
“Punya hidung, mata dan juga kepala.” Aesya asal menjawab.
“Gue juga tahu itu. Mana mungkin lo ketemu sama orang yang gak punya kepala.”
“Lo bawel banget, Ra,” protes Aesya.
“Lo yang nyebelin, Aesya. Gue nanya ciri fisiknya gimana, bukan nanya apakah dia punya hidung atau kepala.”
Aesya memasang mimik bersalah. “Ups. Sahabat bantet gue cemberut.”
“Diam!” Nera berjalan menuju satu meja di mana seorang lelaki yang membelakangi mereka duduk.
Ainera menarik kursi di depan lelaki itu dan kemudian tersenyum. “Mateo Relova?” Bertanya tanpa keraguan sama sekali.
Lelaki itu menggeleng. “Bukan.”
Nera meringis dan segera bangkit dari duduknya dan menarik tangan Aesya.