Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
Suatu pagi di akhir musim gugur. Saat fajar menyingsing menggantikan gelapnya malam, sinar mentari di ufuk timur memberikan sedikit kehangatan di udara dingin yang menusuk.
Saat itu lampu minyak di ruang bawah tanah rumah kediaman Keluarga Luo terlihat masih menyala. Seorang pemuda bernama Zen Luo duduk tegak di depan meja, tubuhnya menutupi sebagian besar cahaya yang terpancar dari lampu minyak tersebut, diam-diam dia mengeluarkan sebuah buku yang dijilid dengan benang dan terlihat sudah cukup usang.
Zen Luo adalah seorang pemuda bertubuh kurus dan tidak dapat dibilang tampan yang baru saja berusia 17 tahun, dia memiliki temperamen yang sangat lembut, matanya begitu bersinar bahkan di bawah cahaya lampu minyak yang redup dan temaram pun, tetap saja terlihat begitu bersinar dan mempesona.
"Aku membutuhkan waktu kira-kira sebulan untuk menyelesaikan buku 'Prinsip Surgawi' ini, semua argumentasi yang tertulis di dalam buku ini memang sangat baik, tetapi empat kata yang berbunyi 'Membalas kejahatan dengan kebaikan' sungguh sangat menjijikkan." Bisik Zen sambil menatap api di lampu minyak yang seukuran kacang. Wajahnya terlihat sangat sedih, "Jika saja ayah tidak berbaik hati dan mempercayai empat kata tersebut, aku sebagai keturunan langsung dari Klan Luo pasti tidak akan berakhir seperti ini, dan ayah juga pasti masih hidup ..."
Tiba-tiba terdengar suara seseorang membuka kunci pintu ruang bawah tanah yang kemudian membuyarkan lamunannya. Ekspresi wajahnya yang sedih langsung berubah menjadi sangat serius, dia dengan segera meniup api yang ada di lampu minyaknya dan menyelimuti dirinya dengan selimut katun yang sudah usang.
Pintu ruang bawah tanah pun akhirnya terbuka, lalu terdengar suara langkah kaki yang semakin mendekatinya. Seorang petugas melangkah menuju ke arahnya dan menginjakkan kakinya di tempat tidur Zen, dia lalu berteriak kepadanya, "Apakah kamu masih tidur? Apakah kamu sedang bermimpi menjadi tuan muda dari Klan Luo? Bangun sekarang juga! Kamu harus pergi sekarang!"
Pria tersebut dulunya adalah seorang pelayan yang bekerja untuk Klan Luo, tampangnya terlihat agak keji, kutil yang tumbuh di dahinya sering membuat orang yang melihatnya merasa jijik, Zen duduk di tempat tidurnya sambil menggosok matanya, dia lalu menyingkap selimutnya, dan bangkit dari tempat tidurnya, kemudian mengenakan pakaian, kaus kaki, dan sepatunya dengan santai tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Meskipun pakaian itu sudah tua dan lusuh tapi Zen tetap menyimpannya dengan rapi, dia adalah pria yang sangat rapi dan teliti.
Petugas tersebut memutar bola matanya, lalu mengkritiknya, dan kemudian memberi isyarat kepada yang lain dengan melambaikan tangannya, beberapa pria lalu datang menghampiri dan mengepung Zen, mereka lalu memakaikan baju pelindung kulit yang tebal dan juga memborgol tangan dan kakinya dengan paksa.
Setelah selesai, Zen lalu mengikuti para petugas tersebut berjalan keluar dari ruang bawah tanah dan pergi menuju ke Balai Seni Bela Diri Luo.
Klan Luo memiliki ratusan tambang dan juga jutaan hektar tanah yang sangat subur, mereka adalah klan yang sangat besar dan berkuasa di Kabupaten C.
Namun mereka tidak ada apa-apanya jika berada di wilayah timur karena di sana memiliki ribuan kota kabupaten dan juga keluarga kaya dan terkemuka yang tak terhitung jumlahnya.
Zen berjalan keluar dari ruang bawah tanah yang suram dengan dikawal oleh beberapa pria, ini sudah menjadi ritual hariannya, jadi dia sudah sangat terbiasa dengan hal ini. Untuk pergi ke Balai Seni Bela Diri, dia harus berjalan melewati banyak paviliun, jembatan, dan ruang galeri.
Balai seni bela diri tersebut berada di area terbuka, tempat itu adalah tempat di mana anak-anak dari Klan Luo belajar dan berlatih seni bela diri. Pintu masuknya dihiasi dengan patung singa jantan dan singa betina yang terbuat dari marmer putih, lantainya terbuat dari lempengan batu basal yang hitam dan besar. Hanya dengan berdiri di pintu masuk saja, orang-orang bisa merasakan kekuatan yang memancar dari dalam Balai seni.
Di tengah Balai Seni Bela Diri tersebut, ada puluhan anak dari Klan Luo yang terlihat sedang berlatih seni bela diri di bawah bimbingan seorang guru, mereka semua mengenakan jubah abu-abu.
mereka terus menerus melayangkan tinjunya sambil berteriak.
Anak-anak tersebut harus belajar dengan rajin dan berlatih dengan keras agar bisa memenangkan posisi tertentu dalam Klan mereka, semua anak-anak yang ada di sana terlihat hanya berusia 10 tahun ke atas.
Pada akhir musim gugur ini, meskipun angin dingin sudah mulai bertiup, mereka tetap saja berlatih dengan semangat hingga bermandikan keringat. Panas dan dingin yang kontras memenuhi seluruh balai seni yang diselimuti oleh kabut putih.
Di sisi lain Aula Seni Bela Diri berdiri lebih dari selusin pria yang berpakaian seperti Zen, mengenakan pelindung kulit dengan tangan dan kaki yang dibelenggu. Orang-orang itu terlihat sangat menyedihkan, sekujur tubuh mereka dipenuhi oleh luka dan darah.
Zen lalu dikawal masuk ke dalam Balai Seni Bela Diri, penjaga menempatkannya di antara orang-orang yang terluka tersebut.
Sebagian besar dari mereka adalah terpidana mati yang telah dibeli oleh Klan Luo dari penjara lokal dan dijadikan sebagai budak. Para budak ini dijadikan sebagai alat bagi anak-anak dari Klan Luo untuk melatih dan menguji kekuatan mereka, mereka diperbolehkan untuk menyerang para budak itu sesuka hati mereka, beberapa budak bahkan sampai terbunuh dan cacat akibat dari serangan tersebut. Seiring berjalannya waktu, jumlahnya semakin bertambah, tidak tahu sudah berapa banyak budak yang kehilangan nyawa mereka di sana.
Namun kondisi Zen sangatlah berbeda, dia tidaklah dibeli dan juga bukanlah terpidana mati, dia adalah anak tertua dari cabang tertua Klan Luo. Anggota Klan yang lain biasa memanggilnya dengan sebutan tuan muda, dulunya dia juga seorang bangsawan, para rekannya pasti akan membungkuk dan memberi hormat padanya, bahkan para tetua keluarga pun bersikap sangat sopan kepadanya.
Sampai dua tahun yang lalu semua langsung berubah, sebuah bencana tiba-tiba terjadi di Kabupaten C, ayah Zen yang merupakan kepala Klan Luo diracuni oleh saudaranya sendiri, dia langsung meninggal di tempat saat itu juga.
Tidak lama setelah itu, cabang tertua dari Klan Luo langsung diambil alih oleh tiga cabang lainnya. Mereka memfitnah dan membuat tuduhan palsu terhadap ayah Zen dengan mengatakan kalau dia adalah seorang pemberontak di dalam Klan mereka, dan karena hal itu keluarga mereka tidak bisa bertahan dan cabang tertua menjadi tidak sekuat sebelumnya.