/0/28057/coverorgin.jpg?v=f3b4efcf5a91765b6e671e1a7eb8bdcb&imageMogr2/format/webp)
Dug dug dug.
“Mati aku. Gimana caranya aku cari uang, mana harus dibayar minggu depan lagi,” gerutu Joanna sambil membenturkan keningnya beberapa kali ke atas meja.
“Aku harus cari uang ke mana ini. Gajianku masih dua minggu lagi dan itu juga cuma cukup buat hidup aku. Sial benar sih nasibku semester ini. Padahal tinggal setahun lagi kenapa harus ditarik beasiswaku,” keluh Joanna putus asa.
Joanna sedang dilanda stres tingkat tinggi saat ini. Dia sedang kesusahan keuangan karena beasiswa yang selama ini menopang biaya kuliahnya tiba-tiba ditarik dengan alasan yang tidak jelas. Padahal Joanna saat ini sedang ada di tahun terakhir kuliahnya. Kalau dia sampai tidak bisa membayar uang kuliahnya, maka bayangan drop out dari kampus sudah tidak akan bisa dihindari lagi.
Padahal Joanna juga sambil bekerja paruh waktu di salah satu toko kue merangkap taman bacaan ketika malam hari. Namun gaji yang dihasilkan itu hanya cukup untuk biaya hidupnya sehari-hari.
Kedua orang tua Joanna sudah meninggal beberapa tahun yang lalu dan kakaknya juga ga pergi entah ke mana menghilang tanpa jejak hingga saat ini. Joanna beruntung bisa kuliah karena dia mendapatkan beasiswa itu.
“Hei ... ngelamun aja,” sapa Irene sahabat Joanna.
“Eeh ... kamu udah keluar kelas. Duduk, Ren,” jawab Joanna sambil membenarkan tatanan rambutnya yang pasti berantakan.
Irene duduk di kursi yang ada di depan Joanna. Dia tersenyum melihat temannya itu lalu memanggil seorang pelayan untuk memesan sesuatu.
“Kucel amat sih. Mau pesen ga?” tawar Irene.
“Udah kok, aku udah pesen. Tinggal tunggu di anter aja,” jawab Joanna.
“Beneran udah pesen?” tanya Irene berusaha untuk memastikan.
“Udah kok, tuh ... dateng kan,” ucap Joanna yang kebetulan pesanannya sudah datang.
“Kalo gitu, saya pesen sama aja deh kaya dia, Mbak,” ucap Irene pada pelayan itu.
“Baik kak, ditunggu sebentar ya,” jawab pelayan itu kemudian segera pergi meninggalkan meja Joanna.
Joanna yang sedang stres pun segera melahap capcay pesanannya karena perutnya sangat lapar. Harga makanan dan minuman di cafe ini memang cenderung lebih murah daripada cafe sejenisnya. Menurut kabar, cafe ini memang khusus melayani kantong mahasiswa.
“Jo, gimana masalahmu. Udah dapet solusi belum?” tanya Irene yang merasa kasihan pada Joanna sahabat baiknya itu.
“Kalau udah dapat solusi aku gak mungkin stress kayak beginilah. Aku tadi nanya lagi ke bagian kemahasiswaan, tapi jawabannya masih tetap sama, mereka gak tahu alasannya apaan,” jawab Joanna sambil menghembuskan nafasnya berat.
“Ya ampun kok kayaknya gak adil banget ya. Kenapa juga harus di tahun terakhir kamu, mendadak pula. Aku juga jadi bingung gimana cara bantu kamu,” ucap Irene yang merasa kasihan pada sahabatnya itu.
“Gak usah ikut bingung. Kamu masih ada di samping aku dan dengerin semua keluhan aku itu udah sangat membantu banget, Ren. Aku gak tahu harus cerita sama siapa kalau misalnya kamu gak ada. Minimal aku bisa sedikit mengurangi beban pikiran aku kalo udah cerita sama orang.”
“Aku cuma bisa bantunya kayak gitu doang. Uang semester kita terlalu besar dan orang tuaku juga ngumpulinnya dengan susah payah. Tapi aku yakin kok, kamu pasti bisa dapet jalan karena kamu orang baik. Tuhan pasti bantu, percaya deh,” ucap Irene berusaha untuk menghibur sahabatnya itu.
“Iya dulu mendiang mamaku juga sering banget bilang kayak gitu. Makanya aku masih percaya, semoga saja di detik-detik akhir nanti akan ada keajaiban. Thank you ya udah tetap jaga semangat aku.”
Pesanan Irene datang. Wanita muda itu kini segera menyantap makanannya karena milik Joanna sudah hampir habis. Mereka berdua makan sambil sesekali mengobrol santai agar Joanna bisa sedikit melupakan beban hidupnya itu.
Joanna adalah mahasiswa pintar yang ada di kampusnya. Bahkan saat ini dia sedang berencana untuk mengambil skripsi lebih awal agar dia bisa segera lulus dan konsentrasi mencari pekerjaan sebagai penopang hidupnya. Kalau mengandalkan gaji di taman bacaan, itu sangat kurang sekali.
“Jo, aku harus pulang. Aku dipanggil mama aku karena mau minta anter ke rumah tante. Kamu mau pulang sekarang, biar aku anter sekalian,” ucap Irene setelah dia menerima telepon dari mamanya.
“Gak usah, Ren. Kamu pulang aja dulu gak papa, soalnya aku masih pengen di sini. Sekalian nanti nunggu jam kerja aku aja. Lagi males pulang, nanti kalau sendirian malah kepikiran mulu,” jawab Joanna pada temannya itu.
“Beneran nih gak papa?” Irene berusaha untuk memastikan.
/0/5585/coverorgin.jpg?v=cd2bceb62c4a8f9e152855606ed55ab0&imageMogr2/format/webp)
/0/23599/coverorgin.jpg?v=ed918f85207337f1a3fe2e5fd61a4091&imageMogr2/format/webp)
/0/14388/coverorgin.jpg?v=f76b824520df1dc3f3c4ad5364656b2c&imageMogr2/format/webp)
/0/4111/coverorgin.jpg?v=49c8a6f31c26fa66a2a354791239267b&imageMogr2/format/webp)
/0/3562/coverorgin.jpg?v=e9095ec3c4f369b5eec2467e99ec4c04&imageMogr2/format/webp)
/0/6613/coverorgin.jpg?v=f9a5cfff9b5fc80bc6a65a8d6b5f5c77&imageMogr2/format/webp)
/0/6459/coverorgin.jpg?v=4b8547e4549ae8b4a02599d1e689dffd&imageMogr2/format/webp)