/0/24057/coverorgin.jpg?v=fd1094b94f91e88087ae939108913a37&imageMogr2/format/webp)
Detak jantung Clara berpacu seperti genderang perang dalam dadanya, mengalahkan irama lagu lembut yang mengalun dari radio di dapur. Senyum merekah di bibirnya, begitu lebar hingga terasa sakit. Tangannya gemetar saat memegang alat uji kehamilan yang menunjukkan dua garis merah tegas. Positif. Hamil. Kata itu, yang selama delapan tahun hanya menjadi mimpi bisu, kini nyata, bergetar dalam setiap serat tubuhnya.
Selama delapan tahun terakhir, hidup Clara adalah sebuah rahasia. Pernikahannya dengan David, seorang pengusaha muda yang sedang naik daun, dilangsungkan secara diam-diam. Tidak ada pesta megah, tidak ada gaun putih yang menjuntai, hanya sumpah setia di hadapan beberapa saksi terdekat dan wali. David selalu punya seribu alasan mengapa pernikahan mereka harus dirahasiakan. "Ini demi karierku, Clara," katanya dulu, dengan tatapan serius yang selalu berhasil meluluhkan hatinya. "Publik belum siap menerima ini. Aku butuh waktu untuk membangun fondasi yang kuat, lalu kita akan mengumumkan semuanya."
Clara percaya. Ia percaya pada cinta David, pada janji-janji masa depan yang dilukisnya dengan begitu indah. Ia memendam kerinduan akan pengakuan, menelan pil pahit ketika melihat David berinteraksi dengan wanita lain di acara-acara publik, bahkan ketika berita gosip tentang David dan kolega wanita muncul di majalah hiburan. Clara selalu menghibur diri, "Ini hanya bagian dari sandiwara. Sebentar lagi, semua akan berakhir. Sebentar lagi, David akan mengumumkan kita."
Dan kini, dengan dua garis merah itu, Clara merasa saatnya telah tiba. Ini adalah kuncinya, tiketnya menuju kehidupan yang diidamkannya. Seorang anak. Bagaimana mungkin David bisa menyembunyikan seorang anak? Bagaimana mungkin David tidak mengumumkan pernikahan mereka ketika ada buah hati yang akan lahir? Kegembiraan membanjiri dirinya, melenyapkan semua keraguan dan kecemasan yang selama ini bersarang di hatinya. Ia membayangkan wajah David saat diberitahu kabar bahagia ini. Pasti David akan melompat kegirangan, memeluknya erat, dan tanpa ragu, langsung menelepon orang-orang terdekatnya untuk mengumumkan kabar baik ini, sekaligus kabar tentang pernikahan mereka.
David pulang larut malam, seperti biasa. Clara sudah menunggu di ruang tamu, jantungnya berdebar kencang. Ia sudah menyiapkan makan malam favorit David, masakan Italia dengan aroma basil dan tomat yang menggoda. Rumah itu hangat, diterangi lampu temaram yang menciptakan suasana romantis. Clara memakai gaun sederhana namun anggun, rambutnya terurai indah, dan wajahnya berseri-seri. Ia ingin momen ini sempurna.
Ketika David masuk, wajahnya tampak lelah. Ia melepas jasnya, melonggarkan dasinya, dan menghela napas panjang. "Maaf terlambat, Clara. Ada rapat penting."
"Tidak apa-apa, David," jawab Clara, suaranya sedikit bergetar karena antusiasme yang tertahan. "Aku sudah menyiapkan makan malam. Ayo makan dulu."
Selama makan malam, Clara mencoba mencari waktu yang tepat untuk menyampaikan berita besar itu. Namun David terlihat sibuk dengan ponselnya, sesekali menjawab panggilan telepon atau membalas pesan. Perhatiannya terpecah, seolah pikirannya melayang jauh. Clara menelan kekecewaan kecil yang muncul, meyakinkan dirinya bahwa ini hanya kelelahan biasa.
Setelah makan, David beranjak ke ruang kerjanya. Clara mengikutinya, membawa secangkir teh herbal hangat. "David," panggilnya lembut, meletakkan cangkir di meja.
David mendongak dari layar laptopnya. "Ya, Clara?"
"Ada yang ingin aku bicarakan," kata Clara, tangannya meremas ujung gaunnya. Ini dia. Momennya. Ia mengambil napas dalam-dalam. "Aku... aku hamil, David."
Ada jeda hening yang panjang. Detik-detik terasa membeku. Mata David yang semula fokus pada layar, kini menatap Clara. Bukan dengan kegembiraan yang diharapkan Clara, bukan dengan senyuman lebar, melainkan dengan keterkejutan yang samar, lalu diikuti oleh ekspresi tidak percaya yang dingin.
"Apa?" Suara David terdengar datar, nyaris berbisik.
Hati Clara mencelos sedikit, namun ia berusaha menepisnya. Mungkin David terkejut karena ini kabar bahagia yang tak terduga. "Ya, David. Kita akan punya bayi." Senyumnya mengembang lagi, mencoba menularkan kebahagiaannya.
David bangkit dari kursinya, berjalan mendekat. Ia tidak memeluk Clara, tidak menciumnya, seperti yang Clara bayangkan. Ia hanya berdiri di hadapannya, tatapannya menyusuri wajah Clara, lalu beralih ke perutnya. "Bagaimana bisa?" tanyanya, nada suaranya kini sedikit lebih keras, terdengar seperti tuduhan.
Pertanyaan itu membuat Clara membeku. Bagaimana bisa? Apa maksudnya? "Bagaimana bisa? Ya, seperti pasangan pada umumnya, David. Kita menikah..."
"Tidak, bukan itu maksudku!" David memotong, suaranya naik satu oktaf. Ia berbalik, berjalan mondar-mandir di ruangan kecil itu. "Kita sudah sepakat, bukan? Aku sudah bilang, ini bukan waktu yang tepat untuk memiliki anak! Kita sudah membahas ini!"
Clara merasa dunia di sekelilingnya runtuh. Kesepakatan? David tidak pernah menyebutkan "kesepakatan" tentang tidak memiliki anak. David hanya selalu berkata "belum waktunya" untuk mengumumkan pernikahan mereka. Pikiran Clara kacau. "Tapi David... kita sudah menikah delapan tahun. Kapan waktunya akan tiba? Dan ini... ini bukan sesuatu yang bisa direncanakan sepenuhnya. Ini adalah berkah..."
David tiba-tiba berhenti, menatap Clara dengan pandangan tajam yang belum pernah Clara lihat sebelumnya. Ada kemarahan yang membara di matanya, bercampur dengan sesuatu yang lebih gelap, sesuatu yang membuat Clara merinding. "Berkah? Ini adalah bencana, Clara!"
Kata-kata itu menghantam Clara seperti pukulan telak. Napasnya tercekat. "Bencana?" ulangnya, suaranya nyaris tak terdengar. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya.
"Ya! Bencana! Kau tahu seberapa keras aku bekerja untuk membangun perusahaan ini? Seberapa banyak yang harus aku korbankan? Reputasiku sedang dipertaruhkan! Aku akan segera menandatangani kontrak besar dengan investor asing, dan berita tentang pernikahan rahasia... dan sekarang anak? Itu akan menghancurkan segalanya!" David membentak, suaranya memenuhi ruangan.
Clara tidak bisa bernapas. Semua gambaran indah tentang masa depan yang baru saja ia lukis, hancur berkeping-keping di hadapannya. Ia merasa dipermainkan, diinjak-injak. "Jadi... jadi selama ini aku hanya dijadikan pengganti?" bisiknya, suaranya sarat dengan kepedihan. "Pengganti untuk apa, David? Untuk siapa?"
David terdiam sesaat, menghindari tatapan Clara. Ia mengusap wajahnya kasar. "Clara, ini bukan tentang pengganti. Ini tentang prioritas. Aku punya ambisi, aku punya tujuan. Aku sudah menjelaskan ini dari awal!"
"Menjelaskan apa? Menjelaskan bahwa aku adalah rahasia yang harus kau sembunyikan selama delapan tahun? Menjelaskan bahwa aku tidak pernah berarti apa-apa bagimu selain seorang istri bayangan yang bisa kau panggil kapan saja, dan kau singkirkan kapan saja?" Suara Clara naik, air mata mengalir deras di pipinya. Kemarahan mulai membakar hatinya, mengalahkan rasa sakit.
"Jangan drama, Clara!" David mendekat, meraih lengannya. "Mari kita bicarakan ini baik-baik. Kita bisa mencari solusi. Mungkin... mungkin kita bisa..."
Clara menarik lengannya dengan kasar. Ia sudah tidak tahan. Kata-kata David menusuknya, membuatnya muak. Ia menatap David dengan mata merah, penuh kemarahan dan kekecewaan yang mendalam. "Tidak ada lagi yang perlu dibicarakan, David. Tidak ada solusi. Aku sudah muak dengan semua rahasia ini. Aku muak dengan menjadi bayanganmu."
David menatapnya, ada kilatan amarah di matanya. "Jadi, apa maumu, Clara? Mau mengancamku dengan kehamilan itu?"
Kata-kata David seperti percikan api yang menyulut kemarahan Clara. Ia tersenyum getir, senyum yang sama sekali tidak mengandung kebahagiaan. "Mengancam? David, aku hanya ingin hakku. Hak untuk diakui sebagai istrimu. Hak untuk anak ini memiliki seorang ayah yang tidak malu mengakuinya. Tapi sepertinya, itu terlalu besar untukmu." Ia mengambil napas dalam, mengumpulkan sisa-sisa keberaniannya. "Kalau begitu, aku tidak ingin apa-apa lagi darimu."
/0/24998/coverorgin.jpg?v=2c3d3dcb7f9c780c0e23e04109428208&imageMogr2/format/webp)
/0/24351/coverorgin.jpg?v=438a84648b6f816827dd64001b9f281d&imageMogr2/format/webp)
/0/3182/coverorgin.jpg?v=3710f979d753a2aeb47fff0c4fe21681&imageMogr2/format/webp)
/0/21580/coverorgin.jpg?v=af0cab4eb45e24ae39aefd5785fd410f&imageMogr2/format/webp)
/0/21620/coverorgin.jpg?v=0ba7ea487a17f8477be9939ab408a1a8&imageMogr2/format/webp)
/0/21501/coverorgin.jpg?v=4f1cd10b549b3d85f7245193201401c3&imageMogr2/format/webp)
/0/3968/coverorgin.jpg?v=ceb6ecf5c18b901dd17f817d8465961f&imageMogr2/format/webp)
/0/8516/coverorgin.jpg?v=8f090e21d980d15f912bae56538d3c38&imageMogr2/format/webp)
/0/6728/coverorgin.jpg?v=b1f211c73d7187593123f56790072536&imageMogr2/format/webp)
/0/20433/coverorgin.jpg?v=db3f9e27a89789e456713cd4e92c1571&imageMogr2/format/webp)
/0/16941/coverorgin.jpg?v=0287241b7668739a4c72736a78e50339&imageMogr2/format/webp)
/0/5473/coverorgin.jpg?v=7d7f596c03bc4022435fb342953ea158&imageMogr2/format/webp)
/0/10770/coverorgin.jpg?v=143999bee5a72468bd4e014e47a473dc&imageMogr2/format/webp)
/0/19240/coverorgin.jpg?v=4679fe267bf6e8987784fa5d0f19f87c&imageMogr2/format/webp)
/0/30216/coverorgin.jpg?v=ce8a760e55a193f7e3b71672332814fe&imageMogr2/format/webp)
/0/6503/coverorgin.jpg?v=afda2728b97c81c32c6edc17c36624a5&imageMogr2/format/webp)
/0/12958/coverorgin.jpg?v=df000eef1180bfb9c3f5e6c3d9f48a7f&imageMogr2/format/webp)
/0/17793/coverorgin.jpg?v=19b7910aa91f26057a6eb35324491ccc&imageMogr2/format/webp)
/0/30070/coverorgin.jpg?v=1d516568456b2592bd713a426b3b7b30&imageMogr2/format/webp)