Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Gairah Liar Pembantu Lugu
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Istri Sang CEO yang Melarikan Diri
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Sang Pemuas
Siska Ramadhani menatap pemandangan malam Jakarta dari lantai atas gedung perancangannya, sebuah bangunan modern yang menjulang tinggi, berkilau dengan lampu neon di sekelilingnya. Kota yang dulu terasa sesak dan penuh dengan kenangan buruk itu kini seperti dunia yang sama sekali berbeda baginya. Tapi, seberapa pun jauh langkahnya melangkah, bayang-bayang masa lalu tetap saja mengikuti. Seperti malam itu, ketika angin sepoi-sepoi membelai wajahnya dengan kehangatan yang aneh, seolah-olah mengingatkannya pada segala yang telah dia lewati.
Dia memutar tubuhnya, membelakangi jendela besar itu, dan berjalan kembali ke ruang kerja yang sekarang terasa seperti rumah sejati. Di dinding-dindingnya, terpasang berbagai penghargaan dan foto-foto koleksi yang memantulkan kesuksesan yang telah dia raih. Setiap helai kain yang dipilih, setiap jahitan yang diatur dengan teliti, dan setiap desain yang dicetak di atas kertas sketsa adalah bukti bahwa dia telah meninggalkan semua yang dulu mengikatnya, termasuk Rafael.
Siska duduk di kursi kulit hitam yang empuk, menggenggam secangkir kopi panas yang hampir tak terasa di tangannya. Aroma kopi itu, meskipun menenangkan, mengingatkannya pada malam-malam di rumah yang dulu mereka huni bersama, di mana dia duduk di sisi Rafael yang sedang membaca, tangannya dilingkarkan di pinggang Siska dengan lembut, seolah-olah ada yang bisa menghalangi mereka untuk tetap bersama.
Tapi hidup bukan hanya tentang kenangan yang indah. Hidup, katanya, adalah tentang bagaimana seseorang bertahan dalam badai dan menemukan jalan keluar di sisi lain. Siska tidak hanya bertahan, tetapi dia juga tumbuh. Kegigihannya menuntun pada pencapaian yang luar biasa, di mana kini dia berdiri di atas puncak dunia yang telah dia bangun. Terkadang, di tengah kesuksesan itu, dia ingin berhenti sejenak, menoleh ke belakang, dan memastikan bahwa setiap luka di hati telah sembuh, bahwa setiap rasa takut telah ditaklukkan.
Suara pintu yang terbuka dengan lembut membuatnya menoleh. Seorang asisten muda dengan rambut yang diikat rapi masuk ke ruangan, memegang setumpuk berkas. Wajahnya cerah, dan senyumnya mengisyaratkan energi yang tidak terputus. Siska tidak bisa tidak tersenyum kecil melihatnya.
"Semua sudah siap untuk peluncuran malam ini, Nona Siska," kata asisten itu, sebut saja Rina, dengan semangat yang memancar di setiap kata.
"Terima kasih, Rina. Aku hanya ingin memastikan semuanya sempurna. Ini adalah malam yang penting," jawab Siska, suaranya menegaskan keyakinannya. Dia memindahkan pandangannya ke berkas-berkas di tangan Rina, lalu sejenak kembali berpikir tentang keputusan yang dia buat, tentang langkah-langkah yang membawanya ke titik ini.
Rina mengangguk, lalu berjalan menuju meja di sisi ruangan untuk menempatkan dokumen-dokumen tersebut. Siska berdiri, melangkah mendekat, dan memeriksa selembar undangan eksklusif yang didesain dengan tangan, dihiasi motif bunga dan aksen emas. Peluncuran koleksi terbarunya akan dihadiri oleh para tamu terhormat dari kalangan fashion, selebriti, hingga investor ternama. Malam itu, Siska akan sekali lagi menjadi sorotan, membuktikan bahwa dia mampu membangun dunia yang diimpikannya tanpa bantuan siapa pun.
Tiba-tiba, suara ketukan pintu kembali membuatnya terjaga. Rina melirik ke arah pintu, kemudian kembali menatap Siska dengan tatapan yang sulit diartikan. "Ada tamu istimewa yang ingin bertemu denganmu, Nona Siska," katanya, dengan nada yang jauh lebih serius.
Siska mengerutkan kening. Siapa yang begitu penting hingga mengganggu persiapannya? "Tamu? Siapa?"
"Rafael Prabowo."
Siska merasa seolah-olah dinding di sekeliling ruangan itu mendekat, mengepungnya dengan kenyataan yang sama sekali tak terduga. Nama itu meluncur dari bibir Rina seperti sebuah petir yang membelah langit malam, meninggalkan jejak yang membekas di langit-langit pikirannya. Rafael. Pria itu, yang selama ini hanya ada di halaman-halaman kenangan, tiba-tiba muncul kembali di dunia yang telah ia ciptakan. Siska memalingkan pandangannya ke jendela besar, menatap langit malam yang pekat dengan lampu kota yang menyala. Tidak, ini tidak mungkin. Seharusnya Rafael hanya menjadi bayangan yang menghilang seiring waktu.
Rina melanjutkan, "Dia ingin berbicara denganmu. Aku sudah memberitahunya bahwa kau sedang sibuk, tetapi..."
Siska mengangkat tangannya, menghentikan kata-kata Rina sebelum melanjutkan. Matanya bertemu dengan mata asisten itu, yang tampak penuh dengan rasa ingin tahu. "Biarkan dia masuk," Siska berkata, suaranya tidak lebih dari bisikan.