/0/17910/coverorgin.jpg?v=3990dd583fb4dc94a1b14b2ec024bccb&imageMogr2/format/webp)
Aku tidak tahu apa salah hingga masih belum mendapat jodoh di usiaku yang lebih dari seperempat abad. Randi bukanlah cowok pertama yang mengisi hatiku. Ada Beni saat SMA, Ramon saat awal kuliah dan terakhir Randi. Mereka semua memutuskan sepihak hubungan kami tanpa alasan yang jelas.
"Kamu sih, Sa! Cowok mana yang tahan pacaran lama tapi nggak dapet apa-apa," cecar Dina, sahabatku sejak SMA.
Aku mengalihkan pandangan dari novel ke wajah cuek Dina. Masih mencoba mencerna kata-katanya, akhirnya aku bertanya, "Maksud kamu?"
"Masa nggak ngerti, sih! Kamu inget-inget, deh. Beni, Ramon, dan Randi punya alasan yang sama waktu mereka mutusin kamu. Nggak cocok! Padahal karena kamu menghindari kontak fisik dalam bentuk apa pun. Boro-boro cium, gandengan tangan aja kamu nolak." Aku tercengang mendengar kata-kata Dina yang tak masuk akal. Meski dalam hati, aku mengiyakan asumsinya itu.
"Apa pacaran itu harus begitu? Pacaran buatku tujuannya cuma satu, menikah. Toh nanti saat sudah sah, mau ngapain aja bebas, ‘kan?"
"Hadeeeh ... susah deh, kalau ngomong sama cewek satu ini! Jones!" Dina menoyor kepalaku yang mendapat sambutan bogem mentah.
Kami asyik berbalas pukulan bantal di kasur rumahku sambil tertawa. Begitulah Dina, sahabat yang selalu bisa mengembalikan keceriaanku. Setiap kali putus, Dina tak pernah membiarkanku larut dalam kesedihan. Motto hidupnya adalah 'Always be happy'. Aneh, menurutku.
Tiba-tiba terdengar suara ketukan dari luar kamar. Pemuda berusia sekitar dua puluhan akhir melonggokkan kepalanya setelah mendapat izin.
"Dek, disuruh turun sama Ibu! Makan dulu, biar kuat ntar buat nangis lagi," ejek Raihan disertai tawa yang mempertontonkan sederet gigi putih dan rapi. Dua lesung pipi manis menghiasi wajahnya yang bulat.
"Apaan sih, Kakak! Demen banget lihat adeknya nangis," rajukku sambil melempar sebuah bantal ke arah pintu. Secepat kilat Raihan menutup pintu, menghindar dari amukanku.
"Kalian lucu, ya!" kata Dina yang sedari tadi memperhatikan keakraban kami.
"Apanya yang lucu? Kesel, iya! Udah jarang pulang ke rumah eh sekalinya pulang demen banget bikin onar."
Aku tak menangkap perubahan sikap Dina tadi, sebelum dia bertanya, "Kakakmu udah ada calon belum, Sa?"
"Kamu naksir, ya?" tanyaku penuh selidik.
Seketika wajahnya memerah. Aku merasa ada yang aneh di hatiku saat melihat anggukan kepala Dina.
"Kamu mau nggak comblangin aku sama Kak Raihan?"
"Aku ...." Jawabanku menggantung, terputus oleh teriakan Ibu dari ruang makan. Kami bergegas keluar menuju sumber suara sebelum teriakannya semakin kencang.
***
"Menurut Kakak, Dina cantik nggak?" tanyaku ragu.
Kami sedang duduk di teras belakang rumah, memandangi puluhan ikan Koi peninggalan Ayah. Semasa hidupnya, beliau sangat menyukai ikan-ikan cantik itu. Setelah kepergiannya setengah tahun yang lalu, Kak Raihan dan Ibu yang rajin mengurusnya.
"Cantik," kata Raihan kemudian memandang ke arahku, "tapi Kakak sudah punya calon istri. Jadi, jangan coba-coba comblangin Kakak ke Dina. Oke!"
"Siapa? Kok aku nggak tahu?"
"Kamu kan emang nggak pernah perhatian sama kakakmu ini. Salah sendiri deh kalau kamu sekarang bakal nggak bisa tidur saking penasarannya."
Raihan pergi dengan rahasianya. Aku hanya mendengus kesal melihat tingkah pria aneh di rumah ini.
***
Pagi ini aku hanya mengaduk-aduk sarapan, rasanya malas berangkat kerja. Di sana pasti ada Dina yang sudah harap-harap cemas menanti hasil comblanganku semalam. Rasanya tak tega kalau harus mengatakan Kak Raihan sudah ada yang punya.
/0/5566/coverorgin.jpg?v=eda28ddf2e54c902b5f48eb306270d51&imageMogr2/format/webp)
/0/2354/coverorgin.jpg?v=68083db55120801dd4a1daf89d10da2c&imageMogr2/format/webp)
/0/7569/coverorgin.jpg?v=bb66f6372061bc3eb633cdfa753c6705&imageMogr2/format/webp)
/0/19895/coverorgin.jpg?v=5e840bae310c98e175eccd9ddc21a2a3&imageMogr2/format/webp)
/0/14650/coverorgin.jpg?v=dbc5a59a7a20cce61253f607a304874f&imageMogr2/format/webp)
/0/10056/coverorgin.jpg?v=cb813d8920d599ee124d3e5a3aef71fa&imageMogr2/format/webp)
/0/14599/coverorgin.jpg?v=846c041a05a75fa3ac2960e72be51fe1&imageMogr2/format/webp)
/0/6826/coverorgin.jpg?v=4ce79a0298017204174ec02704e3f198&imageMogr2/format/webp)
/0/2765/coverorgin.jpg?v=73c87851898f3527cba598cd0d6fce68&imageMogr2/format/webp)
/0/5332/coverorgin.jpg?v=af9356c8a7be30b3b214b392913c743b&imageMogr2/format/webp)
/0/4508/coverorgin.jpg?v=3f1d61d85694c58aa544c0c81f79d567&imageMogr2/format/webp)
/0/4094/coverorgin.jpg?v=fdd247ab793375dbb7aef70f0a98278f&imageMogr2/format/webp)
/0/13326/coverorgin.jpg?v=89ec56177235baca29bbfafe75b849b2&imageMogr2/format/webp)
/0/16534/coverorgin.jpg?v=9783fb74ab4a42df0093da2e0e29ff1f&imageMogr2/format/webp)
/0/5970/coverorgin.jpg?v=7a49b765355b28e13ac49333be69abdb&imageMogr2/format/webp)
/0/18149/coverorgin.jpg?v=ce5e371452e62983befb8ab77b2a6654&imageMogr2/format/webp)
/0/10495/coverorgin.jpg?v=1449a8daae9332c4a6702c057be900f7&imageMogr2/format/webp)
/0/16004/coverorgin.jpg?v=6ff6a05fa13e34e8c328a79be51aea13&imageMogr2/format/webp)
/0/20364/coverorgin.jpg?v=60cce906eb063103581e7133cb34449c&imageMogr2/format/webp)