Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
Sekarang aku sudah tak berdaya. Duduk di kursi roda dengan tangan yang aku tumpangkan di kedua lututku. Jalan aku tak bisa, berdiri pun aku kesusahan karena badanku yang sudah bongkok.
Usiaku kini sudah menginjak di angka tujuh puluh tahun. Usia yang yang sudah rentan dengan berbagai penyakit. Sedangkan suamiku, ia sudah meninggal beberapa tahun lalu tepat setelah menyaksikan acara wisudanya Hilda anak sulung kami.
Seandainya aku ingin makan, maka akan kupanggil anakku Hida, ia akan berjalan gesit mengambil sebuah piring berisi nasi lembek. Dengan telaten, ia akan menyuapiku sesendok demi sesendok.
Hilda adalah anak sulungku. Ia berbeda sendiri dari kedua adiknya, Risa dan Angga. Kalau sekarang kedua adiknya itu sudah berumah tangga dan di karuniai buah hati, justru Hilda hanya hidup berdua saja denganku. Dengan seorang Ibu yang sudah renta, yang mandi saja harus di mandikan, buang air besar pun tak bisa sendiri, semua yang aku lakukan harus dengan bantuan anakku Hilda.
Saat ini, Hilda genap berusia empat puluh lima tahun. Usia yang sudah pantas mempunyai tiga atau empat anak. Namun itu tak terjadi, dan semua karena aku, Ibunya yang tak berguna ini.
Di antara ketiga anakku, Hildalah yang paling pintar. Saat ia masih duduk di bangku sekolah, ia selalu mendapat juara kelas dan sudah beberapa kali menjuarai olimpiade matematika tingkat propinsi. Rasa bangga ini menyeruak begitu saja dalam hatiku. Hildaku mendapatkan beasiswa sampai ia lulus S2 di salah satu universitas negri ternama di ibukota. Dan kini, ia sekarang telah menjadi dosen, tentunya, di salah satu universitas yang paling berkelas.
Beberapa tahun lalu
"Mak, usiaku sudah dua puluh enam tahun sekarang, mungkin saat ini aku sudah pantas untuk menikah," ujar Hilda pada suatu siang, di saat kami sedang menikmati makan siang bersama.
"Memangnya, siapa yang akan melamarmu?" tanyaku penasaran.
"Mas Arif, Mak, ia berasal dari Madiun," jawab Hilda.
"Apa pekerjaannya?"
"Ia seorang pegawai di tokonya Pak Hasan," jawab Hilda sambil menunduk, seperti sedang menghitung lantai rumah kami.
"Apa? Jadi kamu akan di lamar oleh seorang pegawai toko? Kamu mau mempermalukan Ibumu heh? Apa kata orang jika mereka tahu kalau seorang dosen pintar seperti kamu menikah dengan gembel?" Ketusku pedas.
Hilda menangis pilu disaksikan oleh kedua adiknya. Acara makan siang pun terasa hambar.
"Tapi ia orang baik, Mak,"
"Terserah kamu! Dibilangin orangtua kok ngeyel, pokoknya Emak tak setuju kalau kamu menikah dengan Arif!" Tekanku. Aku berdiri dan langsung berjalan menuju kamarku. Aku tak jadi melanjutkan makan siangku, sudah tak berselera lagi!
"Maunya Emak ini gimana, Mak? Waktu aku mau di lamar Mas Rido Emak nggak setuju juga," Hilda membuntutiku dari belakang, duduk di pinggir ranjang kamarku.
"Masa kamu nggak ngerti kemauan, Emak? Emak hanya ingin kamu menikah dengan orang terpandang dan berpendidikan tinggi, minimal ia punya gelar S2 dan satu kerjaan dengan kamu, bukan gembel kayak si Arif dan si Rido!" Aku mendengus kesal. Mata Hilda berkaca-kaca, ia tak mampu menyembunyikan air matanya di hadapanku. Untuk kedua kalinya, ia putus dengan kekasihnya akibat tak mendapat restu dariku, dari Ibu yang tak berguna!
Di usia Hilda yang ke tiga puluh tahun, seorang laki-laki datang melamar ke rumahku. Kutanya pekerjaannya dan ia hanya seorang buruh di perusahaan industri rumahan. Sama saja, ia tak masuk pada kriteria lelaki yang boleh menikahi Hilda anakku.
Di usia Hilda yang ke tiga puluh lima tahun, Risa adiknya Hilda menikah dengan seorang lelaki yang berasal dari kalangan menengah ke bawah. Tapi tak mengapa, karena memang mereka sepadan, Risa hanya lulusan SMU dan sekarang bekerja menjadi tukang cuci piring di rumah makan. Bukannya aku tak mau menyekolahkan Risa sampai ke bangku kuliah, namun otak Risa tak sepintar kakaknya, jadi kupikir buat apa kuliah kalau hanya membenaniku dengan biaya perkuliahan.