/0/13690/coverorgin.jpg?v=34d407bff7def1b62c3b6d9da1a2d824&imageMogr2/format/webp)
Dicari seorang suami
Membutuhkan seorang pria sehat dengan umur berapa saja.
Bersedia mencari nafkah dan berbagi tempat tinggal.
Temui Camelia, di perkebunan ujung—
Dia melihat catatan yang dia salin. Meski Jean tahu bahwa wanita yang disebut sebagai janda gila itu barangkali belum tentu mau menerimanya. Tapi paling tidak Jean ingin sedikit lebih berusaha untuk membuat kesan yang cukup baik pada pandangan pertama. Setidaknya dia diberi kesempatan untuk dipertimbangkan sebelum langsung dibuang begitu saja seperti sampah tak layak lantaran dirinya hanyalah seorang mantan narapidana.
Dia sudah berada di lokasi yang sesuai dengan salinan catatannya, dan sekarang pria itu malah diam memandangi rumah kecil yang termaram dengan lampu minyak seadanya. Tempat itu, bukan sebuah rumah megah yang dia bayangkan layaknya rumah sang tuan tanah ditempat dimana Jena dulu pernah bekerja. Rumahnya benar-benar sangat berantakan. Kotoran ayam tercecer disembarang tempat, timbunan rongsokan yang berkarat, dan rumput liar yang menjulang tinggi membuat penampilan rumah itu jauh dari kaya layak huni. Bahkan tidak jauh dari sana ada seekor sapi yang sedang mengunyah rumput yang diletakan dibagian beranda belakang rumah. Kandangnya nyaris roboh karena kayu yang lapuk. Apa benar ini tempatnya?
Niatan hatinya untuk melanjutkan ini sedikit gamang, tapi pada akhirnya pria itu memilih untuk menunggu setelah mengetuk sekali.
Tak lama seorang wanita muncul dari balik ambang pintu, dia terlihat menggendong seorang anak berusia dua tahun di pinggulnya tapi yang menarik adalah warna rambut anaknya berwarna pirang dan bermata biru. Tidak seperti si wanita yang benar-benar cantik sederhana seperti wanita pasundan pada umumnya. Wanita itu bertelanjang kaki, mengenakan kain sarung yang sudah memudar dengan kelinan ujungnya yang telah terlepas, kebaya yang dia kenakan sesungguhnya berwarna putih tapi agak kuning di beberapa sisi barangkali karena air yang dia gunakan untuk membasuh. Intinya seluruh penampilannya sama berantakan dengan rumah dan juga pekarangannya.
“Ada yang bisa saya bantu?” tanya wanita itu dengan suara datar dan begitu hati-hati seraya mengamati pria muda tinggi bertopi lusuh yang berdiri di depan pintu rumahnya.
“Saya mencari rumah seorang mantan nyai bernama Camelia.”
“Kamu sudah menemukannya.”
“Saya datang setelah melihat selebaran yang di tempel di perkampungan.”
Wanita berambut hitam tersebut mengangkat bayinya lebih tinggi dipinggul. Dia menyipitkan mata agar semakin jelas melihat kearah Jean. Dari gerak geriknya seperti wanita itu sedang berusaha menjaga jarak dari orang asing yang tiba-tiba mendatangi rumahnya dan itu adalah hal yang wajar sekali.
Lagipula jika dilihat baik-baik penampilan Jean memang jauh dari kata pertimbangan dan mencurigakan. Mengenakan topi lusuh yang dia gunakan menutupi warna rambutnya, dengan kemeja lusuh yang penuh keringat serta celana hitam yang kependekan beberapa inchi sehingga terlihat menggantung di kakinya yang jenjang, di padukan dengan sepatu bot-nya yang sudah koyak.
Kokokan ayam yang melompat mendapat pengabaian. Wanita itu kemudian menaruh bayi yang dia gendong agar berdiri bersembunyi di balik rok sarungnya.
“Kamu berniat melamar saya?” tanya si wanita yang namanya tertulis dikoran sebagai Camelia. Dia terlihat sangat terang-terangan dengan senyuman polos diwajahnya. Dia memang membutuhkan seorang patner untuk bekerja mengurus beberapa hal yang telah kacau semenjak suaminya meninggal, juga menjaga dia dan bayi yang berada di dalam kandungannya. Perkawinan romantis seperti kisah romansa klasik penuh cinta bagi Camelia hanya ada di dalam negeri dongeng.
“Ya, saya rasa begitu.”
“Tapi saya mencari seorang seseorang yang siap dan bertanggung jawab penuh.”
“Saya siap.”
/0/15238/coverorgin.jpg?v=1dac1a6c774684bbc17c5ec8f0f79ab8&imageMogr2/format/webp)