Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Kecemerlangan Tak Terbelenggu: Menangkap Mata Sang CEO
Kasih Sayang Terselubung: Istri Sang CEO Adalah Aku
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Dikejar Oleh Sang Miliarder
Mantanku yang Berhati Dingin Menuntut Pernikahan
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Jangan Main-Main Dengan Dia
Kembalinya Mantan Istriku yang Luar Biasa
"Nduk menjadi seorang wanita itu harus kuat dan bisa menjaga diri, karena seorang wanita itu akan selalu menjadi sasaran fitnah dunia, jika masih gadis ia harus bisa menjaga kehormatan kedua orang tua terutama ayahnya, dan bila sudah berstatus sebagai istri maka suami adalah pakaiannya. Jadi, di mana ia berpijak, wanita akan membawa beban berat yang harus ia pikul setiap saat. Laki-laki pun demikian, memiliki tanggung jawab yang sangat besar, seorang laki-laki tidak akan bisa masuk surga sebelum mampu menjaga 3 wanita dalam hidupnya, ibu yang melahirkannya, istri, dan anak perempuannya. Menjaga dalam hal agama, jika seorang anak perempuan ke luar rumah tanpa menutup aurat maka semakin dekat pula ayahnya memasuki pintu neraka."
"Ayo Kayla keburu malam, nanti ibu kamu khawatir! apalagi pacarmu Rendy tadi bilang nitip kamu ke aku kan!" rengek Faza yang berhasil membuyarkan lamunanku. Begitulah Kak Rendy seperti radar yang selalu mengikuti keberadaanku jika sedang tak bersamanya, dia tidak akan segan-segan menelpon siapa pun orang yang sedang bersamaku.
"Iya, ayo pulang, dasar cerewet," jawabku dengan santai sambil membereskan mukena lalu menaruh di tempat semula. Baru saja aku mengikat salah satu tali sepatuku tiba-tiba sebuah suara menyapa, seketika hatiku berdesir karena mengenali pemilik suara itu. Suara yang masih sering kurindukan selama tiga tahun terakhir.
Deg deg deg... Jantungku berpacu lebih cepat, suara itu terdengar sangat nyata, aku tidak berani mengangkat kepala. Pandanganku hanya tertuju pada sepasang sepatu sport putih tepat di hadapanku.
"Hallo Kayla, apa kabar?" Suara itu kembali memecah lamunanku. Kepalaku masih tertunduk kaku, memainkan tali sepatu yang memang sudah rapi untuk mengulur waktu agar segera tersadar dari halusinasiku.
"Kayla, kamu ini ya dari tadi ngikat sepatu nggak kelar-kelar sih!" Suara kesal Faza menyadarkanku meskipun hanya kuanggap angin lalu.
"Bismillah!" kuucap dalam hati sambil mencoba mereda detak jantungku yang memberotak, aku bahkan bisa mendengar detak keras jantungku sendiri atau mungkin saja Faza dan laki-laki di depanku juga mendengarnya, tapi aku tak peduli, jika benar laki-laki itu adalah Kak Gibran maka menghilang adalah pilihan terbaik saat ini.
Kuangkat kepalaku perlahan sembari mencubit lenganku sendiri, "au," lirihku saat netra kami bertemu. Dia nyata, laki-laki di depanku adalah Kak Gibran, laki-laki yang mengajarkanku tentang rasa cinta dan kecewa secara bersamaan.
"Kay siapa cowok ganteng ini?" bisik Faza sambil mencubit lenganku yang masih membeku, seketika dunia yang kupijak seolah terhenti berputar.
Aku berdeham untuk membunuh kebekuan sekaligus rasa canggungku. Kulirik Faza yang sedang terpesona dengan rupa elok Kak Gibran, sama persis sepertiku ketika pertama kali berkenalan dengannya dulu, tidak bisa kupingkiri seolah ada magnet kuat yang menghisapku masuk ke dalam pesonanya. Siapan pun yang melihatnya pasti bisa menebak dia bukan asli orang Jawa Timuran, kulitnya putih bersih, hidung bangir, wajah baby face, serta senyum ramah yang selalu ia berikan keada orang yang dikenalnya.
Aku segera memutus kontak mata kami lalu mengalihkan pandangan ke arah lain. Aku takut kalah dan terjebak kembali dalam cintanya karena kini ada hati yang harus aku jaga.
"Lama nggak bertemu, kamu sekarang terlihat lebih dewasa dan cantik!" pujinya yang seketika membuat wajahku merona.
"Makasih Kak, kakak gimana kabarnya?" Balasku tanpa berani memandang wajahnya.
"Alhamdulillah baik," balasku kembali dengan singkat sembari memberanikan diri menatapnya.
Deg. "Aduh... senyum itu." Sadar Kayla, rutukku dalam hati.
"Maaf Kak aku buru-buru pulang," jawabku memotong pembicaraan karena aku sudah tidak tahan berlama-lama berdekatan dengannya.
"Ok, aku minta nomor WhatsApp kamu, nanti malam aku hubungi!" sahutnya masih menatapku lekat.
"Ta tapi Kak!" ucapku dengan terbata.
"Mbak aku boleh minta nomor WhatsApp Kayla?" Ucapnya pada Faza karena aku masih terdiam Kak Gibran langsung memintanya ke Faza yang sedari tadi berada di sampingku.
"Ini!" Faza menyodorkan ponselnya pada Kak Gibran dan dia segera menyimpan nomor WhatsApp_ku.
Aku tersenyum padanya sambil menarik tangan Faza meninggalkan Kak Gibran menuju ke arah parkiran masjid.
"Ayo buruan cabut!" Perintahku pada Faza yang kini telah duduk di hadapanku.