Benar kata orang, menjadi anak pertama perempuan itu berat, sangat berat. Karena kendala ekonomi, aku hanya mengenyam pendidikan kelas satu SD, sekadar bisa membaca meskipun tak terlalu lanyah dan menulis, meskipun sangat jelek; lantas keluar, membantu Bapak membuat sapu ijuk dan tali tampar. Adikku ada empat. Diusia 18 tahun aku menjadi TKI di Malaysia karena terlalu tak tega melihat kesengsaraan keluargaku.
Tahun 2018
[Lasmi, bulan ini transfer lebih banyak. Kasihan adik-adikmu, jarang makan enak.]
Aku tersenyum miris membaca pesan dari Ibu. Menarik napas dalam-dalam sebelum mengembuskan perlahan. Kembali tersenyum, kuirarkan, demi bakti. Ibu wanita hebat, dia yang telah melahirkanku mempertaruhkan nyawa.
[Iya, Bu.]
Namaku Lasmi. Benar kata orang, menjadi anak pertama perempuan itu berat, sangat berat. Karena kendala ekonomi, aku hanya mengenyam pendidikan kelas satu SD, sekadar bisa membaca meskipun tak terlalu lanyah dan menulis, meskipun sangat jelek; lantas keluar, membantu Bapak membuat sapu ijuk dan tali tampar. Ibuku hanya Ibu Rumah Tangga. Adikku ada empat. Diusia 18 tahun aku menjadi TKI di Malaysia karena terlalu tak tega melihat kesengsaraan keluargaku, terutama Bapak yang mulai sakit-sakitan karena terlalu keras bekerja.
Aku menjadi TKI sudah delapan belas tahun. Sebenarnya tahun depan aku berencana pulang, lelah sekali merantau mengadu nasib di negeri orang meskipun terlanjur nyaman memiliki bos yang baik hati. Namun, dengan tegas Ibu melarang, katanya, kalau aku pulang, siapa yang akan membantu ekonomi keluarga. Seminggu lalu aku memperpanjang kontrak untuk terus bekerja di sini. Meskipun hanya seorang pembantu, mereka memperlakukanku cukup baik.
[Hari ini, ya.]
Aku yang hendak melanjutkan pekerjaan menyapu kembali terhenti saat handphone berbunyi. Mengetuk notifikasi pesan melayang di layar beranda.
Lagi, aku tersenyum miris. Ibu tidak pernah lupa tanggalku gajian. Bukannya tidak ikhlas, hanya saja, tidak bisakah terlebih dahulu menanyakan kabarku? Atau sekadar menanyakan sudah makan apa belum. Ah, mungkin Ibu tak melakukan hal itu karena tak tahu bagaimana di sini aku bekerja, diperas energiku bagaikan sapi perah. Oke, Bosku memang baik, sangat baik, tapi tetaplah, aku hanya pembantu di sini. Karena mereka membayarku cukup mahal, lima juta rupiah, jadi sangat pantas mereka mempekerjakan layaknya sapi perah yang dikembangbiakkan secara khusus karena kemampuannya dalam menghasilkan susu dalam jumlah besar.
[Nanti Bu. Aku belum digaji.]
Belum sempat handphone kusimpan dalam saku, Ibu sudah lebih dulu mengirim balasan.
[Iya pokoknya kalau sudah digaji langsung kirim. Biar orang rumah bisa secepatnya makan enak.]
[Ingat, jangan foya-foya di sana. Yang di sini juga butuh biaya.]
Bersambung ....