Menceritakan seorang wanita berhijab yang membasmi sekte yang ada di desanya di bantu dengan tiga temannya ahli dalam agama dan apakah mereka bisa membasmi sekte itu atau tidak.
Kami berlima terdiam atas kematian sahabat kami yang tiba-tiba meninggal secara misterius dan menatap tajam orang tua mereka. Semua orang sudah pulang ke rumah masing-masing, kami menatap lirih makam dan aku merasa hawa sangat tidak baik.
"Merabela, lebih baik kita pergi dan ada yang harus ku omongkan dengan kalian," ujar perempuan temanku yang bertubuh tinggi.
Kami mengangguk lalu pergi dan mandi. Langsung berkumpul di camps sambil menatap Sena perempuan bertubuh tinggi itu.
"Aku mendengar suara dia yang meminta tolong dengan nada lirih seakan dia bukan di siksa dari neraka tapi ..." ucapan Sena terhenti dan menatap kami berempat.
"Jangan bilang dia di tumbalkan?" jawab Radit.
"Kemungkinan, Arwah dia di bawa dan dia meminta tolong kepada kita berlima. Apakah orang tuanya dalangnya atau ada orang lain?" tanya Sena namun kami terdiam.
"Dia tidak ada musuh tapi, lebih baik kita selidiki terlebih dahulu jangan memfitnah seseorang," ujar Via yang memberi tau resiko jika gegabah.
"Benar, apa yang di katakan, Via. Kita cari tau dan membagi kelompok untuk mencari informasi," saut Bahri dan kami mengangguk.
"Aku tetangganya jadi aku akan langsung ke orang tua mereka dan kalian cari informasi tentang kejanggalan kematian Murti," ujarku dan di anggukki oleh mereka.
Kami langsung pergi untuk mencari tau, aku ada di depan rumah Murti namun aku urungkan niatku karena hawa di sana sangat tidak bagus dan aku mengucapkan salam kepada orang tuaku yang sedang menonton tv.
"Berhati-hatilah jika ingin mencari tau hal itu, Nak," ujar ayahku yang menatapku.
"Murti menjadi tumbal untuk seseorang, Nak. Jadi, kau harus berhati-hati jangan sampai kau juga dan bersama temanmu itu," tegas ibuku.
"Perbanyak ibadah dan kuatkan imanmu, Nak. Karena kita juga bisa menjadi incaran keluarga itu dan pakai selalu tasbih itu di lengan kananmu, Nak," ujar ayahku dengan nada sangat tegas.
"Baik, Ibu dan Ayah. Aku akan berhati-hati dan terimakasih informasinya," ujarku yang langsung masuk ke kamarku.
"Untuk ... Seseorang?" gumamku dan memberikan informasi lewat grup.
Aku merasa frustasi saat tidak mendapatkan jawaban yang tepat dan perlahan mataku mengantuk. Langsung tertidur pulas dan terbangun karena terkejut.
"Astaghfirullah, apaan tadi?" ujarku yang terkejut dari mimpi itu dan melihat jam tiga sore.
Langsung mandi dan sholat saat adzan ashar berkumandang. Setelahnya memberi pesan untuk berkumpul di camps dan aku menunggu mereka datang. Menceritakan tentang mimpi anehku yang bermimpi tentang bunga mawar hitam terbakar di iringi asap dan perkataan lirih dari Murti. Mereka terdiam dan aku terkejut atas perkataan mereka.
"Kami pun sama," ujar mereka bersamaan.
"Aku mimpi hal yang lain juga yaitu gambar pemuja iblis di tanah dan bunga mawar hitam yang terbakar di tengahnya," ujar Sena.
"Kau indigo, coba lacak dia dimana dengan bantuan teman ghaib mu," ujar Radit.
"Huh, dia tidak mau dan berkata itu sangat berbahaya. Aku sudah bilang apakah itu masalah serius lalu siapa dalangnya dan jawaban dia hanya terdiam," ujar Sena dengan nada lesu.
"Merabella, hijabmu kenapa selalu hitam?" tanya Via yang penasaran.
"Aku menyukainya tapi, kenapa kau bertanya seperti itu dan seperti bukan dirimu," heranku dan benar saja Sena menepuk pundaknya Via.
"Nyaneh naha nempel ka babaturan urang, awas bae nyaneh sekali deui nempel ke babaturan urang, ku aing di piceun ka kebon! ( Kenapa kau menempel kepada temanku, awas saja sekali lagi kamu menempel kepada temanku, ku buang ke kebun!) " kesal Sena dan kami terdiam karena tau.
"Merabella, ada yang ingin kau sampaikan?" ujar Sena yang menatapku dan aku mengangguk.
Aku hendak menanyakan sesuatu kepada Sena tentang hijab tadi tapi dia seakan mengalihkan sesuatu dan aku menceritakan yang orang tuaku ucapkan tadi. Mereka terdiam membisu bahkan Via merasa hawa amarah yang sangat besar.
"CING CICING ATUH NYANEH TEH! URANG GE SEWOT SARUA WAE JEUNG NYANEH,( Diam bisa tidak kamu itu, aku juga sama emosi sepertimu)" teriak Sena dan kami hanya tertawa dikit.
"Wajar dia marah Sena, aku punya informasi dari ayahku," ujar Bahri si anak ustadz.
Kami terdiam atas pembicaraan Bahri dan menetap Bahri seakan semuanya itu sangat di luar nalar. Sena menanggapi pembicaraan Bahri hingga dimana Sena memukul sofa dengan kesal.
"Iblis apa sih?" ujar Sena yang lumayan penasaran.
"Aku tidak tau tapi yang justru roh dia di tahan sama dia dan bisa jadi orang tuanya dalang dari ini," ujar Bahri.
"Ayahku bilang, jangan gegabah dalam hal seperti ini dan dia memberikanku gelang dari pengajian di sunan Ampel," ujar Bahri menunjukkan gelang tahbih.
"Orang tuaku juga sama," ujarku.
"Kita cari di infomasi ibu-ibu tapi ingat jangan ikut ghibah, DOSA!" tekanku di akhir kalimat dan kami pulang saat adzan Maghrib tiba.
Kami sholat setelah sholat kami langsung ngaji di masjid yang telah di isi oleh beberapa anak kecil yang mengaji ke ustadz dan kami membaca ke kiai. Jam berlalu hingga sholat isya tiba dan kami masih berbicara dengan kiai saat kiai selesai dzikir.
"Kiai, kami boleh bertanya sesuatu?" tanyaku dan Kiai mengangguk.
"Bagaimana cara memusnahkan iblis?" ujarku dengan tegas dan kiai tersenyum.
"Dengan niat yang sangat tekad dan baca ayat kursi bernama An- Nass, Al- Falaq dan Al-Ikhlas." Kami mengangguk dan pamit.
"Kiai harap kalian jangan terlalu gegabah dan Merabela kau pasti bisa," ujar Kiai yang membuat kau terdiam.
"Kenapa dia hanya menyebut namamu?" ujar Radit yang heran.
Aku geleng-geleng kepala dan kami masuk ke ruang masing-masing. Mereka mencari tau lewat orang tua mereka bahkan tetangga sekitar dan aku menatap bulan sabit.
Menatap terus hingga aku duduk sambil membaca buku misteri dan terdiam. Aku rasa ada orang kuat di balik kematian Murti dan tidak mungkin orang tua Murti. Tidak mungkin orang tua menjadi anaknya tumbah, itu sangat tidak bagus dalam kehidupan dan tidak sengaja aku membaca perkataan yang membuatku terdiam namun tersenyum penuh arti.