/0/26438/coverorgin.jpg?v=a62374ef56376f88395da900a2247285&imageMogr2/format/webp)
Aurielle terbangun dengan rasa pusing yang menggigit. Matahari baru saja menyinari jendela kamar tidurnya yang terhalang tirai tebal, namun hangatnya terasa tidak nyaman di kulitnya. Kepalanya berat, dan tubuhnya terasa lelah, meskipun ia baru saja terbangun. Kehamilan ini, meskipun baru memasuki bulan ketiga, sudah membawa beban yang berat. Namun, yang lebih berat dari fisiknya adalah hati yang terasa hampa.
Ia memandang sekeliling ruangan mewah yang tidak pernah ia inginkan. Semua yang ada di sini adalah simbol dari kehidupannya yang dipaksakan. Tidur di tempat ini, di ranjang yang besar dan megah, tidak pernah bisa menutupi kenyataan pahit bahwa pernikahan ini hanyalah sekadar kewajiban bagi suaminya, Cassian.
Mata Aurielle beralih ke meja rias di sebelahnya. Di sana tergeletak cincin pernikahan yang berkilau-barang yang ia pakai karena kewajiban, bukan karena cinta. Sementara Cassian, suaminya, tidak pernah sekali pun melihat cincin itu dengan makna yang sama. Suaminya lebih tertarik pada pekerjaan dan urusan bisnis yang tak ada habisnya, lebih menyibukkan diri dengan dunia luar daripada berurusan dengan istrinya.
Dia memijat pelipisnya yang mulai berdenyut, mencoba mengingat kembali bagaimana ia bisa sampai di titik ini. Pernikahan mereka tidak dimulai dengan cinta, itu sudah jelas. Bahkan dari awal, semua yang terjadi lebih seperti transaksi yang dipaksakan daripada hubungan yang didasari oleh perasaan. Orangtuanya, yang lebih mementingkan status dan kekayaan, membuat keputusan ini jauh sebelum Aurielle mengetahui apa yang akan terjadi dengan hidupnya. Tidak ada ruang bagi suara hatinya, tidak ada pertimbangan tentang apa yang ia inginkan. Semua telah dipilih untuknya.
Suaminya datang dari keluarga kaya dan berpengaruh, dengan wajah tampan yang selalu mampu memikat banyak perempuan. Namun, di balik pesona itu, ia lebih mirip dengan batu yang keras-dingin dan tak terjangkau. Aurielle tahu itu sejak awal, namun kini, dengan perut yang membesar, ia harus menerima kenyataan yang lebih pahit. Suaminya bahkan tidak peduli dengan keadaannya. Ia terlalu sibuk dengan dunia luar, sementara Aurielle terkurung dalam rumah ini, menanti waktu yang entah kapan akan datang.
Tiba-tiba, pintu kamar terbuka perlahan. Aurielle menoleh dengan cepat. Cassian berdiri di ambang pintu, tampak segar seperti biasa dengan jas yang rapi. Wajahnya tak menunjukkan ekspresi apapun, seolah ia baru saja keluar dari pertemuan bisnis yang penting.
"Aurielle," suaranya datar, "ada yang perlu kita bicarakan."
Aurielle menatapnya, mencoba untuk mengatur napas. Rasanya, setiap kali Cassian berbicara, ada sesuatu yang tak terucapkan-sesuatu yang selalu membuatnya merasa seperti ia hanya ada di dunia ini untuk memenuhi kewajiban.
"Apa lagi yang harus kita bicarakan?" jawab Aurielle dengan nada dingin, meskipun hatinya bergetar. "Apakah itu soal perceraianmu dengan dia?" Ia tidak bisa menahan diri untuk tidak menyebutnya. Sejak awal pernikahan ini, ada nama yang selalu mengganggu pikirannya-selalu ada bayangan tentang wanita itu, yang bahkan tak pernah ia temui.
/0/22545/coverorgin.jpg?v=0a3ace846e042429718a2ffa239ef32a&imageMogr2/format/webp)