/0/24872/coverorgin.jpg?v=032e324468bb6285672c751841582adb&imageMogr2/format/webp)
Hujan deras mengguyur kota Jakarta malam itu. Setiap tetesnya seolah menambah kesedihan yang menempel di hati Alira Santika. Ia duduk di sisi ranjang ibunya, menatap wajah yang semakin lemah dan pucat. Mesin infus yang berdetak monoton mengisi keheningan kamar rumah sakit.
"Bu... ibu pasti bisa sembuh," ucap Alira pelan, menahan air matanya. Tangannya menggenggam jemari ibunya yang dingin. Namun ia tahu, kata-kata itu hanyalah penghiburan semu. Biaya pengobatan yang semakin menumpuk membuat Alira merasa tak berdaya. Setiap kali ia menoleh ke wajah ibunya, Alira seperti melihat masa depan yang semakin suram, seolah ada jurang yang siap menelan seluruh harapan mereka.
Pintu kamar terbuka pelan. Sosok pria paruh baya muncul, wajahnya dingin dan tak tersenyum. Pamannya, Gatot, membawa kantong hitam yang tebal. "Alira," suaranya terdengar tegas, tanpa emosi, "kamu harus membuat keputusan. Pengobatan ibu tidak akan diteruskan jika kamu menolak."
Alira menatap pamannya, matanya membara. "Keputusan apa, Pak?" tanyanya, suaranya bergetar.
Gatot meletakkan kantong itu di meja samping, lalu duduk di kursi. "Dimas Aditya Wiratama. Kamu harus menikah dengannya. Keluarga itu bersedia membiayai seluruh pengobatan ibumu, tapi syaratnya hanya satu. Kamu harus menjadi bagian dari mereka, sekarang juga."
Alira menelan ludah. Jantungnya terasa sesak. "Tapi... aku... aku sudah punya Raka. Kami... kami saling mencintai," suaranya hampir tak terdengar, seperti bisikan yang tercekat di tenggorokannya.
Pamannya menatapnya dingin. "Cinta itu tidak ada artinya saat nyawa ibumu terancam. Jika kamu menolak, jangan harap ada bantuan dari keluargamu sendiri. Kamu tahu sendiri biaya pengobatan itu bukan murah, dan ibu tak bisa menunggu."
Alira menunduk, air mata menetes di pipinya. Ia tahu pamannya tak akan mengalah. Ia tahu ia tak punya pilihan lain. Tapi hatinya menolak, seakan seluruh dunia sedang menghancurkan mimpinya yang sederhana: bisa hidup bersama Raka dan melihat ibunya sembuh tanpa harus menyerahkan dirinya pada orang yang bahkan belum ia kenal.
Pikiran itu masih bergelayut ketika teleponnya berdering. Suaranya yang lembut terdengar, namun di balik nada itu ada ketegangan yang sulit disembunyikan.
"Alira... ini Raka," suara pria di ujung telepon terdengar tegas namun lembut, "Aku dengar semuanya... apa yang terjadi?"
Alira menggigit bibirnya, mencoba menahan tangis. "Aku... aku tak tahu harus bagaimana, Ka. Pamanku... dia memaksa aku menikah dengan Dimas Wiratama. Kalau tidak, pengobatan ibu berhenti."
Raka terdiam sejenak. "Kamu... kamu serius?" Suaranya terdengar berat. "Alira... jangan lakukan itu. Kita bisa cari jalan lain. Aku akan menanggung semuanya. Jangan menyerah."
Alira tersenyum pahit. "Raka... aku ingin begitu, tapi... biaya itu terlalu besar. Aku tak ingin ibuku menderita hanya karena keegoisan kita."
Ada keheningan panjang di ujung telepon. Alira menutup matanya, menahan sakit di hatinya. "Maafkan aku..." bisiknya.
Hari berikutnya, Alira menemukan dirinya berada di mobil mewah, berjalan menuju rumah keluarga Wiratama yang megah di kawasan elit Jakarta. Gedung tinggi dan gerbang besarnya tampak mengintimidasi, seolah menegaskan siapa yang berkuasa di sana.
Saat pintu terbuka, sosok tinggi dan tegas menyambutnya. Dimas Aditya Wiratama, pewaris tunggal keluarga besar, berdiri dengan wajah dingin yang sulit ditebak. Rambut hitamnya rapi, mata cokelatnya tajam, memancarkan otoritas sejak pandangan pertama.
"Kamu Alira Santika?" Suaranya lembut, tapi nada formalnya membuat Alira merasa kecil di hadapannya.
"Ya, Pak," jawabnya pelan, menunduk hormat. Ia merasakan jantungnya berdebar kencang, campuran takut dan gelisah.
/0/28738/coverorgin.jpg?v=b2f93ffd565ac675147f224c5a1ba2ab&imageMogr2/format/webp)
/0/29158/coverorgin.jpg?v=b388063e861531ba54e595798d8341d0&imageMogr2/format/webp)
/0/2409/coverorgin.jpg?v=e63116a431de4dd625db5458c0df6f96&imageMogr2/format/webp)
/0/7540/coverorgin.jpg?v=64ba578be9dfd13513fb31866dbcd0fd&imageMogr2/format/webp)