Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Partner di Atas Ranjang

Partner di Atas Ranjang

Nona Ekha

5.0
Komentar
3.8K
Penayangan
17
Bab

Namanya Kasih, wanita manis dengan segala kesederhanaannya. Selalu bersikap ramah pada semua orang. Namun, wajah ceria wanita itu seketika sirna, Kasih harus menelan pil pahit ketika ibunya, orangtua satu-satunya yang dia punya, masuk rumah sakit akibat kecelakaan. Ditambah lagi, sang suami yang tengah bekerja di perantauan hilang tanpa kabar. Kasih bingung harus mencari uang ke mana. Hingga pada akhirnya, teman dekatnya menawarkan sebuah pekerjaan untuknya, yang langsung Kasih setujui tanpa pikir panjang. Dari situlah Kasih amat sangat menyesali keputusannya, karena telah menjadi budak nafsu dari seorang pria bernama Gilang.

Bab 1 Dijebak

"Mas lagi nggak ada duit, Kasih. Beberapa bulan ini kerjaan Mas sedang kurang kondusif, jadi kerjaan banyak liburnya."

Kasih menghela napas berat, suaminya selalu saja beralasan seperti itu. Hari ini Kasih benar-benar membutuhkan uang, untuk membelikan ibunya obat, karena stok obatnya sudah habis.

"Mas udah nggak punya simpanan lagi, coba kamu pinjam dulu deh ke tetangga, siapa tahu dapat," sambung Danu dari ujung sana.

"Utang yang kemarin aja belum dibayar, ini disuruh minjam lagi, pasti nggak bakalan dikasih, Mas," keluh Kasih.

"Habisnya mau gimana lagi, Mas benar-benar nggak ada duit."

Sudah beberapa bulan ini, Dani tidak pernah mengirimkan uang, Kasih memahami hal itu.

Tapi, semakin ke sini, Kasih semakin curiga dengan tingkah suaminya yang belakangan ini tampak berbeda. Kasih merasa jika Dani tengah menyembunyikan sesuatu.

"Mas lagi nggak bohong sama aku, kan?" tanya wanita itu penuh selidik.

Kasih mendengar dengkusan kasar dari ujung sana.

"Kamu nuduh Mas berbohong?"

"Bukan begitu, hanya--"

"Itu sama saja kalau kamu anggap Mas bohong. Emang susah ya kalau bicara sama kamu, ini yang Mas nggak suka dari sifat kamu, bawaannya selalu curiga terus," sentak Dani.

"Maksud Mas apa?"

"Halah! Sudahlah, teleponnya Mas matikan saja."

Baru saja Kasih ingin membuka mulutnya, panggilan itu langsung terputus.

Kasih menghela napas berat. Kentara sekali jika wanita itu tengah kecewa. Danu, pria satu-satunya yang selalu dia andalkan, nyatanya tak dapat membantu, lantas ke mana lagi dia harus mencari bantuan?

Prang ....

Kasih terperanjat kaget ketika mendengar suara benda jatuh. Buru-buru dia melangkahkan kakinya menuju kamar ibunya.

Matanya membola ketika melihat serpihan gelas berhamburan di mana-mana.

"Ibu!" jerit Kasih.

Kasih tak memedulikan bagaimana kakinya yang terkena pecahan gelas itu, yang dia khawatirkan saat ini adalah ibunya. Mutia tampak memegangi kepalanya sambil meraung kesakitan.

"Sakit, Kasih," erang Mutia.

"Iya, Bu. Secepatnya aku akan membeli obatnya, Ibu yang sabar, ya," pinta Kasih dengan mata berkaca-kaca.

Kasih harus berusaha keras untuk meminjam uang. Secepatnya, kalau terus-terusan ditunda, ibunya akan semakin lama merasakan kesakitan.

'Maafin aku, Ibu. Karena telah gagal menjadi anak yang membanggakan,' batin Kasih sambil meneteskan air mata.

Kasih bernapas lega ketika melihat Mutia tidak lagi mengerang kesakitan. Ibunya tampak tertidur pulas. Kasih menatap ibunya cukup lama. Namun, semakin Kasih tatap, ada yang berbeda dari cara Mutia tertidur.

"Bu," panggil Kasih pelan, sambil menggoyangkan tubuh Mutia dengan pelan.

Tak ada respon, membuat Kasih kembali menggoyangkan tubuh ibunya.

"Ibu, jangan bikin aku takut, Bu. Ayo bangun, aku janji akan belikan Ibu obat," ucap Kasih yang tampak ketakutan.

Lagi-lagi Mutia tak menjawab, Kasih semakin cemas, tangannya gemetar, keringat dingin bercucuran. Kasih tahu bahwa saat ini Mutia tengah pingsan.

Tak ada cara lain, jalan satu-satunya adalah membawa Mutia ke rumah sakit, Kasih tak ingin mengambil risiko jika terjadi sesuatu pada ibunya.

***

Kasih tertunduk lesu ketika melihat nominal uang yang ada di kertas itu, pihak rumah sakit tak ingin membantunya jika dirinya belum membayar biaya administrasi.

Wanita itu tampak begitu frustrasi, tak ada jalan lain. Sepertinya dia harus meminjam uang lagi pada temannya, walau sebenarnya dia tahu, besar kemungkinan hasilnya nihil.

"Dicoba aja dulu deh," gumam wanita itu sambil merogoh ponselnya di saku celana.

Kasih harap-harap cemas ketika mendengar sambungan telepon itu terhubung, berdoa dalam hati semoga saja kali ini temannya mau membantunya.

"Halo, Kasih. Ada apa?"

Kasih tersenyum lebar ketika Diana mengangkat panggilannya.

"Halo, Di. Lagi sibuk nggak?" tanya Kasih pelan.

"Nggak terlalu sih, emangnya ada apa? Mau minjam uang lagi?"

Kasih tersenyum miris ketika Diana sudah bisa menebak pikirannya, pasti Diana risih karena dirinya selalu meminta bantuan padanya.

"Iya, Di. Apa kamu bisa membantuku, kali ini aja. Please," mohon Kasih.

"Aduh, maaf ya, Kasih. Kali ini aku nggak bisa bantu kamu. Soalnya aku juga lagi butuh uang. Tapi, aku ada kerjaan nih buat kamu, siapa tahu kamu tertarik."

Kasih menghela napas berat. "Aku butuh uangnya sekarang, Di," lirih wanita itu.

"Kamu tenang aja, kerja di sana bisa minta kasbon dulu kok. Bosnya itu baik banget. Kamu nggak tertarik kerja di sana? Daripada jualan, kan? Belum tentu dagangannya selalu laris."

Siapa yang tidak mau menerima tawaran yang begitu menggiurkan. Sama seperti Kasih saat ini, wanita itu tampak berbinar senang.

"Aku mau," jawab wanita itu cepat. "Tapi, kalau bisa, aku minta uangnya malam ini. Aku butuh banget uang buat biaya pengobatan ibu aku. Apa kamu bisa bantu aku?"

"Masalah itu gampang. Oke, jadi udah fix nih kamu terima tawaran itu?" tanya Diana.

"Iya, aku mau," jawab Kasih mantap.

"Oke, nanti malam aku datang ke rumah kamu, ya. Kita akan datang ke tempat kerja itu. Kamu harus berpakaian yang menarik."

"Siap, sekali lagi terima kasih ya, Di. Kamu memang teman yang sangat baik."

***

"Kita mau ke mana sih, Di. Memangnya ada ya, orang kerja malam-malam?" tanya Kasih heran, wanita itu tampak risih karena pakaiannya terlalu terbuka.

"Banyak kali, Kasih. Kamu dagang aja sampai malam, kan?"

"Iya, tapi kenapa harus pakai baju seperti ini?"

"Kamu takut? Atau kita balik aja deh, aku nggak mau kalau kamunya terkesan terpaksa."

"Jangan," sergah Kasih. "Oke, oke. Aku akan diam. Nggak akan komentar lagi."

Setelah itu, mereka berdua benar-benar terdiam. Sepanjang perjalanan, Kasih selalu duduk dengan gelisah. Feelingnya mengatakan jika akan terjadi sesuatu padanya.

Mata Kasih mengerjap ketika mobil Diana berhenti di sebuah diskotik. Kasih langsung menatap Diana dengan horor.

"Santai aja kali, aku datang ke sini mau ketemu sama teman, sebentar aja. Ayo ikut masuk," ajak wanita itu.

"Nggak deh, aku tunggu di sini aja," tolak Kasih.

"Yakin? Siapa tahu aku agak lama di sana, nggak takut kalau ada yang macam-macam sama kamu?"

Kasih menggigit bibir bawahnya, kentara sekali jika saat ini wajahnya pucat pasi, seumur hidupnya baru kali ini dia menginjakkan kaki di tempat seperti ini. Bagaimana nanti kalau suaminya tahu? Pasti akan mencercanya habis-habisan.

"Oke, aku ikut. Tapi jangan lama-lama ya."

"Sip, ya udah. Ayo turun."

Mereka berdua pun akhirnya turun dari mobil, Kasih menelan salivanya, berjalan dengan kaki gemetar, beruntungnya ada Diana yang kini tengah menuntunnya.

Semakin mereka masuk ke dalam ruangan itu, dada Kasih bergemuruh hebat. Bahkan saat ini Kasih memegang tangan Diana begitu erat.

"Itu dia, ayo kita ke sana," ajak Diana.

Kasih mencekal tangan Diana, lalu menggeleng pelan.

"Kamu tenang aja, nggak usah takut. Orang-orang di sini nggak apa-apa, kok," ucap Diana sambil tersenyum tipis.

Kasih diam saja, membuat Diana kembali melanjutkan langkahnya.

"Hai, aku datang. Sesuai yang aku janjikan, tentunya tepat waktu," sapa Diana pada sosok pria yang saat ini tengah duduk sambil menenggak sebotol minuman yang Kasih tak tahu itu minuman apa.

"Oke, tunggu aku di kamar nomor 15," ucap pria itu dengan suara serak, sambil menatap Kasih tajam.

Kasih yang ditatap seperti itu seketika merinding, wanita itu langsung membuang pandangannya ke sembarang arah.

"Oke, jangan lupa komisinya."

Setelah itu Diana membawa Kasih pergi, bukan ke arah luar, melainkan ke sebuah lorong yang begitu sepi.

"Kita mau ke mana?" tanya Kasih, kepalanya celingukan ke sana-sini, kemudian bergidik takut.

"Aku mau temuin teman dulu di kamarnya, katanya dia lagi ada di sana."

Kasih kembali terdiam, perasaannya tiba-tiba tak enak. Dia ingin membicarakan hal itu pada Diana, tapi diurungkan karena tak enak hati.

Tepat di sebuah kamar nomor 15, mereka berdua berhenti melangkah. Diana membuka knop pintu itu, lalu masuk, disusul juga oleh Kasih.

"Kamu duduk-duduk dulu di situ, aku mau lihat dia ada di mana."

Kasih menuruti perintah Diana, wanita itu duduk di sebuah ranjang yang begitu empuk.

"Kasih. Kayaknya ponsel aku ketinggalan di mobil deh, kamu bisa tunggu aku sebentar di sini, sebentar aja kok."

Kasih menggeleng tak setuju. "Nggak, aku mau ikut aja. Takut sendirian di sini, masa kamu tega."

"Ya ampun, cuma sebentar aja kok. Habis itu aku balik lagi ke sini. Suer deh, cuma sebentar," ucap Diana meyakinkan.

"Tapi, Di--"

"Cuma sebentar aja," sela Diana cepat.

Kasih menghela napas pasrah. "Ya udah deh, janji ya, cuma sebentar?"

"Iya," sahut Diana. Wanita itu pun akhirnya pergi dari kamar itu.

Kasih mendengar pintu itu dikunci dari luar, membuat wanita itu mengerutkan keningnya.

"Kok pintunya dikunci?" gumam wanita itu, tapi setelah itu dia mengedikkan bahunya acuh. Mungkin saja Diana melakukan seperti itu karena tidak ingin terjadi sesuatu padanya.

Selang beberapa menit, Kasih mendengar knop pintu terbuka, membuat wanita itu mengembangkan senyumnya.

"Sebentar banget, kamu ngambil ponselnya sambil lari-lari atau ...."

Kasih menggantungkan kalimatnya, matanya mengerjap beberapa kali karena melihat bukan Diana yang ada di ambang pintu itu, melainkan seorang pria yang tadi dia lihat sedang mengobrol dengan Diana.

Pria itu berjalan mendekati Kasih, tak lupa juga dia menutup pintu itu. Jelas saja membuat Kasih begitu ketakutan.

"Maaf, Diananya lagi nggak ada, tapi ... sebentar lagi dia akan--"

"Sssttttt," desah pria itu sambil membungkam bibir Kasih menggunakan jari telunjuknya.

"Kamu cantik, tapi malam ini jauh lebih cantik."

Kasih memundurkan tubuhnya, menatap pria itu ketakutan. Dia tahu jika pria yang ada di hadapannya ini tengah mabuk.

"Aku bukan Diana, aku ini temannya. Tolong jangan bersikap kurang ajar sama saya!" kata Kasih tak terima.

Tiba-tiba saja pria itu tertawa keras, jenis tawa yang menurut Kasih begitu berbahaya.

"Ya, aku tahu hal itu. Kamu adalah Kasih, temanmu yang sudah menjualmu padaku, ngerti?"

Kasih mematung di tempat, apa maksud perkataan pria itu? Menjual? Diana? Apa Diana menjualnya? Tidak, Kasih yakin Diana tidak akan pernah melakukan perbuatan sekeji itu.

"Itu tidak mungkin, kamu jangan mengarang cerita," tandas Kasih.

"Kenyataannya memang seperti itu, Kasih," kata pria itu, lalu detik berikutnya pria itu mendorong tubuh Kasih ke ranjang. "Intinya, tubuhmu saat ini adalah milikku, aku sudah membayar mahal pada temanmu. Jadi, marilah kita lewati malam panjang ini dengan malam yang begitu panas," ujar pria itu seraya tersenyum menyeringai.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Buku lain oleh Nona Ekha

Selebihnya
Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku