TKW Kere
Katan
boleh, sewa
o
jangan kebablasan. Sayang sama masa depan sendiri," ucap Erni, teman sesama TKI
sama Ibu sakit-sakitan," jawabku seraya ters
menatapku lamat. "Mbak." Aku menoleh ke arahnya. Kit
, em
ahnya terlih
terus?" tan
ada ged
"Yang tiga uda
kesakitan. Wanita ini memang sungguh terlalu, kalau
n, sih? S
na Bos kami sama-sama keluar, pulangnya malam. Ini adalah momen yang selalu seorang TKI tunggu, biar bisa s
tinggal Mbak sama adik
tera
ngo. "Mbak udah
eraya mencomot kol
n iya berkorban, tapi sewajarnya aja. Jangan sampai mempertaruhkan m
kepada orang tua? Aku ada di sini karena alasan itu. Aku ingin berbakti. Aku ingin orang tua dan adikku bahagia. Aku ingin kehidupan mereka berkecukupan. Aku tak ingin melihat Ibu menangis di sudut kamar karen
dan adik itu bukan tang
a tetap berceloteh seolah tak melihat perubahan air
utuh bahagia. Mbak udah h
buhku mendadak kaku. Jangankan berlari, sekadar merubah posisi duduk menatap lur
ah saat mampu berbakti pada orang tua, mampu membuat orang tua dan adik-a
gal dan keadaan Mbak udah tua gimana? Yakin adik-adik yang Mbak perjuangkan, Mbak cukupi kehidupannya sampai merantau di sini mau rawat Mbak? Okelah, mungkin salah s
alah satu adik ipar Mbak yang mau nerima Mbak, tapi yakin keluar
at menembus jiwa, menyelinap dalam rongga dada melal
yaku dengan suara bergetar.
k susah senang, bahkan hidup bersama sampai maut memisahkan itu cuma pasangan. Yang sudi merawat orang tua itu cuma anak yang punya hati. Gak ada tuh dalam
!" tegasku dengan mimik w
lihat perempuan itu tertawa renyah, tetapi aku sangat benci tawanya detik ini, na
nampilkan wajah bingung. "Kenapa sih, Mbak?" Dia mencomot kolaknya dengan net
u tahu kalau i
mang gak punya bukti apapun, Mbak. Tapi suatu s
ri detik ini juga. Namun, entah mengapa seluruh tulangku seolah kehilangan fungsinya. Jangankan untuk berlari, sekadar mengg
"Aku sudah mencecap banyak kepahitan di dunia ini, Mbak." Dia tertawa miris. "Tapi diantara semua
ambutku. Mendadak amarahku hirap saat mengamati perubahan ekspresi Erni. Perempuan itu lak lagi mengeluarkan argumennya. Mendadak aku
ku membekap mulut dengan tangan, menyadari pertanyaanku teramat lancang. Namun, sungguh, ini pertanyaan yang sama sekali
adari perempuan itu melihatku membekap mulut. Namun, responsnya jauh berbeda dengan yang kupikirkan. Di
u? Berapa lama? Kamu gimana? Dan banyak lagi. Namun, sekuat tenaga aku mengunci rapat mulutku, tak ingin rentetan pertanyaan yang hanya berlandaskan r