Sang Buron
terjebak di titik beku. Pemuda itu hanya mengenakan celana jeans tipis, kemeja musim panas, sepasang sepatu bot usang, dan sehelai jaket yang nyaris tak mampu menahan dinginnya udara: dengan tangan
cat hijau usang. Pemuda itu tidak mengetuk dan pintu itu tidak terkunci. Dia mel
disi sebuah gereja tua. Di tengah-tengah ruangan terdepat meja tulis dengan sekeping papan nama yang mengumumk
uda itu. Lengang sejenak.
amunya. Masalah utamanya adalah dia tidak mempunyai mant
e Joan," katanya, sambil memb
ena pilek. Aku Kiki Stefanus, istri pendeta, me
muda itu memandang penuh har
erhati-hati, seolah-olah dengan wajah yang kelihatan tua i
i-laki itu sambil memandang ke pintu ya
akah ada sesuatu yang kamu perlukan?" Kiki seorang yang bertubuh mungil, mem
puan-perempuan bertubuh mungil. Wajah yang manis dan menawan, sepasang bola mata berwarna cokelat, tulang pipi tinggi, seorang per
gkupkan tangannya seperti orang yang hendak berdoa. "Aku datang ke gereja
an giginya; sungguh indah. "Jad
jah memelas. "Aku sangat membutu
jian sebelumnya maupun yang tidak. Lagi pula, hari itu adalah hari senin yang beku dan Ivan juga tidak terlalu sibuk. Dering telepon begitu sering terdengar nyaring ha
ertanyaan para kliennya. "Baiklah kalau begitu, aku perlu mencatat beberapa pertanyaan dasar lebih dulu
ngan membungkukkan badann
iki dengan intonasi dat
Shibuya, Tokyo. Umurku empat puluh tujuh tahun. Aku bujangan, sudah pernah menikah, kemudian bercerai. Aku t
Semua jawaban yang diucapkan oleh Harry menyebabkan jauh lebih baik kuriositas daripada yang bisa ditampung formulir kecil yang ada di
jalan nomor dua belas, beberapa blok dari sini. Dan saat ini, aku sedang dalam proses pembebasan, seperti itulah istilah mereka. Beberapa bulan aku di ru
pannya mendadak lenyap. Dia agak merasa skeptis untuk mencari tahu lebih tentang manusia di depannya. Namun, karena dirinya sendiri yang memulai interogasi it
dia memikirkan matang-matang kalau
olah-olah Harry tidak sanggung mengiya
i, fokus dengan bokong bundarnya yang indah di balik balutan celana panjang yang ketat, kedua kaki rampingnya, pundak yang
tuk-ngetuk ujung jemari tangan kirinya, tongkat kayunya yang berwarna putih menggeletak di pangkuannya. Kepalanya dicukur plontos, terlihat kecil dan mengkilap, betul-betul bundar seperti lampu taman, dan ketika Kiki datang menyerahkan secangk
rima kasih, dia meletakkan cangkir tehnya di meja tulis. Kiki kembali ke
memegang bolpoin dengan buku yang b
rlu kau
tega
apa-siapa. Aku nggak pernah punya kein
inginan untuk pergi ke gereja, membuat Kiki merasa bi
g sedang menangkup sekeping biskuit. Apabila pertanyaan sederhana tentang teh tadi membutuhkan waktu sekitar
di sela-sela cangkir itu-kemudian dia meneguk sedikit dan mengecap bibirnya. "Butuh berap