Hasrat Liar Darah Muda
setiap isapan dalam, mengirimkan gelombang kenikmatan dahsyat yang menjalar ke seluruh tubuhku. Ereksiku yang tadinya masih malu-malu, kini b
mata lentik, menatapku dengan sorot menggoda yang membakar hasrat. Bibirnya yang penuh sedik
umku, setelah melepaskan kejantananku dari mulutnya. Sensasi dingin udara pagi menyen
tar cepat, mencoba mencerna kenyataan yang terlalu indah untuk dipercaya
lit telanjangnya yang panas dan mulus menempel di tubuhku seperti sengatan listrik yang membangkitkan semua sarafku. Payudaranya yan
n panas langsung menyambut kejantananku yang menegang, memaksanya menekuk ke arah
udaranya ikut bergoyang, memberikan pijatan lembut yang membuatku ingin meraih dan meremasnya. Tanpa sadar, tanganku bergerak, memegang dan meremas kedua belahan pantatnya yang montok d
t kecil menahan nikmat. Reaksi spontannya itu membuatku semakin menggila. Aku mengangkat sedikit pi
meskipun masih terdengar sedikit tercekat. "Darimana kamu tahu alama
ang misterius. "Apa aku nggak boleh di sini, Han?" tanyanya balik, masih menggesekkan vaginanya di atas kejantananku, menciptakan gesekan nera
ang sama persis, seolah sudah dilatih ribuan kali: "
bibirku. Bukan sekadar kecupan singkat, tapi ciuman yang langsung membangkitkan gairah. Lidahnya menerobos masuk, mengajak lidahku berdansa dalam gerakan yang liar na
m nakalnya menguar. "Bukannya ini ritual pagi kita? Dan kamu selalu
ntara helai rambut, menarik-nariknya pelan, membuat kepalaku mendongak. "Aku kangen kamu, banget. Kapan k
enyutan basah vaginanya. Ia menciumi leherku, tepat di bawah telinga, tempat favoritku. Kulitku meremang hebat. Tanganku tanpa sadar
urunkan pinggulnya dengan ritme yang provokatif. Setiap gesekan membuat penisku di balik celana semakin berdenyut. Payudaranya yang padat bergerak naik turun di da
i-jarinya yang lentik, yang sering membuatku merinding saat menyentuhku, meraih penisku yang sudah tegang maksimal. Dengan
ia mendorong dirinya ke bawah. Aku bisa merasakan sensasi menggelitik yang menjalar ke seluruh tubuh saat kepalaku perlahan memasuki l
ginanya yang kuat dan kehangatan yang menjalar ke setiap serat sarafku. Matanya terbuka, menatapku dalam-dalam, penuh c
akhir
IIIIIIIINGGGGG
erasa begitu nyata. Alarm sialan itu berbunyi nyaring, men
napas masih terengah-engah seperti habis
n punggung. Kulihat sekeliling kamar kostku yang remang-remang. AC mati, pasti karena token
ciumannya, desahannya... semuanya terasa begitu nyata. Apa karena aku terlalu merindukannya? Atau karena sudah hampir dua bulan aku tidak merasakan kehangatan seorang w
kembali berdenyut kencang, menuntut perhatian. "Oke, fix, aku butuh sex," pikirku dalam hati, sebuah deklarasi yang mutlak. Keinginan itu men
adalah hari pertamaku bekerja di tempat baru. Tidak boleh ada kata terlambat di hari penting ini. Penampilan harus prima, apalagi di lingkungan kerja yang baru. Tapi jujur, sekarang yang ada di pikiranku hanyalah bagaimana ca
EMPA
Pusp
i lurus ke depan, mengulang gerakan itu ke kiri. Salam penutup sholat subuh in
ualaikum
nya meluncur lembut di kulitku yang masih sedikit dingin. Sajadah kulipat dengan gerakan otomatis, lalu kusimpan kembali di tempatnya. Melirik
, batang hidungnya belum kelihatan. Berkali-kali aku sudah wanti-wanti dia soal Jimmy. Aku masih ingat betul cerita Meilani dengan mata berkaca-kaca, tentang bagaimana di
aku lebih memilih jadi pendengar pasif. Itu wilayah pribadinya. Tapi kadang, dengan nakalnya, dia akan menyenggolku, menggoda dengan detail "aktivitas malamnya," membuatku langsung menutup
Pus
I
i mana
kenapa-ke
i masuk
notifikasi muncul.
Mei
timuu
xi
hatian banget si
k, santai. Nanti
awatir ya
-baik saja. Tapi tetap saja, ada sedikit rasa penas