Skandal Di Lantai 26
ng ke luar jendela. Pantulan wajahnya terlihat samar di kaca, tapi pikiran
ar jam tangan Pa Faris yang memecah keheningan. Supir itu, seorang pria pa
, Bu Nadin,"
ngkat, masih sibuk me
itu. Ini bukan pertama kalinya ia menjempu
i di hotel, Bu?" tanyanya dengan
menjawab singkat, b
erbiasa dengan reaksi itu. "Baik, Bu. Kal
pemandangan luar, tapi pikirannya sibuk mengulang momen-momen di kantor tadi. Ia tahu, beberapa kolega pasti sudah m
apnya, tetap sopan meski Nadin hanya mengangguk kecil. Langkah wanita itu terasa berat saat ia
sinya. "Pak Raka meminta saya memastikan Ibu ny
wab Nadin singkat, s
kunci elektronik dan membukakan pintu untuk Nadin. "Silakan mas
kota dari jendela besar, lantai marmer mengilap, dan perabotan mahal membuat ruangan itu tampak seperti du
sebelum berkata, "Pak Raka akan segera tiba, Bu
jawab Nadin pelan, akhirn
sebelum keluar dari kama
leponnya bergetar. Nama adiknya, Lia, muncul di layar. Ia menghela napa
nya, duduk di te
ke rumah sakit," suara Lia terdengar sedi
a sudah mendingan. Tapi perawa
lihat. "Iya, tadi pagi Mama sempat telepon
i dokter bilang minggu depan ada penanganan lanjut, Kak, dan..
a sesaat. Hatinya terasa berat, tapi ia
ya. Aku yang urus semuanya. Fokus aja
um Dina menjawab, "Iya, Kak. Makasih.
ya," balas Nadin, mencoba tersenyu
idur. Sesaat, ia memejamkan mata, menarik napas dalam untuk menenangkan diri. Pikiran tentang ibunya, adiknya,
ahan, hatinya berdebar. Sebelum tubuhnya bergerak lebih menuju pintu, pintu
meja biru gelap yang disetrika sempurna, dasinya melonggar sedikit, mungkin
a. Ia berdiri di tengah ruangan, memandang sekeliling tanpa benar-ben
dingin, tanpa basa-basi samb
ebih lama daripada yang seharusnya
a. Ia menyingkap tirai dengan satu gerakan, melihat pemandangan kota di baw
, kan?" suaranya rendah, dingin, ta
a tiba-tiba, tanpa mengalihkan pandan
jawabnya pelan, mencoba tetap tenang. Dengan sedikitkarang, pastikan kamu juga menjalankan tugasmu." Ujar
duk, merasa semakin kec
ke jendela, seolah berbicara pada dirinya sendiri, tapi setia
mpat lihat sesuatu. Cuk
bingung tapi juga cemas. "Apa mak
ubuhnya perlahan langkahnya perlahan tap
a membuatmu tahu diri. Kamu bukan lagi rubah bebas yang bisa men
perumpamaan itu. Ia mendongak, menatap R
ak ditempatkan di kandang yang terlalu sempit. Kare
gar seperti geraman halus yang mematikan. Tubuh mereka begitu dekat hingga Nadin bisa merasakan detak jantung Raka,
pi terasa nyata dalam setiap desaha
ambu