Dear Anna
keras. Dia melepas dasi dan berjalan menuju ruang tamu, berharap bisa sedikit bersantai. N
harus bicara
a tegas, nya
pas, mencoba mena
apa
adanya berubah menj
a menahan diri. Tapi yang lebih parah, Anna... Anna, menantuku, malah berani mengungkit-ngungkit soal bagaimana dia bekerja keras untukmu. Dia b
takan ibunya. Rasa lelahnya perlahan terganti
nna bahkan bilang kita semua berubah menjadi monster setelah kamu jadi CEO. Seolah-olah kita ini tidak pernah m
t oleh kata-kata ibunya. Matanya menatap lantai dengan penuh kema
ar-benar bila
n tatapan yang penuh deng
lu diingatkan siapa yang sebenar
oleh ucapan Anna, meskipun belum sempat mendengar langsung dari istrinya. Tanpa berkata apa
ata-kata ibunya semakin membara. Tanpa berpikir panjang, dia membuka pintu kamar d
memandang ke arah suaminya. Namun, sebelum dia bisa bertanya apa yang
jut, lalu menarik tangannya dengan paksa, memaksany
na? Kamu berani bicara seperti itu
uyung sej
ian, menco
ar kencang. Anna: "Brian, dengar aku dulu... Aku hanya berusaha menjela
menyalahkan. Brian: "Ketika suami marah... perempuan seperti kamu malah tidak cerdas menjaga mulut! Kamu pikir semua y
lam yang mengganggu suaminya, Anna tidak bisa menahan air matanya yang mulai menggenang di sudut mat
bicara baik-baik. Aku ingin kita ingat kem
yang diucapkan Anna hanyalah sebuah upaya untuk memb
an tangan Anna dengan erat, matan
anku ini adalah hasil dari kerja kerasmu. Semua ini adalah hasil dari usahaku sendiri, kerja kerasku! Jad
h air mata yang berusaha ia tahan. Namun, Brian tak berhenti di sana. Su
arus lebih cerdas dalam mengajarinya. Jangan sampai dia membuat kita malu lagi! Kalau kamu tida
ia merasa seolah-olah dunianya runtuh mendengar ancaman su
anpa menunggu jawaban dari istrinya. Dia tidak menoleh lagi, meninggalkan Ann
, tetapi juga karena kenyataan bahwa orang yang dulu begitu ia cintai dan
ak tertahankan. Dia menangkup wajahnya dengan kedua tangan, berusaha keras menahan isak tangisnyau, rumah tangga mereka penuh dengan cinta dan kebahagiaan, meski mereka hidup dengan sederhana. Brian adalah suami yang penyayan
u lembut dan penuh kasih sayang, kini menjadi dingin dan keras. Rasa bangga yang dulu Anna rasakan saat melihat suaminya bekerja keras mencapai puncak karier, kin
elah melakukan yang terbaik untuk keluarganya, untuk Kaffa yang tak berdosa. Namun, di mata Brian, s
sederhana, tapi penuh makna. Saat itu, mereka saling mendukung, saling menguatkan. Tapi kini
affa yang terlahir buta? Ataukah ada sesuatu yang lain, sesuatu yang lebih dalam yang telah m