Jangan Benci Cintaku, Ustadz
lalu sempit untuk menampung semua keresahannya. Angin malam yang seharusnya membawa kesejukan malah tak t
inding, yang menunjukkan pukul sebelas malam. Di luar, suasana pesantren sudah sunyi
i celana pendek dan tank top, pakaian yang biasa ia kenakan saat di rumah. Di sini, di pesantren, dia tahu pakaian seper
ma yang gelap dan sepi menyambutnya, tapi dia tak peduli. Yang penting baginya se
kan udara malam yang segar. Suasana di luar begitu tenang, berbeda jauh dari kehidupan malam di kota yang biasa dia
mendapati sosok Ustadz Malik berdiri tak jauh darinya. Wajah ustadz itu terl
Malik dengan suara renda
ketahuan dalam situasi yang sangat tidak pantas. Dia mencoba mengendalikan
a Ustadz Malik sambil melangkah mendekati Alina. Tatapannya
rtahankan sikap kerasnya. "Aku nggak
lebih dingin dari biasanya. "Ini pesantren, Alina. Ada aturan ya
jelaskan dirinya. "Kenapa? Aku cuma butuh udara
lakukan ini sangat tidak pantas. Di sini, kita menjaga aurat dan kehormatan. Itu bukan hanya
lakukan seperti anak kecil yang tak tahu apa-apa. "Aku nggak peduli
. "Kamu mungkin tidak memilih untuk berada di sini, tapi kamu ada di sini sekarang, dan kamu harus belajar mengikuti aturan. Apa
ah panjang itu. Namun, di dalam hatinya, dia tahu bahwa dia be
lik. "Hijab itu bukan hanya pakaian, tapi perlindungan. Dan di si
"Aku tidak terbiasa dengan semua ini! Aku nggak mau hidu
da Tuhan, Alina. Kamu mungkin tidak mengerti sekarang, tapi seiring waktu, kamu
dakpeduliannya segera mengambil alih. "Aku nggak peduli, aku ngg
p Alina. "Kalau kamu merasa seperti itu, maka kamu perlu memahami konsekuensi dari tindakan
gan tak percaya. "Kamu serius?
adi, Alina. Tapi aturan tetap aturan," kata Ustadz Malik dengan nada penuh
hanya akan memperburuk situasi. Dengan tatapan penuh kemarahan, dia berb
las di belakangnya, meskipun Alina berusaha untuk ti
dakberdayaan. Bagaimana mungkin seseorang seperti Ustadz Malik bisa begitu dingin dan tak berperasaan? Pikirannya terus berputar, memi
d pagi-pagi buta? Sungguh keterlaluan, pikirnya. Tapi di dalam hatinya, ada rasa takut yang ia rasakan. Takut akan perubah
menghantui malamnya. Dia tahu bahwa besok akan menjadi hari yang panj
hasil dari tidur yang tidak nyenyak. Ia bangkit dari tempat tidurnya dengan
antren. Dia menatap bayangannya di cermin, merasa seperti orang yang berbeda. Rasa kebebasan yang bias
epi, hanya ada beberapa santri yang sedang melaksanakan shalat sunnah sebel
ik saat dia melihat gadis i
m dirinya. Mungkin karena dia terlalu lelah untuk melawan, a
apkan di sudut masjid. "Mulailah dari sini. Bersihkan seluru
kan hanya karena dia belum pernah melakukan pekerjaan seperti ini sebelumnya, tap
lantai ia pel, seolah menambah beban yang sudah terlalu banyak di pundaknya. Namun, di t
ng tida
hasil kerjanya. "Kerja yang baik, Alina," katanya dengan nada yang
h marah dan kesal, tapi di sisi lain, ada rasa lega yang samar. Dia
in kamu bisa menemukan sesuatu yang kamu suka," kata Ustadz Ma
gin berubah. Tapi satu hal yang pasti, hari-harinya di pesantren ini aka