Pembalasan Dendam Sang Duda Kaya
aha semaksimal mu
kuat menanggung semua kesedihan. Ia jatuh bersimpuh di depan seorang dokter yang baru s
lu di waktu berikutnya ia harus mendengar kenyataan pahit yang tidak pernah ia bayangkan akan terja
an kalimat itu dengan lantang meski terbata-bata. Tidak sedikit pun peduli kepada banyaknya pasang
e ruangan pemeriksaan beberapa menit lalu. Meskipun Ben tidak terlihat mendengarkannya dengan baik, dokter itu terus saja mencoba memberik
n. Ia tidak sanggup untuk menghadapi kenyataan. Dengan sangat putus asa ia berharap bahwa semua ini h
sejak dulu hidup memang
ampir semua indra dan perasaan, hingga dirinya kini menyerupai sebuah robot tanpa emosi. Hanya dengan begitu ia
nya. Dia bahkan belu
ia tidak pernah bert
an suaramu! Nan
a dengar? Kita cuma men
erabat dan kenalan yang menghadiri pemakaman. Apalagi mereka memang tidak mencoba untuk memelankan
endampinginya. Perlahan, ia merentangkan tangan ke arah orang itu, berniat untuk memberikan sedikit saja sentu
kurang tidur lantas terlihat sem
dekatnya mencoba merangkulnya. Dengan penuh amarah, ia mengarahkan jari telunjuknya ke wajah Ben. "Sampai dua hari lalu Alisya masih hidup! Aku masih inga
uaranya agar tidak terlalu lantang. "Aku tahu aku telah lalai. Aku juga be
a menutupi kepalanya telah merosot dan hanya menggantung di pundaknya. Memperlihatkan rambut h
t, mencegah dirinya mengatakan apa pu
ra Thalia yang semakin bergetar. Ia memukul dadanya sendiri dengan kenca
garis bibirnya yang mulai melengkung ke bawah. Namun, cara berpakaiannya yang cukup modis dengan topi bundar berjaring hitam se
n memeluk wanita tersebut. "Ibu ... aku haru
Nak. Kita pikirka
ya berdiam diri dan tidak melakukan apa-apa untuk menghibur mantan istri dan mantan mertuanya. Akan tetapi, di sisi
mantan ibu mertua, tanpa sadar Ben menunduk
kan lag
h menyesal
ama. Namun, Ben hanya mencoba kembali ke masa sebelum ia menikahi Thalia. M
k menghadap pria tampan yang sedari tadi berdiri di samping Thalia
lisya, Bu!" tolak Thalia yang l
ut kamu pingsan." Suara Garry terdengar begitu lem
hampir menyaingi kulit putih pucat sang istri. Kemeja putih serta celana kain berwarna serupa melengkapi penampilannya yang tanpa cacat. Siapa pun akan menya
i dan sakit hatinya ia melihat Thalia disentuh pria lain, ia tidak bisa memalingkan pandangan. Di saat pelayat l
an seperti apa hidupnya tanpa Thalia. Ia tentu sudah tahu bahwa hari-harinya akan menjadi seperti d
benci ke arahnya, mau tidak mau Ben sungguh perca
tanpa berteriak. Perlahan, ia menyingkirkan lengan sang suami dari pinggangnya dan menggenggamnya erat. Tanpa melepasny
*