Menikahi Om-Om
gukan lagi. Vaness bahkan tak segan
udah kayak hidup di zaman Jepang. Apa-ap
a bersama Ghailan, tak sedikit perempuan yang dengan terang-terangan maupun diam-diam menyukainya. Ghailan Alam Faiq seorang kapten dengan kemamp
balik
gsung berdiri saat El
uara lembutnya. Ghailan mengangkat
au pulang?" tan
dis remaja yang sedang memangku dagu denga
a melambaikan ta
Ghailan menunggu laki-laki itu mengatakan sesuatu, na
namanya siapa? Tema
kkan kepalanya. Ia mengulurkan t
ntik," ucap Najla penuh kekaguman. "Tapi Najla jug
nya Ghailan adalah yatim piatu tanpa sanak saudara di dunia ini, jadi siapa Najla. Eliza
lebih baik daripada berada di situasi yang rawan seperti ini. Ia berdoa dalam hati semoga Najla tidak mengatakan apa-apa tentang hubungannya
Najla bukan keponakan om tapi istrinya. Menyebalkan," ger
n suaranya agar tak bergetar namun sia-si
ar om-om pedofil," sungut Na
di kursinya. Ia hanya menunggu kejujuran dari laki-laki di dep
istri saya," katanya menatap lurus El
ngan Eliza yang terlihat begitu rapuh. "Bang, kami duluan." Va
heran, memperhatikan punggung El
ri-jarinya menyelip diantara jari-jari panjang Ghailan yang bebas. Sesekali ia menggigitnya gemas membuat Ghailan meringis saat gigi-gigi kecilnya menancap di kuli
segan-segan melakukannya di depan banyak orang. Najla menyengir memamerkan gigi-g
ngkah Ghailan saat tak sengaja menangkap dua sosok yang baru
ncang lengan Ghailan saa
a melepaskan tautan tangan mereka lalu mul
ai
an Ghailan itu menatap ke arah mereka dengan pandangan yang sulit Najla artikan, tapi yang jel
perut Ghailan. Ia menempelkan pipinya di punggung hangat lelaki yang sudah tujuh tahun belakangan ini mengambil peran sebagai orang tuanya. Entah kenapa perasaan ta
a antara Om Ghail
*
t, Ghailan yang hadir sebagai walinya. Walaupun ternyata Ghailan sedang mengemban tugas di luar daerah, ia akan memastikan Najla tak sendiri di hari pengambilan raport, setidaknya ada seseorang yang ia kirim untuk menemani gadis itu. Begitu pun saat Najla terlibat masalah, Ghailan lah yang selalu mengurusnya. Bahkan saat puber pertama Najla, Ghailan lah orang yang memberi
diri di depan pintu dengan semangkuk es
g menyadari hal itu menunduk melihat penampilannya sendiri, celana pendek di atas lutut dan baju kaos kebesaran milik Ghailan. Rambutnya dicepol as
ka yang menyerang. Ia mengintip ke arah lapangan berharap bisa melihat Ghailan dan laki-la
uk di salah satu kursi kayu di ruang tamu sederhana itu. Ia merapatkan kakiny