/0/24661/coverorgin.jpg?v=629f8f88baba399a125ab8ef389ce989&imageMogr2/format/webp)
September datang berkunjung. Musim gugur baru saja dimulai. Dedaunan mulai berubah warna, berjatuhan, lalu mengering. Pemandangan Sungai Seine masih menjadi yang paling memukau dengan pemandangan daun-daun yang menguning di pohon. Menjadi salah satu tempat paling cocok untuk dikunjungi. Terlebih bagi mereka yang senang mengambil potret alam untuk mengisi lini masa media sosial. Atau hanya sekadar mengabadikan moment atau pemandangan, lalu hanya menyimpannya di galeri telepon untuk dibuka di kemudian hari untuk kembali mengenang sebuah peristiwa yang pernah terjadi sebelumnya.
Kemudian, mereka akan menyusun rencana untuk berkunjung pada musim gugur selanjutnya. Menikmati pemandangan yang sama, tetapi tak membosankan karena alam menyuguhkan keindahan yang sayang jika dilewatkan begitu saja.
Sama halnya seperti seorang perempuan berambut sebahu dalam balutan mantel dengan bulu-bulu halus berwarna merah muda itu. Ia sudah menyiapkan kamera actionnya untuk menangkap gambar pemandangan musim gugur terakhirnya di kota yang terkenal dengan keromantisannya. Tidak heran jika kota di mana bangunan yang menjadi salah satu keajaiban dunia itu berada disebut sebagai Kota Cinta atau City of Love. Sebab, banyak orang yang datang dari segala penjuru dunia untuk melamar sang pujaan hati di sana. Seperti yang tengah disaksikan oleh perempuan yang memegang kamera action itu. Seorang pria berambut pirang tengah berlutut dengan kaki kiri seraya membuka kotak cincin di hadapan seorang perempuan cantik. Ia tersenyum melihat pemandangan itu. Lalu, mengambil potret romantis tersebut untuk ia abadikan.
Perempuan dengan mantel merah muda itu menatap kembali layar kameranya untuk melihat hasil tangkapan layar. Ia tersenyum lebih lebar dari sebelumnya. Mempertontonkan sepasang lesung pipinya yang menjadi salah satu kekurangan sekaligus kelebihannya itu. Sebab, lesung pipi miliknya selalu sukses membuat aura kecantikan yang sudah terlanjur ada itu semakin tampak sempurna dan membuat kaum adam terpesona. Ia menggeser lagi gambar lainnya. Suasananya masih sama. Berhasil menarik paksa kedua sudut bibirnya ke atas membentuk lengkungan kurva yang teramat cantik. Dan di saat bersamaan, ia membayangkan akan ada seorang pria yang akan melakukan hal yang sama padanya. Melamar dan menyematkan cincin di jari manisnya suatu hari nanti di tempat indah ini. Bermimpi tidak salah, bukan?
“Ridiculous thoughts,” ucapnya lalu terkekeh sendiri dengan pikiran yang muncul di dalam kepala. Terlalu lucu bagi perempuan pemilik nama Ilona Roselani Belvania itu jika memikirkan hal demikian. Mengingat baginya usia yang sebentar lagi menginjak angka dua puluh empat masih terbilang muda dan masih banyak keinginan dalam waiting list-nya yang belum ia capai hingga detik ini. Namun, memiliki keinginan dilamar oleh seorang pria yang ia cintai nanti di tempat romantis bukanlah hal yang salah, ‘kan? Ah, sepertinya ia akan memasukkan satu hal itu di dalam daftar keinginnya setelah ini.
Ilona menyimpan kembali kameranya ke dalam ransel di balik punggung. Ia kemudian mengeratkan mantel merah mudanya, karena suhu yang perlahan menurun. Ilona ingin melanjutkan langkahnya menyusuri jalanan di sekitar Sungai Seine untuk merekam lebih banyak dan lebih jelas pemandangan serta suasana yang entah kapan lagi bisa ia nikmati seperti ini di dalam kepalanya. Ingin mencari sebuah tema yang angkat ia sebagai topik dalam menuliskan cerita tentang musim gugur terakhirnya di kota penuh cahaya dan bangunan romantis itu. Dan tema yang akan dicari oleh perempuan berambut sebahu itu adalah tentang bahagia. Sebab, hidup Ilona tak mudah menciptakannya. Tak seperti yang sering ia lihat pada kehidupan orang-orang di sekitarnya.
Sejak hari itu, hidup Ilona terlalu banyak membicarakan tentang badai, tentang angin topan, gempa bumi yang terus mengguncang jiwa dan berhasil merobohkan dinding pertahanan, begitu juga dengan bencana-bencana besar lainnya yang melanda dan mendera diri. Kemudian ia mulai menapak kaki dengan mencari pintu lain yang harus dibuka meski ia tidak ingin, sebab mundur bukanlah pilihan yang tepat. Mundur adalah sebuah kemustahilan. Lalu, ia temukan kehidupan baru setelah pintu itu terbuka lebar dan menunjukkan sebuah kehidupan dalam lembaran baru tanpa noda, meski hanya setitik noktah. Kehidupan yang mungkin bagi orang lain adalah yang jauh lebih baik dari sebelumnya. Namun, tidak bagi seorang Ilona Roselani Belvania. Sebab tidak ada kehidupan yang lebih baik dari kehidupan di mana ia bisa berkumpul dengan kedua orang tua dan kakak semata wayangnya.
Akan tetapi, Ilona tak mengatakan kehidupan barunya adalah kehidupan yang buruk. Tidak! Sebab, semesta melahirkan sebuah pertemuan untuknya setelah satu purnama melewati hari panjang di jantung Kota Paris. Di hari yang paling cerah. Di usianya yang baru menginjak angka enam belas. Seorang pemuda menubruk tubuhnya tanpa sengaja hingga nyaris terjungkal. Beruntung sepasang lengan itu berhasil menangkap dan menahan bobot tubuh mungilnya. Lalu, tatapan mereka saling bertubrukan satu sama lain. Sepasang bola mata abu-abu menjadi pemandangan pertama dan paling dekat yang tertangkap indra penglihatannya. Serta aroma mint yang diam-diam menelusup ke indra penciuman. Bohong jika Ilona tak merasa nyaman dan tenang mengirup aroma mint dari tubuh lelaki pertama yang ia temui di sana.
Lantas pertemuan itu melahirkan benih-benih cinta? Tidak! Perjalanan hidup Ilona bukanlah sebuah perjalanan hidup seperti yang digambarkan dalam novel-novel bergenre romance. Kehidupan Ilona adalah kehidupan nyata yang sesungguhnya. Dan pertemuan itu melahirkan sebuah perkenalan baru. Felix nama laki-laki itu. Pertemuan itu juga melahirkan tatapan-tatapan baru bercampur gelak tawa, melahirkan cerita-cerita random, dan kenangan yang jika dijadikan sebuah buku bacaan, maka akan memakan beribu-ribu lembar.
Di kehidupan baru. Dari seorang laki-laki bernama Felix itu Ilona mulai mengetahui betapa banyak orang-orang yang sebenarnya mengalami luka lebih hebat dari luka yang ia alami. Betapa banyak orang-orang yang bahkan dengan sangat terbuka melawan badai. Hadirnya sosok Felix mengajarkan Ilona tentang bagaimana caranya orang-orang yang terluka saling mengenali satu dengan yang lainnya hanya dari sebuah cerita tentang perjalanan hidup—seperti dirinya dengan Felix. Dan berhadapan dengan Felix, Ilona bisa melihat betapa riuh luka di dalam diri, tetapi harus tetap kuat dan kokoh berdiri. Tak boleh dipertontonkan dan bebas dikonsumsi.
Di kehidupan baru yang perlahan merangkak maju. Ilona mulai membuka pintu satu per satu untuk orang lain. Hal itu tentu saja lagi-lagi ia pelajari dari sosok Felix yang begitu dengan mudah mempersilakan orang lain memasuki hidupnya. Semudah Felix yang menyeretnya masuk ke dalam alur cerita laki-laki itu. Ia masih ingat betul bagaimana Felix memperlakukannya dengan sangat baik tanpa harus memperkenalkannya tentang kehancuran laki-laki itu. Kehancuran bukan milik semua orang. Kehancuran diri sendiri tidak boleh menjadi alasan kehancuran orang lain, apalagi menjadi alasan untuk menghancurkan. Kehancuran tidak pantas dibagi-bagi. Dan dari kehancuran, memang harusnya belajar adalah cara paling tepat merasakan sendiri segalanya.
/0/12707/coverorgin.jpg?v=be21e9c2d1a89eba2f7399c6c214452e&imageMogr2/format/webp)