/0/24784/coverorgin.jpg?v=2f8224f0742e71367de30d7f48d128c9&imageMogr2/format/webp)
Aku terbangun ketika cahaya matahari pagi menembus celah tirai yang tidak tertutup rapat. Sekilas aku terkejut-tubuhku terasa dingin, dan aku baru sadar kalau aku masih telanjang, hanya tertutupi selimut tipis.
Ruangan itu berbau samar, campuran antara pengharum dan keringat. Untuk beberapa detik, aku tidak yakin apakah masih bermimpi atau sudah bangun. Sprei terasa dingin, dan udara di kamar apartemen begitu pengap, seolah menyimpan sesuatu yang ingin kulupakan.
Aku tetap berbaring di ranjang, mencoba mengingat apa yang terjadi semalam. Ingatan itu muncul perlahan- kabur, tapi cukup menyakitkan. Aku ingat bagaimana Jo, temanku, mengambil keperawananku, sementara Centia, sahabatku, merekam semuanya dengan ponselnya.
"Ahh... ahhhh... ahh... ahhh..."
Aku menoleh. Di ujung ranjang, dua sosok bergerak pelan. Suara napas dan desahan terdengar jelas di telingaku. Aku ingin memejamkan mata, tapi tubuhku tak mau bergerak. Aku hanya bisa diam, kaku, tak tahu harus merasa apa-takut, marah, atau kosong.
Jo tidak menoleh sedikitpun. Centia pun tidak sadar aku sudah bangun. Aku merasa seperti benda di ruangan ini-ada, tapi tidak dianggap. Aku ingin marah, tapi tidak tahu kepada siapa. Kepada mereka? Diriku sendiri? Atau malam kemarin yang sudah terlanjur terjadi?
Tanganku menggenggam seprai erat, seolah bisa menahan dunia agar tidak terus berputar. Tapi udara tetap terus bergerak, membawa aroma yang ingin kulupakan. Aku sadar-hari itu adalah hari setelah kali pertamaku. Dan entah kenapa, rasanya seperti hidup di tubuh yang bukan milikku.
Tubuhku kaku, napasku berat. Mereka berdua masih sibuk dengan dunia mereka sendiri. Suara pelan itu membuat dadaku berdebar, bukan karena ingin tahu, tapi karena ingin lari. Aku ingin bangkit, tapi tubuhku seperti tertahan oleh sesuatu yang tak terlihat. Rasa sesak itu menekan dadaku, membuatku sulit bernapas.
Jo perlahan menoleh. Tatapannya bertemu dengan mataku. Tidak ada rasa bersalah di sana-hanya senyum kecil dan dingin, seperti semua ini memang sudah direncanakan dari awal.
"Eh, udah bangun ya?" tanyanya pelan, tanpa menghentikan gerakannya menggenjot vagina Centia.
Aku tidak menjawab. Mataku terpaku pada mereka-pemandangan yang seharusnya tidak ingin kulihat. Centia sempat menoleh, rambutnya berantakan, wajahnya sulit dibaca. Ia tersenyum tipis-bukan menyesal, bukan minta maaf, lebih seperti senyum yang akrab tapi membuat dadaku terasa sesak.
Ruangan terasa sempit. Aku ingin berpaling, tapi tubuhku rasanya kaku. Jo dan Centia tampak tetap tidak peduli dengan kehadiranku. Suara napas dan gerakan mereka memenuhi ruangan, membuatku sulit bernapas.
Mereka terus larut dalam dunia mereka sendiri, seolah aku tidak ada. Rasanya seperti menonton adegan film, tapi aku ada di dalamnya. Aku ingin menutup telinga saat desahan Centia makin keras, tapi tetap tidak bisa. Aku hanya diam, terjebak dalam situasi yang tak bisa kuubah.
Aku masih menatap mereka tanpa benar-benar ingin. Tubuhku terasa asing-dingin dan kaku. Dadaku sesak, bukan karena cemburu, tapi karena perasaan aneh yang sulit dijelaskan: campuran antara sakit, kehilangan kendali, dan entah kenapa ada sedikit rasa tertarik yang membuatku takut.
Jo kembali menatapku. Senyumnya melebar-seolah tahu isi kepalaku.
"Kenapa cuma diam aja?" bisiknya pelan, suaranya serak.
"Kamu juga bagian dari semua ini."
Centia ikut menatapku, pandangannya tak bisa kutebak-antara ajakan dan tantangan.
"Iya," katanya dengan napas berat.
"Kenapa kamu nggak gabung aja?"
Waktu terasa berhenti. Kata-kata mereka terus terngiang di kepalaku, membuat pikiranku jadi kacau balau. Ada sesuatu di balik tatapan mereka-sesuatu yang membuatku ingin kabur, tapi juga tertahan di tempat.
Mereka benar-benar menginginkan aku ikut. Bukan sebagai korban, tapi sebagai bagian dari sesuatu yang belum kumengerti sepenuhnya. Tatapan mereka terasa seperti ajakan dari sisi gelap: menggoda, menakutkan, dan sulit ditolak. Aku bisa merasakannya, seperti tarikan halus yang samar tapi kuat.
Tubuhku masih terasa asing, pikiranku berantakan. Tapi saat Centia menatapku dan Jo tersenyum seolah semuanya sudah ditakdirkan, ada sesuatu di dalam diriku yang ikut bergetar. Bukan takut, bukan marah- melainkan panas yang aneh.
"Ahh... Enakk... Jo."
Suara desah mereka memenuhi ruangan, seperti bunyi yang tidak bisa kuhentikan. Setiap gerakan, setiap napas terasa mengundang. Aku menelan ludah, jemariku masih mencengkeram erat seprai yang basah oleh keringat. Tapi perlahan... aku mulai merasakan hal yang sama.
"Kamu tahu..." ujar Jo pelan. Tangannya bergerak ke leher Centia, lembut tapi jelas menunjukkan kendali.
"...nggak usah pura-pura cuek. Semalam aja udah kelihatan-kamu suka waktu aku nyentuh kamu."
Dadaku terasa sesak, bukan hanya karena udara yang pengap, tapi juga karena kenangan itu-hangat tubuhnya yang menyentuhku untuk pertama kalinya, bisikan lembut di telingaku yang mengguncang seluruh tubuh, dan setiap perlakuannya pada vaginaku yang membawaku pada puncak kenikmatan.
Tanpa sadar aku mulai bergeser. Tubuhku seperti bergerak sendiri, sementara pikiranku tertinggal. Jantungku berdebar keras-bukan karena takut, tapi karena sesuatu yang sulit dijelaskan, dan tidak bisa kukendalikan. Tatapan mereka membuatku terpaku, seolah menarikku dan tak membiarkan pergi. Dalam sekejap aku sadar... aku sudah terlalu jauh untuk mundur.
Aku merayap ke arah mereka berdua. Seprai terasa lembap dan dingin di lututku. Tidak ada kata yang terucap. Hanya Jo dengan aura tegasnya, dan Centia dengan senyum menantang yang membuat darahku berdesir.
Centia mengulurkan tangan, seolah memberi isyarat. Aku tak menolak saat jemariku menyentuh tangannya. Dunia mungkin akan berubah besok, tapi hari itu aku memilih untuk larut bersama mereka-dan bersama hasrat yang tak bisa lagi kutahan. Napasku terengah saat jemariku bersentuhan dengan jarinya.
Centia menarikku mendekat dengan senyum penuh arti, sementara Jo menatap kami dalam diam-tatapan yang membuatku tahu aku takkan pergi ke mana pun lagi.
"Welcome back," bisiknya serak.
Tangan Jo melingkar erat di pinggang Centia, mengingatkanku bahwa dialah yang masih memegang kendali. Aku tak menjawab, tapi tubuhku sudah bicara lebih keras daripada kata-kata.
Perlahan aku menunduk dan mencium bibir Centia. Dunia terasa berhenti sejenak. Rasanya aneh, tapi juga terasa benar-seperti menemukan sesuatu yang selama ini tak kusadari telah aku cari. Jo tertawa pelan.
"Wah, aku nggak nyangka kamu seberani itu."
Aku hanya tersenyum di tengah ciuman itu. Untuk pertama kalinya hari itu, aku merasa benar-benar hidup.
Aku tak tahu berapa lama kami berciuman. Waktu terasa melambat, napas kami menyatu, dan setiap sentuhan terasa semakin dalam. Centia sempat menatapku sebelum kembali memejamkan mata, seperti menikmati setiap detiknya. Tangannya melingkar di leherku, menarikku lebih dekat.
Jo memperhatikan kami dalam diam, matanya penuh kendali. Ia tidak bicara lagi, tapi gerakannya semakin cepat dan kuat. Tubuh Centia bergoyang di antara kami: dikuasai oleh gerakan Jo, tapi juga memegangku erat. Desahannya memenuhi ruangan, menyebut nama kami berdua dengan suara serak yang membuatku bergetar.
"Jo... Raa... aku... aku udah nggak kuat lagi..." bisik Centia dengan suara bergetar tapi tulus.
Centia menarik napas panjang, hampir seperti menahan rintihan.
"Udah, lepas aja, Cent," kataku pelan sambil tetap memegang tangannya.
Dia membuka mata sebentar, menatapku dengan pandangan basah yang sulit dijelaskan.
"Ahh... aku udah nggak kuat lagi... aku mau keluar," ujarnya pelan, suaranya hampir pecah.
Tubuh Centia menegang di antara kami. Napasnya berat, matanya terpejam, seolah waktu berhenti menunggu detik itu lewat. Tatapannya mengarah ke langit-langit, pupilnya bergetar dalam cahaya redup. Suara napasnya pecah-bukan karena lelah, tapi karena sesuatu yang tak bisa lagi ia tahan.
Jo menatapku sejenak sebelum kembali melihat ke arah Centia. Ada semacam pengertian di antara kami- bahwa momen ini bukan tentang siapa yang berkuasa, tapi tentang bagaimana kami saling membuka diri.
Sekarang hanya ada kami bertiga, terengah setelah momen itu berlalu. Aku menatap Centia; wajahnya tampak tenang diterpa cahaya lembut, tubuhnya terbaring pasrah dalam sisa hangat yang masih terasa.
Jo menarik napas dalam, lalu perlahan menarik penisnya dari Centia. Begitu Jo bergerak menjauh, tubuh Centia kehilangan tumpuan dan jatuh tengkurap. Ia berguling pelan sebelum akhirnya berbaring menatap langit-langit. Gerakannya lemah tapi terlihat alami, seolah tubuhnya benar-benar kehabisan tenaga.
Aku menatap Jo. Jantungku masih berdebar keras, dan udara di ruangan terasa berat-seperti menyimpan sesuatu yang belum selesai. Jo tersenyum tipis. Tatapannya samar tapi tajam. Ia menyentuh bibirnya dengan punggung tangan, lalu mendekat perlahan, seperti pemangsa yang tahu mangsanya sudah tidak bisa lari.
"Kamu..." bisiknya pelan, jemarinya menyentuh daguku dan mengangkat wajahku agar menatapnya langsung.
"...tadi diam aja. Tapi matamu nggak bohong."
Aku menahan napas saat ujung jarinya turun perlahan ke leherku.
"Kamu suka lihat aku main sama dia tadi."
/0/29932/coverorgin.jpg?v=01a240dfd4786fb98b7533b64b06c97e&imageMogr2/format/webp)
/0/15060/coverorgin.jpg?v=186205408f203f5ce4501784bff6c570&imageMogr2/format/webp)