/0/23058/coverorgin.jpg?v=4c0ec1f46fbfddc72bcf6894813f78e9&imageMogr2/format/webp)
Bukan di ruang meeting berpendingin udara, bukan pula di balik meja marmer yang mengkilap, tetapi di bilik ruko pinggir jalan yang sempit itulah Naruga Indra-atau akrabnya dipanggil Ruga-merasa paling berkuasa. Tempat itu adalah singgasananya, bukan karena kemewahan, tapi karena di sanalah ia menjadi dirinya sendiri. Tidak ada kepura-puraan, tidak ada drama. Hanya aroma mie ayam dan suara wajan yang beradu.
Di sana, aroma kuah mie ayam mendidih dan asap panas dari adonan kulit pangsit selalu menyambutnya, aroma yang jujur dan tak berpura-pura. Itulah rumah. Kontrasnya, beberapa jam yang lalu, Ruga baru saja menyelesaikan joki tugas kalkulus termudah namun termahal dalam hidupnya. Kliennya? Seorang anak Menteri yang otaknya sekosong dompetnya. Ruga menggelengkan kepala, miris. Betapa mudahnya uang membeli segalanya, bahkan "otak".
Ruga, si kurus tinggi berkacamata yang harusnya cuma anak kelas 2 SMA biasa, adalah sebuah anomali. Ia adalah si jenius miskin dengan pride selangit, yang hidup dari ironi: mencerdaskan anak-anak orang kaya yang bodoh. Uang yang ia dapat dari satu lembar jawaban bisa menghidupi ruko mie ayam ibunya selama seminggu. Ironi yang membuatnya muak, namun juga memberinya kekuatan. Ia tidak akan menyerah pada keadaan.
"Mau sampai kapan kamu jadi joki tugas bayangan, Ga?" Ibu Ruga, wanita sederhana dengan tangan kasar bekas adonan, bertanya sambil mengelap meja. Kerutan di wajahnya semakin terlihat jelas saat ia menatap Ruga dengan tatapan khawatir.
Ruga tersenyum, merapikan kacamata tingginya. "Sampai mereka sadar, Bu, uang nggak bisa beli otak. Tapi tenang aja, uangnya bisa beli mie ayam enak buatan kita." Senyumnya tulus, mencoba menenangkan ibunya. Ia tahu ibunya khawatir, tapi ia tidak punya pilihan lain. Ini adalah cara satu-satunya untuk bertahan hidup.
Ruga mencintai kecerdasannya. Ia membenci kenyataan bahwa orang kaya selalu berada di atas, tetapi ia bangga karena ia bisa duduk di sana, setidaknya di balik layar, sebagai otak mereka. Sisi sinisnya mengatakan, ia adalah kuman yang bermutasi menjadi virus di tubuh para elit. Ia tidak meminta-minta, ia menjual harga dirinya yang paling mahal: kecerdasan tak tertandingi.
Ia adalah Robin Hood versi modern, mencuri dari yang kaya untuk memberi makan dirinya dan ibunya.
Malam itu, Ruga harus menyelesaikan misi terakhirnya sebelum deadline gila besok pagi. Ia harus mengantarkan bundel tugas Fisika Kuantum ke loker salah satu siswa SMA Melody. SMA elit, benteng kemewahan dan kekuasaan, tempat para politikus dan konglomerat menanam benih-benih pewaris mereka. Tempat di mana uang berbicara lebih keras daripada akal sehat.
Ruga mengenakan jaket hoodie gelap, membawa tas ransel lusuh yang berisi tumpukan kertas putih penuh rumus, dan mulai menyusuri trotoar menuju SMA Melody. Setiap langkah terasa seperti melintasi batas kasta. Ruko sederhana perlahan berganti menjadi pagar besi tempa tinggi, lampu taman kristal, dan mobil-mobil mewah yang terparkir seolah dipamerkan. SMA Melody bukan sekadar sekolah, ini adalah istana es. Istana yang dibangun di atas uang dan kekuasaan.
Di SMA Melody, Ruga tahu ada seorang gadis yang menjadi mitos menakutkan dan dingin yang paling ia hindari: Kayana Setiawan. Donatur No. 1 di yayasan. Sosok angkuh, berambut hitam panjang, dan matanya selalu memancarkan penghinaan. Ruga pernah melihat Kayana sekali. Cukup sekali untuk memahami bahwa di mata gadis itu, semua orang miskin adalah sampah, termasuk dirinya. Ia adalah kebencian yang bergerak, dan Ruga, dengan pride-nya, selalu menjadi target empuk untuk dibenci. Kayana adalah representasi dari semua yang ia benci dari dunia ini.
"Kayana Setiawan," gumam Ruga dalam hati. Nama itu terasa seperti kristal dingin yang tajam. Ia adalah antitesis dari segala hal yang Ruga yakini, dan itulah sebabnya Ruga tertarik sekaligus jijik. Villain yang sempurna. Musuh yang sempurna untuk dilawan.
Ruga berhasil menyelinap masuk melalui gerbang samping yang dijaga longgar, pura-pura sebagai kurir yang tersesat. Satpam hanya meliriknya sekilas, terlalu malas untuk memeriksa lebih lanjut. Aula utama Melody begitu hening, marmernya memantulkan cahaya lampu yang membuat Ruga merasa telanjang dan salah tempat. Ia berjalan cepat, mencari deretan loker di gedung utama, tempat ia akan meninggalkan 'karya' fisika-nya. Ia merasa seperti penyusup di dunia yang bukan miliknya.
Saat ia mencapai koridor loker, ia merasakan hawa dingin yang aneh. Bukan dingin AC, tapi dingin yang mencekam. Langkah kakinya dipercepat. Ia harus segera meletakkan bundel tugas milik kliennya itu dan bergegas pergi, kembali ke kehangatan ruko mie ayamnya. Kembali ke tempat di mana ia merasa aman dan nyaman.
Tiba-tiba, mata Ruga menangkap gerakan di lantai atas, di rooftop gedung yang paling tinggi. Siluet samar, hanya bayangan. Ruga mengerutkan kening. Sedikit pride-nya menyuruhnya untuk tidak peduli, ini bukan urusannya. Namun, rasa penasaran yang selalu menjadi bahan bakarnya, memaksa Ruga berhenti. Rasa penasaran yang membuatnya menjadi jenius, dan rasa penasaran yang mungkin akan menghancurkannya.
Ruga mendongak, matanya yang tajam menembus kegelapan. Ia melihat bayangan itu bergerak, seolah sedang bergumul. Sesaat kemudian, sebuah benda, bukan benda, melainkan sosok, melayang ke bawah. Jantungnya berdegup kencang. Apa yang sebenarnya terjadi di sana?
Waktu terasa berhenti. Jantung Ruga berdebar brutal, memukul rusuknya seperti genderang perang. Ia merasa seperti sedang menyaksikan adegan dalam film thriller.
Brak!
Suara itu! Suara benda keras menghantam lantai, memecah hening malam SMA Melody. Tepat di hadapan Ruga, hanya beberapa meter darinya, tergeletak seorang siswa berseragam Melody. Darah mulai menyebar di ubin marmer yang mengkilap, memantulkan lampu neon sekolah yang dingin. Pemandangan yang mengerikan dan tak terlupakan. Wangi anyir darah kian pekat penciuman bersamaan dengan seorang lelaki muda dengan seragam yang tergeletak tengkurap tak bergerak.
Ruga ambruk mematung syok. Ia seorang jenius, tetapi tubuhnya bereaksi seperti manusia biasa yang melihat kengerian tak terduga. Ia harus memanggil bantuan. Ambulans! Polisi! Otaknya bekerja keras, mencoba memproses apa yang baru saja terjadi.
"Sialan!" teriak Ruga, bergetar, tangannya meraih ponsel. Ia mencoba menenangkan diri, mengatur nafasnya.
Namun, sebelum jemarinya sempat mendial nomor, pandangan Ruga tertuju pada sesuatu yang terlepas dari tubuh korban. Sebuah name tag siswa. Tertulis jelas: Pangeran Setiawan. Ruga teringat. Pangeran. Bocah kaya terkenal, anak hasil perselingkuhan gelap keluarga Setiawan. Sebuah altar dari sistem patriarki dengan laki-laki yang harus menjadi calon pewaris. Jadi, ini adalah Pangeran Setiawan yang selama ini menjadi perbincangan di sekolah.
Dan kemudian, di dekat name tag Pangeran, di samping genangan darah yang makin meluas dari pucuk kepala yang terkulai, tergenggam erat sebuah name tag lain. Terlepas, seolah ditarik paksa dari seragam pemiliknya. Sebuah petunjuk?
Ruga meraihnya dengan tangan gemetar. Di sana, tertulis nama yang membuatnya kaku. Nama yang selama ini ia hindari.
Kayana Setiawan.
Kenapa... kenapa name tag Kayana ada di sini? Apa hubungannya dengan kejadian ini? Pertanyaan-pertanyaan itu berkecamuk di benaknya.
Ruga merasakan adrenalin membanjiri dirinya. Ia mengantongi name tag Kayana. Bukti. Bukti yang mungkin bisa membantunya mengungkap kebenaran.
/0/29696/coverorgin.jpg?v=da3051e8c11ff8c7c69091d24c63e767&imageMogr2/format/webp)