/0/24661/coverorgin.jpg?v=629f8f88baba399a125ab8ef389ce989&imageMogr2/format/webp)
Suasana reuni awalnya dipenuhi gelak tawa dan riuh rendah obrolan lama. Makanan tersaji mewah, minuman berderet di atas meja panjang, dan musik klasik lembut mengalun dari sudut ruangan. Tapi semuanya berubah saat salah satu perempuan di ujung meja melempar pertanyaan.
"Selina, apa kau sudah menikah?"
Seketika, semua mata langsung menoleh serempak ke arah Selina.
Selina tercekat. Ia menelan salivanya pelan dan mengangguk pelan.
Sorak-sorai pun langsung pecah.
"Waaah!"
"Selina menikah?!"
"Duh, akhirnya si anak emas diikat juga!"
Godaan demi godaan dilontarkan riuh oleh mereka yang duduk di meja reuni itu. Selina tersenyum tipis, sekadar basa-basi menyambut kehebohan. Pandangannya melirik ke arah Duke - pria pendiam di sudut meja yang langsung menenggak habis segelas alkoholnya, tanpa sepatah kata.
Tiba-tiba, suara lembut namun tajam menusuk dari seberang meja.
Raselyn Stark.
Wanita dengan gaun merah menyala, sepatu hak tinggi berkilau, dan riasan seperti bintang film. Semua tentangnya memancarkan kesan mencolok dan percaya diri berlebihan.
"Lalu, apa pekerjaan suamimu, Selina?" tanyanya, senyum di bibirnya nyaris tak terlihat tulus.
"Kenapa kau tak membawanya kemari untuk dikenalkan pada kita, ya kan?" lanjutnya dengan suara centil penuh sindiran.
Sorakan kecil dan anggukan setuju langsung menyambutnya. Beberapa bahkan bersiul ringan, jelas menikmatinya.
Selina mulai memilin jemarinya di bawah meja, dadanya sesak. "Hanya karyawan kantor..." bohongnya, pelan. Sebuah kebohongan yang ia lempar untuk melindungi sisa harga diri yang masih ia punya.
Tawa kecil pun terdengar. Bukan tawa bahagia, melainkan seperti cemoohan samar yang menusuk halus. Selina menunduk. Inilah momen yang paling ia benci dari reuni-ketika pertemuan itu berubah menjadi ruang interogasi, tempat privasi jadi konsumsi publik, dan pertanyaan-pertanyaan Raselyn menjadi senjata yang menghancurkan pelan-pelan.
Sudah dua kali reuni dalam dua tahun terakhir, dan skenarionya selalu sama.
Topik pembicaraan? Selalu Selina.
Pertanyaan? Selalu dari Raselyn.
Kenapa hanya dia yang disorot? Kenapa tak ada yang menyelamatkannya?
"Selina," suara Raselyn kembali terdengar.
"Kau belum juga hamil, ya? Kau kan yang pertama menikah di antara kita. Bukankah pernikahanmu sudah lima tahun? Apa kau belum diberi momongan?"
Selina mengepalkan tangannya di bawah meja. Urat di lehernya menegang.
Mauren, yang duduk di dekat Selina, akhirnya tak tahan.
"Reuni ini kan acara kita bersama, bukan sesi wawancara khusus tentang kehidupan Selina," cetusnya, tajam. "Kenapa kau selalu bertanya soal hidupnya? Apa kau segitu penasarannya, Raselyn? Kau sendiri sekarang jadi apa? Bukankah dulu di sekolah kau hanya mengandalkan kekayaan orang tuamu?"
Raselyn tersenyum manis, seolah tak terganggu. Ia melirik sekitar, lalu menjawab dengan tenang, "Aku sedang kuliah di luar negeri. Setelah lulus, aku akan buka perusahaan fashion dan perhiasan sendiri. Sementara itu, aku punya dua bisnis kecil yang sedang berjalan."
Tepuk tangan langsung terdengar. Kekaguman tiba-tiba menyelimuti meja.
"Wah, Raselyn, kau benar-benar keren sekarang!"
"Padahal dulu yang bersinar itu Selina..."
"Sekarang justru kau yang bersinar terang. Luar biasa!"
Dan komentar berikutnya benar-benar menampar Selina secara halus tapi kejam.
"Memang ya, jadi juara sekolah belum tentu punya masa depan cemerlang. Selina dulu borong piala dan penghargaan, primadona sejati. Sekarang? Nikah muda, jadi ibu rumah tangga, suaminya cuma karyawan biasa..."
/0/24588/coverorgin.jpg?v=17bdfa7675bf7b2c62e9c9a8d41ef219&imageMogr2/format/webp)
/0/4221/coverorgin.jpg?v=fc90f328065ddd586b404f2873d5c603&imageMogr2/format/webp)
/0/29599/coverorgin.jpg?v=2ea684c8190cbf46e770a8c6b47c7308&imageMogr2/format/webp)
/0/2434/coverorgin.jpg?v=fa1d2dfdb4a9c229d62fd05e6170dc25&imageMogr2/format/webp)