Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
"Mana uangnya Dek?" tanya Mas Pram suamiku, seraya menadahkan tanganya kepadaku.
Aku yang baru pulang langsung disambut Mas Pram, dengan menanyakan gajiku. Ini sudah menjadi rutinitas dia setiap bulan, meminta gajiku, kemudian menyimpannya. Meski berat hati kukeluarkan juga amplop coklat yang berisi gaji dari tasku.
"Ini Mas," ucapku, menyodorkan amplop pada Pria empat puluh empat tahun itu.
Suamiku mengambil amplop dari tanganku, mbukanya, kemudian menghitung kembali uangnya.
"Yang dua ratus kemana?" tanya suamiku dengan tatapan penuh selidik.
"Hhh ...." Aku menghela nafas, membuang sesak yang tiba-tiba menyergap.
Sudah kuduga, dia akan menanyakan uang yang sudah aku gunakan itu. Padahal aku ingin sedikit menikmati gajiku, sekedar beli gamis murah, yang penting bisa buat gonta ganti, tapi Mas Pram seolah tak rela. Padahal itu hasil keringatku sendiri.
"Tadi ada temen bawa gamis Mas, Murah-murah, bagus-bagus. Temanku banyak yang beli, jadi aku ikutan beli satu. Kan gamisku sudah banyak yang lusuh, sekalian nglarisin dagangan temen. Dia itu masih honorer, dia jualan baju buat tambah-tambah. Dengan membeli dagangannya, aku sudah membantu meringankan sedikit bebannya, itung-itung menolong lah, Mas" jelasku kemudian
"Ini yang aku nggak suka dari kamu, boros. Suka belanja barang yang tidak perlu," sergahnya.
"Nggak perlu gimana? Orang gamisku sudah lusuh semua! Aku cuma beli satu, itu pun yang paling murah. Aku malu, tiap pergi kondangan pakai gamis yang itu-itu saja," gusarku.
"Kan bisa di akal. kamu pergi sehabis ngajar, pas masih pakai seragam," ucap suamiku datar.
"Kalau acaranya malam, masa iya pakai seragam sih, Mas!" ketusku.
"Kamu itu ya, dibilangin suami ngeyel terus! Kamu tahu dosa nggak!" Suara Mas Pram mulai naik satu oktaf.
"Habisnya aku sebel sama kamu, Mas. Beli gamis murah aja dipermasalahkan, bagaimana kalau aku kayak orang-orang? Tiap habis gajian, ke mall borong macam-macam, Kamu bisa marah tujuh hari tujuh malam!" ucapku sengit.
"Hhh ...., sudah lah Dek. Kamu jangan ikutan-ikutan orang! Mereka penampilannya saja yang wah, tapi nggak punya apa-apa. Lebih baik terlihat sederhana, tapi aslinya kaya," ucap Mas Pram dengan suara pelan.
Meskipun pelit, Mas Pram bukan tipe laki-laki yang suka kasar sama istri. Kalau aku mulai emosi, dia melunak. Hingga pertengkaran bisa dihindari.
"Kaya tapi kayak gembel, buat apa?" gerutuku pelan. Entah Mas Pram dengar atau tidak, aku tidak peduli
Begitulah aku, bekerja tapi tak punya kuasa atas gajiku sendiri, semua dikuasai suamiku. Sebenarnya suamiku termasuk orang kaya di kampung ini, tapi entah mengapa dia sangat perhitungan dengan pengeluarannya termasuk untuk dirinya sendiri.
Jangan cari skin care di meja riasku, tidak akan ketemu. Yang ada hanya bedak viv* kemasan plastik dan lipstik dengan merk yang sama, kalau membersihkan muka, aku cukup pakai sabun mandi.
Aku terlahir dengan wajah yang tidak bisa dibilang cantik, tubuhku kurus dan tulang punggungku sedikit bungkuk. Efek waktu kecil aku sering sakit-sakitan, aku terlihat lebih tua dari umurku.
Sejak remaja, hingga menginjak kepala tiga. Aku belum pernah dekat dengan laki-laki mana pun. Bukannya aku tidak suka laki-laki, aku juga pengen merasakan jatuh cinta dan dicintai. Tapi sayang aku kurang beruntung, wajahku tak menarik, hingga tak ada lawan jenis yang melirik.
Hingga akhirnya, orang tuaku menjodohkanku dengan seorang pengusaha tambak. Namanya Pramono, empat puluh tiga tahun, perjaka, sudah punya rumah sendiri, sudah pernah naik haji, orangnya baik tidak neko-neko, begitulah penuturan ibuku menggambarkan sosok Pramono.