/0/21862/coverorgin.jpg?v=a88c5225604ec327987d04c83aae65b5&imageMogr2/format/webp)
Bismillah
Gulai Daging Ibu
#part_1
#by: R.D.Lestari.
Aroma masakan menyeruak begitu menggoda keluar dari rumah berlatar luas di samping rumah Parni, wanita paruh baya yang sedari tadi menelan ludah membayangkan betapa nikmatnya makanan yang sudah lama diidam-idamkan keempat anaknya.
"Bu ... bau apa ini, Bu? nikmat sekali," Tono, anaknya yang berumur empat tahun berdecak berulang kali. Seolah ikut merasakan nikmatnya aroma yang masuk dalam hayalannya.
"Bayangi, Nak. Itu daging gulai, teksturnya lembut, bumbunya meresap sampai ke sela-sela daging. Kuahnya kental, di makan pakai nasi, enak, Nak?"
Tono kecil menutup matanya dan membayangkan apa yang di ucapkan ibunya yang kini sedang mengelus rambutnya sayang, ia kembali mengecap, merasa menikmati setiap kunyahan nasi bercampur daging dalam mulutnya.
Parni yang melihat ekspresi dari bocah polos itu tak tahan untuk menitikkan bulir bening yang sejak tadi berontak ingin keluar di sudut matanya.
Sembari menggigit bibir, Parni merutuki nasib buruk yang selalu menghampiri keluarganya.
Kemiskinan yang menggerogoti hidupnya, serta suaminya yang lumpuh mengharuskan tubuhnya yang memasuki usia renta harus terus berjuang demi menghidupi orang-orang yang ia sayang.
Ibu mana yang tak ingin melihat anaknya makan enak? membiarkan buah hatinya tumbuh sehat dan memenuhi segala kebutuhannya? memberi kehidupan layak dan bahagia?
Semua ibu punya impian yang sama, ingin melihat anak-anak mereka sehat dan memastikan perut mereka kenyang.
Begitupun Parni. Ia bukannya tak menangis membiarkan anak-anaknya hanya makan nasi aking, nasi bekas kemarin yang baginya sangat berharga. Sengaja meminta kepada tetangga agar keluarganya bisa makan.
Dengan hati teriris ia jemur nasi sebelum ia tanak kembali, dan makan bersama dengan keluarganya tanpa lauk ataupun sayur yang menemani.
Kadang-kadang jika beruntung, sayur singkong di belakang rumah bisa ia petik dan jadi pendamping nasi yang terasa amat nikmat bagi mereka.
Telur? ayam? daging? jangan tanya! mereka tak pernah merasakan kecuali hari raya Idul Fitri dan Idul Adha tiba.
Ketiga anaknya yang sedari tadi main di luar berlarian masuk kerumah, memeluk tubuh legam ibunya seraya merengek di pangkuan Parni yang bergantian mencium kening keempat anaknya.
"Bu, baunya enak banget, ya, Bu?" ucap Si Sulung, Toni dengan wajah memelasnya.
Parni hanya mengangguk pelan.
"Kapan kita bisa masak gulai, Bu? Tini pengen, Bu," timpal anak keduanya.
"Tono juga, Bu,"
"Toni juga, Bu,"
"Tina juga, Bu,"
Di cecar pertanyaan yang tak mungkin ia jawab, Parni hanya mengulas senyum getir dan beranjak dari duduknya.
"Nanti Ibu buatin, sekarang kalian makan yang ada dulu, ya. Ibu mau ke rumah Nenek dulu,"
"Oh, iya, Ibu nitip Bapak sebentar,"
Keempat anaknya melonjak girang. Sementara Parni melangkah gontai keluar rumah. Pikirannya bingung bukan kepalang.
Dari mana ia bisa mendapatkan daging? jangankan daging, telurpun ia tak mampu.
Terbit keinginan hatinya untuk meminjam uang pada mertuanya, tapi, ketika teringat kembali jika mertuanya sudah mewanti-wanti untuk tidak datang menginjakkan kaki lagi di rumahnya, membuat wanita paruh baya itu mengurungkan niatnya dan memilih duduk di bawah pepohonan rindang yang dekat dengan areal pemakaman.
"Itulah akibat jika masih melawan dengan orang tua! sekarang kau urus saja Gito, suamimu itu. Aku tak sudi melihat mukamu lagi!"
/0/6508/coverorgin.jpg?v=c80b850dd9644431beaccf32c1407711&imageMogr2/format/webp)
/0/2674/coverorgin.jpg?v=b802e041ab654cc8bba5ac058daf1d36&imageMogr2/format/webp)