/0/14428/coverorgin.jpg?v=e673db163036ee391c656ce0b40786ba&imageMogr2/format/webp)
Semangkuk Kelapa Parut Untuk Lauk Nasi.
Penulis : Lusia Sudarti
Ma, adek lapar.
Part 1.
"Ma, adek lapar!" rengek si bungsuku, Nayla.
Hatiku begitu pedih mendengar rengekannya.
Huuffftt.
Kuhela napas yang begitu sesak menghimpit rongga dada.
"Iya, Nak, sebentar ya, mama masak sayur dulu," sahutku lirih.
Dia hanya mengangguk seraya tersenyum ceria, lalu bangkit menuju keluar untuk melanjutkan bermain bersama teman-temannya.
Aku segera beranjak menuju dapur untuk memasak air kuah sayur bening daun katuk yang akan kupetik dari kebun belakang rumah.
Satu ikat daun katuk telah berada ditanganku, kutaruh diatas dahan pohon mangga yang bercabang, aku mencabut rumput-rumput yang telah tumbuh disamping rumah, karena kesibukanku dalam bekerja, rumah pun tak terurus.
Aku memandang berkeliling rumput telah memenuhi kebun belakang, seandainya aku punya uang, aku beli obat semprot untuk membasmi rumput.
Jangankan untuk membeli obat yang harga ratusan ribu, untuk membeli masako yang harganya lima ratus perak aja tak mampu!
Aku hanya mampu menarik napas perlahan, sembari mengusap dada yang terasa nyeri.
Aku berjongkok kembali mencabut rumput-rumput, air mataku meleleh, hatiku benar-benar terluka dengan semua kenyataan yang kuhadapi.
'Ya Allah ...''
Hanya itu yang mampu keluar dari bibirku, sesekali aku menyeka air bening yang terus mengalir dari kedua netraku.
Wajahku yang mungkin terlihat sayu.
Saat seperti ini yang membuatku teringat akan ibundaku yang telah tiada, ketika Nayla berusia delapan bulan, Ibundaku menghembuskan napas terakhir, karena menderita penyakit stroke selama empat tahun.
'Bu, Suci kangen,'' aku tersedu-sedu seorang diri. Namun jemari lentik ini tetap bekerja mencabut rumput hingga bersih.
Bapak yang kini bekerja di rumah saudaranya di Lampung Barat, beliau membantu pamanku memetik kopi.
Aku sebatang kara, hanya memiliki suami dan ketiga buah hatiku.
Astagfirullah! Aku tersentak kaget, dan segera tersadar dari lamunanku.
Dengan tergesa aku masuk mengambil mangkuk dan memetik tangkai katu dari batangnya.
Setelah mencucinya, air untuk memasak sayur ternyata telah mendidih dan tersisa separuhnya, aku tertegun, ternyata aku begitu lama ya berada di belakang rumah mencabut rumput.
Namun, saat aku mencari bumbu-bumbu penyedap masakan, semua telah habis. Lalu aku meraih toples tempat gula putih, nahasnya itupun habis.
'Ya Allah, bagaimana ini? Semua habis, uang pun habis,' aku membatin, tak urung meleleh air mataku tanpa bisa dibendung lagi.
Kuambil ponsel diatas meja, aku mencoba untuk mencari pinjaman, biarlah meskipun berbunga yang penting Anak-anak bisa makan untuk dua hari kedepan, sambil menunggu bayaran dari pekerjaan kami.
Tetapi aku masih menimbang dan berpikir, dapat atau tidak untuk bayarnya?
Aku ragu untuk menghubungi orang yang biasa memberikan pinjaman berbunga. Antara pinjam atau tidak.
Kutaruh kembali benda pipih itu, aku takut nanti tak sanggup membayarnya.
Untuk sekian lamanya aku hanya termenung, dengan hati pedih seolah tersayat sembilu, aku berpikir keras.
Dari mana bisa mendapatkan uang untuk sekedar membeli beras untuk makan Anak-anakku.
"Ma, Adek lapel," tiba-tiba Nayla telah berdiri di belakangku, seketika aku menoleh kepadanya, melihat wajahnya yang murung, tak urung membuatku semakin hancur.
"Sabar ya Sayang, belum mateng airnya," dalihku sembari memeluknya.
"Ya udah, Adek main lagi ya Ma!" ujarnya sambil berdiri dan melangkah keluar dengan kaki diseret.
'Ohhh, Ya Allah, cobaan apa yang Engkau tetapkan kepada kami ini."
/0/20731/coverorgin.jpg?v=712e6cb13336384ac8cf4241cbc8dded&imageMogr2/format/webp)
/0/21097/coverorgin.jpg?v=111431a271dd4eda21748f6fb5bfe3d9&imageMogr2/format/webp)